81. RAHIB DAN WANITA
Dua orang rahib Buddha, dalam perjalanan pulang kembali
ke biara, bertemu dengan seorang wanita vang sangat cantik
jelita di tepi sungai. Seperti mereka, wanita itu pun ingin
menyeberangi sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka
salah seorang rahib menggendongnya sampai di seberang.
Rahib yang satunya lagi sungguh-sungguh merasa mendapat
batu sandungan. Selama dua jam penuh ia mencaci-maki
temannya, karena lengah mematuhi Peraturan Suci. Apakah ia
lupa, bahwa ia seorang rahib? Bagaimana ia sampai-sampai
berani menyentuh seorang wanita? Dan lebih lagi
menggendongnya menyeberang sungai. Lalu bagaimana kata orang
nanti? Apakah tidak merendahkan martabat agamanya? Dan
begitu seterusnya.
Rahib yang bersalah itu dengan sabar mendengarkan khotbah
yang tak habis-habisnya itu. Akhirnya ia menyela: 'Kawanku,
aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah
engkau masih tetap membawanya?'
--o000o--
Seorang Sufi Arab, Abu Hassan Bushanja, berkata: 'Dosa
sebagai perbuatan tidak begitu parah dibandingkan dengan
keinginan serta pemikiran tentang dosa itu. Memang untuk
sesaat tubuh membiarkan perbuatan senang; namun berbeda
sekali dengan budi dan hati yang mengunyah-ngunyahnya tiada
habis-habisnya.'
Kalau seorang yang patuh pada agama, dengan tiada
habis-habisnya mengunyah-ngunyah dosa yang dilakukan oleh
orang lain, timbullah kecurigaan, bahwa mengunyah itu lebih
memuaskannya daripada berbuat dosa menyenangkan si
pendosa.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
|