MISTERI-MISTERI DI BARAT I: RITUS-RITUS
ANEH
-
- Bangkitlah sejenak dari ruang dan waktu. Tinggalkan
dunia dan ciptakan sebuah dunia di dalam dirimu sendiri!
(Syabistari, Raudh
al-Asrar)
Sabtu malam secara khusus disucikan sebagai suatu ritual
yang mempesonakan dan secara khusus pula diikuti oleh
sejumlah pengikut dari suatu kelompok.
Dua kelompok terdiri dari dua belas orang. Mereka
berpakaian warna-warna dan melakukan gerakan-gerakan rumit
di dalam ruang tertutup. Sekali waktu mereka merespon
dorongan musikal dari instrumen primitif yang ditabuh oleh
seorang yang tampak berwibawa beserta beberapa pembantunya
dan mengawasi kegiatan mereka. Dengan mengitari tempat
ritual itu, seluruh jamaah memberikan respon. Sekali waktu
mereka bernyanyi, kadangkala berteriak dan kadangkala
membisu. Sementara beberapa orang menabuh instrumen (musik)
yang mengeluarkan bunyi aneh.
Tempat ritual itu dibangun secara geometris dengan
perencanaan yang matang. Di sekelilingnya terdapat lencana,
bendera, umbul-umbul dan dekorasi berwarna-warni yang
mungkin dimaksudkan untuk membangkitkan puncak emosi
individu dan kelompok. Suasana terasa menyeramkan karena
beberapa perubahan mendadak dari emosi mereka. Reaksi mereka
terhadap proses-proses ekstatogenik terbentuk ketika mereka
begitu eksplosif sehingga seseorang akan merasa penasaran
mengapa mereka tidak ikut dalam arena tertutup yang
disucikan itu. Sementara kebahagiaan dan kesedihan akan
muncul dalam diri para pengikutnya.
Kita adalah pengamat pertandingan asosiasi sepak bola di
stadion dengan lampu sorot yang terang. Apa yang luput dari
perhatian pengamat adalah pengetahuan tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Jika kita
memiliki pengetahuan ini, kita bisa mengenali pemain,
penonton, wasit dan garis putih. Jika tidak, kita akan
mengatakan: disini ada seseorang yang bergulingan di tanah,
yang lain meringis kesakitan dan keringat menetes dari
wajahnya. Salah seorang penonton memukul dirinya sendiri,
yang lain memukul orang di dekatnya. Totem itu (baca: bola)
melambung ke udara dan disambut dengan teriakan membahana
dari kerumunan itu. Kemudian kita melihat darah
tertumpah.
Bentuk-bentuk ritual lainnya adalah subyek pendekatan
serupa bagi mereka yang tidak merasakan pengalaman yang
mendahului pementasannya. Bahkan yang lebih penting, banyak
sekali ritual serupa atau lainnya telah mengalami perubahan
sepanjang zaman, sehingga semangat aslinya hilang. Bila hal
ini terjadi, maka muncul suatu perubahan mekanis atau
asosiatif dari faktor-faktor lain. Ritual itu diselewengkan,
meskipun mungkin ada alasan-alasan yang jelas dari setiap
aspeknya. Perkembangan ini adalah apa yang kita sebut
sebagai kelalaian dalam praktek sistem
keagamaan/peribadatan.
Berikut ini sebuah catatan orang luar tentang ritual
darwis yang menggambarkan berbagai peristiwa dari sudut
pandang pengamat sendiri. Dia adalah Pendeta John Subhan
dari Gereja Episkopal Methodis yang menghadiri peristiwa itu
di India:
Malam ini adalah malam Kamis, malam yang
disucikan oleh para Sufi. Marilah kita mengunjungi
beberapa kuil dan melihat betapa anehnya ritus-ritus
keagamaan yang dilaksanakan di depan mata kita. Kami
memasuki sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang
tempat sejumlah orang berkumpul. Sebuah tanda diberikan
oleh seseorang yang tampaknya sebagai pemimpin
perkumpulan itu. Pintu-pintu pun ditutup. Ketika dua
belas orang membentuk dua garis sejajar, suasana menjadi
hening. Cahaya lampu menerpa wajah-wajah mereka di
kegelapan dan hanya mata mereka yang tampak hidup. Kami
semua mundur ke sudut ruangan dan dzikir segera dimulai.
Diiringi tepukan tangan, sang pemimpin mulai berayun
ke kanan-ke kiri. Ia memulainya dengan sangat lambat dan
orang-orang itu mengikuti irama ayunannya. Setiap kali
berayun ke kiri, mereka mengucapkan kata, "Hu," secara
serentak, "Hu ... Hu ... Hu
..."1
Ritual darwis sama sekali berbeda dengan pertandingan
sepak bola itu, karena ia tidak bersifat simbolis tetapi
berkaitan dengan aktivitas batin. Jadi penggambaran di luar
konteks yang biasa itu sangat sedikit manfaatnya.
Suasana kegiatan Sufistik itu menghasilkan suatu persepsi
bagi Sufi sendiri dan meninggalkan jejak yang bisa
dikenalinya. Meskipun demikian, tidak ada gunanya untuk
menyatakan bahwa seseorang bisa mengenali wujud yang sama
dari peribadatan tertentu yang dipisahkan dari asal-usulnya,
yaitu suatu sensasi yang dulunya adalah sensasi Sufistik.
Bahan pengetahuan harus tersedia dalam bentuk yang bisa
dipahami oleh pembaca, paling tidak sampai tingkatan
tertentu.
Karena itulah kita perlu memulai dengan persepsi batin
bahwa fenomena Barat tertentu mempunyai asal-usul yang sama.
Kemudian kita perlu melihat apakah bahan formal itu relatif
bisa diterima sehingga seseorang bisa menggambarkan fakta
itu? Untuk itu ada dua metode penting. Pertama, dengan
merujuk pada fenomena serupa di Timur, jika memang ada.
Kedua, dengan mencari jejak-jejak, seperti istilah-istilah
dan makna-makna tersembunyi. Namun kita seharusnya
menggunakan keduanya, setidaknya untuk mencermati salah satu
aspek dari apa yang disebut sebagai sistem pemujaan tukang
sihir perempuan di Eropa Barat.
Kata witch sebagaimana kita ketahui secara luas
sebenarnya bermakna wise (bijaksana). Kata ini bisa
ada di mana saja dan tidak harus berupa terjemahan dari
bahasa Arab atau lainnya. Sementara wise adalah nama
yang digunakan dalam sistem peribadatan darwis dan para
penganut tradisi lainnya yang relatif masih bertahan.
Kata witch (penyihir perempuan) dalam bahasa
Spanyol adalah bruja. Di Spanyol lah kita menemukan
berbagai catatan awal dan relatif lengkap tentang berbagai
ritual dan kepercayaan orang-orang Eropa Barat. Namun gereja
memandang mereka sebagai penganut Ilmu Hitam.
Kita bisa menindaklanjuti kata kunci itu karena ternyata
maskhara kaum darwis, meski mereka saat ini
kebanyakan didapati di kantong-kantong Asia Tengah dan
kadangkala di India, mempergunakan akar kata Arab BRSY
Kelompok maskhara (orang-orang yang bersuka cita)
juga disebut mabrusy (orang-orang yang ditandai
kulitnya), atau mungkin bermakna "mabuk kepayang". Dalam
bahasa Spanyol, kata maja berasal dari bahasa Latin,
sementara kata bruja (dilafalkan brusya) adalah kata
yang muncul pada masa Spanyol Islam untuk menggambarkan
keberadaan orang-orang ini. Jika kita menduga untuk
sementara bahwa brusya mungkin sebuah istilah
deskriptif yang diambil oleh kelompok Maskhara, kita bisa
mencoba menguraikan penggunaan deskriptif gabungan dengan
menggunakan metode syair Arab. Apa sebenarnya makna kata
brusya itu, baik dalam bentuk akar kata maupun kata
turunan (musytaq)? Menurut metode syair Arab,
sejumlah kata dari kelompok bunyi yang sama diambil untuk
melengkapi penggambaran suatu sistem peribadatan --
sebagaimana telah kita lihat dalam kata "Sufi".
Kata-kata dalam kamus adalah suatu seleksi dari suatu
substansi khayali, suatu simbol dan tanda ritual. Semuanya
berada dalam pengelompokan bunyi (konsonan) umum berikut
ini
BRSY = Datura Stramonium (Duri Apel), dilafalkan BaRSY
Alternatifnya dengan suara yang mirip: YBRUH = akar mandrake
(tumbuhan beracun yang digunakan untuk persiapan pengobatan
dan bisa menyebabkan kantuk), dilafalkan YaBRUUHH. Keduanya
mengandung alkaline dan biasanya digunakan oleh para
penyihir perempuan untuk mendapatkan wangsit, perasaan
melayang dan digunakan pula dalam ritual.
Apakah simbol yang berhubungan dengan para penyihir
perempuan itu?
M-BRSYa = sikat, sapu, pengikis (dialek
Syria2)
dilafalkan MIBRSYA.
Dengan menterjemahkan kelompok kata itu, kita bisa
menggambarkan suatu komunitas yang menghubungkan diri mereka
sendiri dengan pengaturan kalimat sebagai berikut:
"Berkenaan dengan mandrake (atau apel duri), mereka
menggunakan simbol sapu, ditandai dengan sebuah lambang di
kulit, memakai jubah berwarna-warni atau campuran".
Orang-orang ini digambarkan dengan akurat dalam bahasa Arab
dan di Spanyol pada Abad Pertengahan sebagai brujo
(untuk laki-laki) atau bruja (untuk perempuan) yang
pada saat itu dilafalkan brusyo, brusya. Jika
kita menerima hubungannya dengan Maskhara, maka kita bisa
menghubungkannya lebih jauh. Penggunaan mandrake oleh mereka
menunjukkan homonim yang lebih lanjut -- perkataan
sehari-hari mabrusy, mabrusya (hingar-bingar)
adalah merujuk pada tarian mereka. Tarian penyihir perempuan
tradisional telah dicirikan atau paling tidak dibandingkan
dengan dua bentuk tarian yang dikenal di Eropa -- tarian
orang-orang Saracen (Muslim-Spanyol), waltz (yang
diduga berasal dari Asia melalui negeri-negeri Balkan) dan
dibka: tarian cincin Timur Tengah yang dikenal sejak
dari Mediteranian sampai Teluk Persia.
Lebih dari itu, ada berbagai fakta tentang penyihir
perempuan lain. Sumber-sumber Arab yang dikutip oleh Arkon
Daraul berbicara tentang "Tarian Bertanduk Dua" dan
mengungkapkan kunci rahasia tentang makna dari kata-kata
"barbar" yang digunakan oleh para penyihir perempuan. Namun
sampai saat ini, anggota persaudaraan (keagamaan) itu tidak
bisa memahaminya. Berikut ini beberapa istilahnya dengan
padanannya dalam bahasa Arab:
Pisau ritual yang secara rahasia disebut Athame
berasal dari kata adhdhame, suatu huruf darah.
Athame adalah upaya menjelaskan lafal adh-dhame.
Kata Sab(b)at(h) adalah kata rancu karena
pertemuan dengan kata Ibrani, maka maknanya berubah dalam
bahasa Spanyol menjadi orang bertanduk dua, padahal
sebenarnya berasal dari az-Zabat (yang kuat).
Etimologi yang lucu ini selanjutnya berkembang dalam
bahasa Perancis menjadi kata s'ebattre
(bersenang-senang). Asosiasi suara yang sama dan diubah
menjadi kata Robin dan Robinet serta lawan
kata yang sebenarnya dari bahasa Semit adalah
Rabba (Tuhan), tuhan yang pelik dan misterius atau
pejabat (keagamaan) dari sekte Sabat. Kata Rabbana
(wahai Tuhan kami) adalah bagian dari doa Muslim yang
diucapkan lima kali sehari dengan khusyu'.
Akhirnya kata coven mempunyai identifikasi yang
jelas dengan pengertian panyatuan atau berkumpul bersama.
Bahkan dalam pembacaan ritual oleh seorang mantan anggota
sistem peribadatan Spanyol-Semit kuno, kata kafan
merujuk pada kain penutup kepala para anggota Maskhara
ketika mereka menari. Menurut riwayat ada dalam bahan
penyihir perempuan yang berasal dari Skandinavia. Melalui
asosiasi pada masa berikutnya, kata ini mungkin bermakna
pertemuan atau anggota, namun jelasnya kafan digunakan
sesuai dengan bentuk awal, artinya kain pembungkus.
Sekarang kita bisa melanjutkan pada tahapan lebih jauh --
salep (ramuan) penyihir perempuan dan apa bahan ramuannya.
Pada mulanya mengapa salep itu digunakan? Dalam bahasa Arab,
"salep" berasal dari kata RHM, kata yang digunakan juga
untuk menunjukkan hubungan darah. Salep itu diberikan kepada
penyihir baik laki-laki atau perempuan setelah upacara
pembaiatan dan setelah ditandai (ditato). Marham
(salep) dioleskan ke kulit dengan tujuan menetapkan suatu
bentuk simbolis dari hubungan darah. Dengan "pemberian
salep" itu, jika kita bisa berbicara dalam akar-akar bahasa
Semit, salep (RHM) digunakan untuk membantu menciptakan
kondisi hubungan darah (RHM). Salep ini digunakan di masa
depan, untuk membawa penyihir perempuan itu kepada
keluarganya, RHM. jadi, RHM itu membentuk hubungan mental
dan farmalogikal dengan RHM.
Tetapi apakah tidak terdapat alkaline atau prinsip
aktif lainnya dalam salep penyihir itu? Tentu saja hampir
semuanya ada. Harus diingat, bahwa penyihir membuat suatu
cairan dari tubuh atau potongan tubuh bayi-bayi yang tidak
dibaptis. Akar pohon mandrake berbentuk "manusia". Secara
tradisional ia dianggap sebagai tiruan manusia. Manusia
kecil adalah seorang anak. Seperti tanaman, kita tidak bisa
mengharapkan bahwa ia telah dibaptis. Sementara ramuan dari
salep itu tampaknya berbentuk "bayi yang belum
dibaptis".
Terlalu banyak analogi yang telah diupayakan untuk
praktek-praktek sihir dalam agama Kristiani dan sistem
peribadatan kafir dari jenis pra-Kristen. Jika Anda membaca
karya-karya tentang ilmu sihir di Eropa, Anda akan menemukan
bahwa sejauh menyangkut semua penulisnya, tidak terdapat hal
serupa pada abad-abad kekuasaan Muslim di Spanyol atau
berbagai generasi penyerapan kebudayaan Timur di setiap
tahapnya. Bahkan nama "Yang Bijak" bisa jadi merupakan
terjemahan langsung dari kata arifin, gelas yang
diberikan kepada orang-orang di Timur yang mempercayai
kemungkinan terjadinya komunikasi langsung dengan dunia
supranatural.
Para penyihir modern tampaknya tidak mengetahui arti
penting ukuran lingkaran mereka (diameternya sembilan kaki)
dan hanya sedikit mengetahui tentang ilmu angka kuno mereka.
Tetapi bahan ini tersedia di mana saja, bahkan untuk
pengukuran. Secara insidentil, tradisi mereka sendiri
berasal dari "Negeri Musim Panas" dan para anggotanya
sendiri saat ini menganggapnya sebagai dunia Timur. Orang
hitam (Moor) dan jimat mereka yang bertanduk (setan,
dirancukan dengan bulan) berasal dari dunia "amal" mutakhir,
karena akhir-akhir ini terdapat suatu upaya rasionalisasi
sistem pemujaan mereka, dengan menelusuri berbagai festival
musiman dan lain-lain. Demikian pula karena suatu
perrggabungan dengan sistem peribadatan ekstatik dengan
menggunakan sistem kode Arab dalam membentuk berbagai
ritusnya.
Siapakah yang membawa penyihir itu ke Barat? Ketika Abad
Pertengahan sebagai asal dari hampir semua informasi yang
kita miliki, niscaya suku Aniza yang membawanya. Kita harus
kembali menelusuri gurun-gurun Arab.
Klan Badui Aniza yang perkasa dan banyak melahirkan
pejuang serta terkaya dalam kepemilikan unta, sangat
terkenal dalam kepustakaan Arab karena kebengisannya dalam
perang gurun. Perang-perang Badui adalah bahan bagi
perkembangan dasar dari keksatriaan (chivalric) dan bagi
epik cinta serta peperangan. Belum lagi untuk tarian
dibka dan pisau penggores. Bentuk-bentuk syair yang
dikembangkan oleh para penyair kesukuan itu telah
mempengaruhi kesusastraan dari sejumlah bangsa setelah
perluasan Islam ke Utara, Timur dan Barat.
Asal-usul kehidupan Badui bisa ditemukan pada masa-masa
pra-Islam. Dalam buku Days of the Arabs, setiap Hari
merupakan suatu epik dari beberapa peperangan yang
asal-usulnya mungkin telah dilupakan orang. Namun budaya
sampingannya berupa sajak, kemuliaan atau taktik-taktik
militer tetap menjadi bagian dari warisan suku.
Inilah gambaran Badui dalam buku-buku cerita -- pejuang
tangguh dengan kelembutannya kepada perempuan dan anak-anak
menjadi kiasan serta diimbangi dengan keberaniannya berjuang
sampai mati untuk mempertahankan sumber air atau sebatang
pohon kurma, tetapi semua itu adalah tindakan yang mulia
atau suatu kehormatan.
Salah satu perang tertua dan paling berdarah pada masa
itu selama empat puluh tahun dan berakhir pada abad kelima,
adalah peperangan antara dua kelompok dari suku Aniza.
Dimulai dengan pencurian seekor unta betina yang sakit milik
seorang perempuan tua, peristiwa ini berakhir -- sebagaimana
sering terjadi di masa itu -- dengan suatu mediasi. Hasil
akhirnya -- sebagai ciri roman Spanyol-Islam dan
mempengaruhi semua kepustakaan Barat -- adalah roman
kepahlawanan Arab, yaitu The Story of el-Zir (Cerita
tentang az-Zir).
Sejarah membawa orang-orang ini ke Eropa sekaligus
membawa sebagian besar kebudayaannya. Salah satunya adalah
seorang guru darwis yang secara mendalam terlibat dengan
tradisi musik, roman dan kesukuan dari kabilahnya.
Suku orang tua dari Aniza itu diyakini oleh semua penyair
Badui sebagai Klan al-Fakir ("yang sederhana"). Gelar
ini diadopsi oleh para darwis, sementara salah satu istilah
turunannya ditujukan kepada para guru yoga palsu yang
berkeliling India yang mematikan rasa mereka sendiri dan
berbaring di atas paku-paku, untuk tujuan yang tidak bisa
diketahui dengan jelas; kecuali bahwa salah satu pandangan
orang-orang yang melihatnya mungkin berharap bisa
mengungguli mereka.
Suku al-Fakir masih hidup di Arab Barat Laut dekat
pemukiman nenek moyangnya di Khaibar, kota kuno untuk
benteng kuat pada masa Muhammad. Suku Aniza mempunyai banyak
legenda, salah satunya terkait dengan keharusan
perkembangbiakan lahiriah mereka. Menurut cerita ini, Wail
al-Fakir dan semua nenek moyang suku Aniza pada suatu "Malam
Kekuatan" (kemungkinan malam kedua puluh tujuh dari bulan
Ramadhan) melakukan suatu permohonan. Ia meletakkan salah
satu tangannya ke tubuhnya sendin dan tangan satunya ke unta
betinanya yang agung, lalu berdoa agar benih keduanya bisa
berlipat ganda. Akibatnya seperti yang diceritakan kepada
kita, suku Aniza itu sekarang ini menjadi subur dalam kedua
bidang itu, dengan kekuatan sekitar 37.000 orang dan sekitar
satu juta ekor unta. Mereka juga mempunyai kesuburan yang
semakin kuat. Tradisi mereka juga telah berubah ke dalam
berbagai kepercayaan dari sistem peribadatan ini yang
bergantung pada keanggotaan suku Aniza.
Saat ini mereka banyak tinggal di gurun Syria, karena
mereka telah berjuang memperoleh pemukiman di sana lebih
dari dua abad dan berakhir sekitar tahun 1600 M. Sistem
peribadatan kelompok Maskhara yang terkait dengan nama
mereka, paling tidak kembali kepada nama Abu al-Athahiyyah
(748-kira-kira 828). Sebagai seorang pengrajin tembikar dan
pemikir, ia merindukan kesembangan yang lebih sempurna
antara kejayaan Baghdad pada masa Harun ar-Rasyid dengan
perkembangan kemampuan batin manusia. Ia menyatakan hal itu
kepada khalifah yang kemudian memberikan tunjangan hidup
sebanyak 50.000 keping perak kepadanya.
Ia menjadi seorang penulis dan meninggalkan sebuah
kumpulan sajak mistik yang "mengangkatnya pada posisi
sebagan bapak syair Arab suci".
Setelah kematiannya, kelompok murid-muridnya, al-Arifin,
memperingatinya dengan sejumlah cara. Untuk menandai
sukunya, mereka mengadopsi kambing gunungyang asal-usulnya
sama dengan nama kesukuan (Anz, Aniza). Obor di antara
tanduk kambing ("setan" di Spanyol, sebagaimana hal itu
terjadi pada masa berikutnya) menyimbolkan cahaya iluminasi
intelek (kepala) "kambing", guru Aniza. Tanda kesukuannya
(wasm) sangat mirip dengan sebuah anak panah lebar
yang juga disebut kaki elang. Nama alternatif bagi Aniza
adalah sejenis burung. Tanda ini -- dikenal oleh para
pemikir sebagai kaki angsa -- menjadi tanda bagi tempat
pertemuan mereka. Sebagian pengikutnya, terutama para gadis,
ditandai dengan sebuah tato kecil atau tanda lain sesuai
dengan tradisi Badui. Setelah kematian Athahiyyah, sebelum
pertengahan abad kesembilan, riwayat menyatakan bahwa
sekelompok sektenya pindah ke Spanyol yang pada saat itu
berada di bawah kekuasaan Arab lebih dari satu abad.
Simbol-simbol dan berbagai kebiasaan yang terkait dengan
afiliasi kesukuan itu tetap digunakan. Hal ini sesuai dengan
praktek darwvis. Setiap guru mengajarkan suatu kebiasaan
khas bagi sektenya dan berubah ketika sekte itu diambil-alih
oleh guru lainnya. Tujuannya adalah memelihara perasaan
kesukuan.3
Semua ini bukan berarti tidak ada sistem pemujaan yang
lebih tua di Eropa dengan tipe serupa. Namun hal ini mungkin
untuk memperlihatkan peniadaan bunyi silabel dari dua kata
itu yang pada akhirnya menakutkan gereja Abad Pertengahan.
Sejak saat itu ia tetap menjadi misteri menarik bagi setiap
kalangan. Bahkan beberapa bagian ajaran para penyihir
perempuan itu sangat dekat dengan syair Sufi Abad
Pertengahan, terutama ajaran Sufi Ibnu Arabi, yang sedikit
banyak perlu disampankan dalam bahasan ini.
Sementara suku Quraisy adalah suku Arab paling mulia, dan
klan tertinggi derajatnya adalah Bani Hasyim. Mereka
dipandang berbeda, karena mereka adalah (asal) darah
kenabian dan kebangsawanan. Meskipun demikian, suku yang
hampir menyamai mereka adalah suku Aniza yang perkasa. Tiga
penguasa pada saat ini (di jazirah Arab) berasal dari
keluarga ini -- Raja Saudi Arabia, Syekh Kuwait dan penguasa
Bahrain.
Bahan ini menunjukkan tiga kemungkinan penting atau
cara-cara dalam menilai dan menggambarkan berbagai pertemuan
para penyihir Barat. Pertama, kita bisa menyebutnya sebagai
keberlangsungan agama kuno (pra-Kristiani); kedua, pemasukan
suatu pemujaan Spanyol Islam; ketiga, suatu perkembangan
anti-Kristen: salah satu atau semuanya tentu saja bisa
mengandung unsur-unsur luar.
Para pendukung teori "agama kuno" telah menekankan segala
sesuatu yang digunakan mereka. Bagi mereka, simbol tanduk
berarti keberlangsungan suatu ritus perburuan atau
kesuburan, di satu sisi berupa tarian, di sisi lain sebagai
isyarat binatang. Para pengamat kependetaan menandaskan
bahwa pesta itu adalah suatu sakramen terkutuk dan pemberian
tanda itu (tato, dan lain-lain) adalah suatu pelecehan
terhadap ajaran baptis, dan seterusnya.
Seperti pemahaman kita yang berbeda-beda tentang
permainan sepak bola, penafsiran itu bergantung kepada
pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, bukan
bergantung pada dugaan-dugaan kita bahwa karena sesuatu
ditemukan di tempat tertentu pada waktu tertentu, maka Ia
pasti sesuai dengan teori atau dugaan kita tentang apa yang
sesungguhnya terjadi. "Setan, tanduk, bayi-bayi yang
direbus" adalah sebuah versi. "Tuhan/dewa-dewi, tarian
kesuburan, kerahasiaan untuk mempertahankan agama kuno"
adalah versi lain. Versi ketiga adalah "simbol dari suku
Aniza, gurunya dan berbagai halusinasi".
Istilah "agama kuno" -- dua penyihir lainnya menerimanya
sebagai suatu indikasi tentang asal-usul pra-sejarah dari
sistem pemujaan itu -- adalah suatu ungkapan standar Sufi
yang sering digunakan sebagai "kepercayaan antik", "agama
kuno", "tradisi kuno". Hal ini ditekankan oleh Sufi Spanyol,
Ibnu Arabi, dalam puisi-puisi cintanya.
Jika tradisi kuno itu benar-benar ada di Eropa sebelum
abad kedelapan, ketika orang-orang Saracen (Spanyol Islam)
menduduki kawasan tengahnya, maka tak ayal lagi bahwa ia
telah berpenetrasi secara menyeluruh dalam aturan sistem
politik, terminologi Sufi dan simbolisme kesukuan Arab
dimana tingkat pengaruhnya berbeda-beda.
Apa yang bisa kita temukan dengan ungkapan "kepercayaan
antik", atau "tradisi kuno"? Terjemahkan kata "antik",
"kuno" ke dalam akar tiga huruf QDM,4
maka kita akan mendapatkan makna puitik:
QDM = konsep preseden (keutamaan).
Beberapa kata turunan (musytaq) dari akar kata ini bisa
kita temukan dalam setiap kamus Arab sebagai berikut:
Qidam (QiDM) = keutamaan, keberadaan awal.
Qidman (QiDMan) = tua, masa yang lama.
Qadam (QaDaM) = tingkatan tinggi, keberanian.
Qadam (QaDaM) = kaki manusia, langkah, tahapan gerak.
Qadum (QaDUM) = kapak.
Qadim (QADiM) = masa depan.
Al-Qadim (AL-QaDiM) = Yang Maha Terdahulu (sifat
Tuhan).
Qaddam (QaDDAM) = ketua, pemimpin.
Kata aneh ini mempunyai makna keabadian dengan pengertian
bahwa ia memperlihatkan keabadian waktu. Padanannya dalam
bahasa Inggris bisa jadi adalah kata precedence, yang
mengandung makna "mendahului" (sehingga mengacu pada masa
lalu) dan "bergerak ke depan". Kapak yang dibawa para
pengembara darwis disebut qadum. Ada dua kata
al-Qadim -- al-Qadim (Syekh, Pir) dari para
Sufi dan al-Qadim (Tuhan). Dua kemungkinan ini, yang
bermakna keabadian, di satu sisi manusia (pemimpin tarekat)
dan di sisi lain sesuatu yang lebih tinggi (Tuhan),
dimaksudkan untuk menyampaikan suatu konsep yang sangat
pelik. Oleh karena itu, para Sufi sering dituduh meyakini
bahwa para pemimpin mereka adalah Tuhan. Dengan menggunakan
kata ini secara khusus dan puitis, mereka sebenarnya
memperlihatkan bahwa ada dua versi yang mungkin diambil alih
oleh istilah al-Qadim.5
Yang satu adalah guru yang memiliki berbagai kualitas
tertentu dengan suatu sifat yang agung dan dekat dengan
sifat ketuhanan yang mungkin bisa dilihat pada diri seorang
manusia. Para Sufi maupun para penyihir menggunakan langkah
pincang yang bersifat seremonial untuk mengungkapkan
pengertian kata Arab qadam, maknanya langkah. Ada
satu perbedaan penting dari versi Timur dan Barat. Di Timur,
kata qadam (langkah, tahapan) diulang-ulang untuk
tujuan penyampaian sandi-sandi rahasia. Sufi melangkah ke
samping untuk mengingat-ingat akar kata yang sesungguhnya.
Ketika ia melakukan suatu langkah pasti, baik sebagai suatu
tanda pengenalan atau selama upacara, ia melakukannya untuk
menegaskan penyampaian terus-menerus dari kata QDM. Dengan
menerapkan kata ini dalam cara kerjanya, maka pembentuk
ritual atau sistem password telah menjamin
keberlangsungannya -- paling tidak di kalangan yang bisa
memahami kata-kata Arab sampai pada tingkatan tertentu.
Dalam pengalaman saya sendiri, ketika diajari metode
membuat tanda langkah tertentu, saya diutus untuk
mempelajari semua unsur kata dari pengertian "langkah". Dari
kajian ini muncul kesadaran bahwa ia maju setapak demi
setapak, bahwa ia bergerak maju ketika ia juga berasal dari
corak kuno yang terbesar.
Sangatlah jelas bahwa dalam penyampaian bentuk-bentuk
lahiriah di negara-negara yang tidak berbahasa Arab, suatu
penyesuaian kata-kata serupa tidak terjadi. Secara ideal,
jika idea dari suatu agama kuno dengan suatu tujuan
progresif diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para
penyihir atau apa pun namanya, mereka seharusnya memiliki
kata semacam kata succeed. Kata sucession
berarti "menyusul/datang kemudian", tetapi ia juga
mengandung makna sesuatu di masa depan, sesuatu yang bisa
diraih. Maka berbicara dari sudut pandang proses yang sedang
digambarkan, pengertian kuno itu pastilah sudah dikenal
dalam transisi Barat sebagai
"penggantian".6
Perubahan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya dimana
isyarat kuno tetap ada, bertentangan dengan gagasan
evolusioner dari para Sufi. Sifat metamorfosis inilah yang
menyebabkan perkembangan Sufi sangat sulit dipelajari secara
akademik. Singkat kata, hanya versi-versi hampir punah yang
telah kehilangan mobilitasnya.
Catatan kaki:
1 John A. Subhan,
Sufism, Its Saints and Shrine, Lucknow, 1938, hlm.
1.
2 Di bawah kekuasaan
Muslim Spanyol, ada sejumlah besar orang Syria di Spanyol.
Hubungan Normandia-Syria niscaya telah berlangsung sejak
tahun 844 M. ketika Sevilla dijarah.
3 Di antara para penyihir
perempuan, ritual suku yang primitif diturunkan dari Aniza
yang diliputi elemen Sufi. Induksi beruntun dari kaum Badui
ke dalam kultus peribadatan hampir dipastikan
bertanggungjawab atas pembalikan kultus demi tribalisme
(rasa kesukuan).
4 Bandingkan dengan
Asrar al-Qadim wa al-Qadam (Rahasia-rahasia Sufi
tentang Masa Lalu dan Masa Depan).
5 Ada keanehan lain dari
kosa-kata ini, yaitu sifat sugestif dan penuh makna dari
kata-katanya. Kata-kata dalam bahasa Arab bagi seorang Sufi
mempunyai kefasihan hebat. Kata-kata (Arab) itu sebenarnya
mengandung makna yang memerlukan banyak penjelasan dalam
bahasa lain. Oleh karena itu, kata-kata ini paling sesuai
untuk menyampaikan berbagai konsepsi ghaib. (Syekh
al-Musyaikh, Tasawwuf al-Islami, London, 1933
[Islamic Sufism, oleh I.A. Shah], hlm.
39).
6 Para penyihir Swedia
dari Mohra menyesuaikan konsep ini secara cepat ketika
mereka menyebut pemimpin mereka sebagai "Pendahulu"
(Antecessor).
|