Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

AYAH DAN PICI

Manusia bukan gunung. Ini pepatah Rusia yang saya dengar dalam film The Gulag Archipelago. Artinya, manusia bisa berubah. Begitu juga Ayah.

Saya hidup dalam dunia kecil yang ruwet. Desa saya desa Muhammadiyah. Pengajian saya pun, di sore hari, Muhammadiyah; maka, jadilah saya anak Muhammadiyah.

Ayah lain lagi. Ia sudah ada sebelum datang ke desa kami unsur pembaru itu. Ia abangan. Apa boleh buat.

Abangan? Ia memang tak mendefinisikan diri begitu. Maka, baiknya diperjelas: ia tak salat lima waktu. Tapi ia pernah bertapa, seperti dilakukan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad sebelum masa kenabiannya. Ayah juga mengajar saya berhenti makan sebelum terlalu kenyang seperti teladan Kanjeng Rasul. Dan ia pun doyan tirakat, seperti riadloh teman-teman NU di pesantren: makan cuma umbi-umbian, cegah daging, cegah garam. Dan melek malam.

Wisdom-nya: jangan sebut keburukan orang. Lupakan kebaikanmu sendiri. Baginya, agama itu hidup. Kalau kita sudah mengerti makna hidup, baru kita paham apa itu agama.

Ketika saya masih sembilan tahunan ia pernah menegur, "Untuk apa kamu jengkang-jengking (salat)? Tahu apa kamu?"

Saya sedih. Di luar rumah, tahun 1960-an itu, teman-teman yang lebih dewasa bicara ideologi. Juga soal jihad, perang sabil, dan keluhuran agama. Tapi tiap lagu Genjer-Genjer dinyanyikan sebelum dan sesudah pertunjukan ketoprak, terasa di sana bagaimana pihak "musuh" meremehkan agama. Ada bahkan ketoprak dengan lakon: Patine Gusti Allah (Kematian Tuhan).

Di tengah kemiskinan yang mencekam, bicara tentang ideologi dan tentang kawan dan lawan memang terasa seperti jalan keluar yang baik. Ideologi membuat lupa bahwa sebetulnya kita lapar, dan bahwa kita tak mampu beli beras.

Beras ibarat semahal emas. Kami makan bubur. Mungkin lebih tepat minum, sebab terlalu encer. Itu pun kadang kurang. Sering Ayah menahan diri dan tak makan. Hampir tiap malam Ibu tidur di lantai, di depan pintu, tanda prihatin.

Menjelang tidur, Simbah selalu bicara tentang zaman normal, zaman lampau yang lebih baik, ketika Ayah masih anak-anak. Simbah, Ayah, dan Ibu percaya zaman susah itu akan berakhir segera setelah datang Ratu Adil suatu hari nanti.

Saya tidak tahu Ratu Adil. Yang saya ketahui ialah bahwa saya takut. Sikap mereka, bicara setengah berbisik, bercerita setengah berharap, buat saya terasa seolah isyarat akan datangnya sesuatu yang lebih gawat.

Goro-goro, menurut orang Jawa, pertanda akan datangnya perubahan alam serta zaman. Dalam dunia wayang, setelah goro-goro di tengah malam itu, keluar Petruk, Semar, Gareng, Bagong: simbolisasi rakyat. Mereka mengawal, dan juga gigih membantu, satria utama menegakkan kebenaran. 

Gerakan 30 September PKI yang bikin bumi kita gonjang-ganjing, barangkali juga goro-goro itu. Pemerintahan diganti sesudahnya. Tatanan politik diubah. Pancasila dan UUD 45 dikedepankan. Partai politik dibuat sederhana. Dan kehidupan agama lebih semarak. Terbukti, ketakwaan kepada Tuhan jadi salah satu syarat pengangkatan seorang menteri.

Rapat-rapat raksasa dan ganyang ini ganyang itu harus juga menjadi jiwa dan semangat rakyat di zaman Orla dulu, tetapi deru "mesin" pembangunan Orba menggantikannya. Kurang lebih jargonnya berbunyi: partai/ideologi politik mengakibatkan perpecahan, pembangunan menghasilkan beras. Kongkret sekali.

Keadilan sosial belum tercapai tak menjadi soal karena pembangunan belum selesai. Maka, rakyat harus membantu para "satria" mendorong roda pembangunan. Tiap suasana kritis, rakyat diminta mengetatkan sabuk. Ini demi pembangunan. Betul jihad itu bukan melulu berarti kibasan pedang dalam luapan rasa marah. Tapi kata itu telanjur tidak cocok buat alam pembangunan.

Petugas KB malah diberi hak "mengintip" kamar tidur tiap pasangan suami-istri agar mereka tak terlalu banyak bersanggama. Alasannya pun jelas: lebih baik energi itu buat pembangunan.

Wajah Indonesia berubah cepat. Di sana-sini yang tampak cuma pembangunan dan pembangunan. Begitu juga wajah desa saya. Muhammadiyah makin gaya. Pembinaan umat meluas. Dan Ayah kini sembahyang. Ke sana kemari bersafari dan berpici. Seolah takut bahwa tanpa pici lalu bukan Islam.

"Saya senang Ayah jadi santri," saya kasih komentar.

"Dari dulu, sebetulnya Ayah juga Islam," sahutnya. "Hanya dulu itu belum 'nglakoni' (menjalankan)."

Dari dulu Islam? Saya tak mengerti. Dalam benak saya terpola rumusan Clifford Geertz: yang salat itu santri, yang tidak berarti abangan.

"Tidak begitu," kata Bambang Pranowo dalam disertasi doktornya di Universitas Monash Australia itu. "Keislaman bukan state of being. Ia state of becoming. Dikotomi santri abangan itu tidak tepat."

"Sekarang Ayah salat," Ayah menjelaskan, "tapi tetap seperti dulu: tak suka ideologi karena bikin ricuh, mengganggu stabilitas nasional," katanya lagi, persis pejabat, atau Pak Kades dalam film Si Unyil.

Pendeknya, fenomena Ayah sembahyang pun ada kaitan dengan pembangunan. Maka, malam itu saya pun salat habis-habisan. Saya cuma berdoa, semoga Ayah diangkat jadi menteri ...

---------------
Mohammad Sobary, Tempo 31 Agustus 1991

 

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team