| |
|
BUNGKUK DAN KENTUT Ada Kolonel Muamar Khadafy di Libya, ada Utomo Danandjaya di Indonesia. Tidak kebetulan kedua tokoh ini disebut bersamaan dalam peristiwa yang sama. Khadafy adalah tokoh urakan yang gandrung akan kesederajatan di antara bangsa-bangsa Arab. Dan kesederajatan itu baginya ialah tampilnya manusia bebas, manusia yang tak perlu mencium tangan sesamanya. Pernah ia meneriaki Raja Hasan dari Maroko karena kedapatan mencium tangan orang lain "Ya, Hasan, kapan Arab akan maju kalau tradisi cium tangan masih dilestarikan?" katanya Utomo Danandjaya juga tokoh yang gigih mendukung egaliterianisme. Ia, dengan kata lain, berbagi aspirasi bersama Khadafy. Bedanya, Khadafy menentang ketidakbebasan jiwa yang tampil dalam bentuk cium tangan. Utomo emoh melihat orang membungkukkan badan di depan orang lain. Begitulah, saya pernah didamprat dalam suatu rapat Majlis Reboan, karena ketika lewat di depan Pak Tjip (Soetjipto Wirosardjono) saya membungkuk. "Mengapa kamu mesti membungkuk di depan Mas Tjip?" semburnya. Saya cuma mesem. Saya berharap ia tahu apa arti bungkuk saya itu. Maka dalam Majlis Reboan pekan lalu, saya membungkuk lagi ketika salaman dengan Pak Tjip. Saya sengaja berlama-lama agar kelihatan olehnya. Pak Tjip berbisik, "Awas, ketahuan Utomo kamu dimarahi lagi nanti." Diam-diam membungkuk itu bukan cuma sekadar sebuah peristiwa biologis, melainkan juga, terutama buat saya, sebuah fenomena kultural yang bisa mengundang multi-interpretasi. Membungkuk rutin yang dilakukan umat Islam dalam shalat mereka (ruku), itu secara psikologis melambangkan adanya pengakuan bahwa di atas manusia yang berkuasa di bumi ini, ada lagi maha-kekuasaan. Namun membungkuk dalam arti ini oleh orang Kejawen (atau oknum orang Kejawen) direduksi menjadi cuma sebuah unsur gerak badan. Mungkin, maksudnya karena dalam membungkuk itu terlampau ditekankan unsur eksoteris, kurang disertai kedalaman. Hal ini tentu bisa diperdebatkan panjang lebar. Tapi, dalam kolom pendek ini saya cuma ingin konsentrasi pada tafsiran membungkuk itu lebih lanjut. Dalam hubungan antar-manusia, membungkuk merupakan ungkapan kesadaran kelas. Orang yang posisinya lebih rendah, atau lebih muda, biasanya membungkuk pada pihak yang lebih tinggi, lebih tua. Resminya, membungkuk dalam hubungan ini cuma untuk memenuhi tuntutan sopan santun serta sikap hormat dari yang muda terhadap yang lebih tua. Tetapi dalam hubungan resmi antara atasan dan bawahan di kantor-kantor, membungkuk tiba-tiba berganti wajah; ia lalu sarat berbagai muatan kepentingan. Makna membungkuk sebagai sopan santun dengan begini sudah dikorup. Membungkuk jadi ukuran loyalitas. Dan simbiose mutualistis dalam proses membungkuk pun terjadi: yang dibungkuki (atasan) berbahagia, yang membungkuk (bawahan) memperoleh "bayarannya". Dibanding dengan orang-orang dari etnis lain, orang Jawa mungkin lebih mahir membungkuk. Di Jawa ada raja-raja, yang menuntut banyak pada rakyatnya. Rakyat harus membungkuk, baik secara ekonomis (mengirim asok gelondong pengareng-areng atau mudahnya upeti) maupun secara biologis (menyembah Ngerso Dalem Ingkang Sinuwun Baginda Raja). Di Batak atau Aceh persoalannya lain. Konon di sana tiap orang adalah raja. Jadi mana bisa orang yang sama belaka derajatnya itu harus membungkuk? Seorang sahabat saya dari Sumatera Barat pernah bercerita, ada orang Minang yang heran: Sejak kapan sebenarnya kita (orang Minang) belajar membungkuk? Pertanyaan itu dikemukakan dalam kaitan dengan kenyataan sosio-kultural kita saat ini, ketika kita dapati tiap orang tiba-tiba jadi orang Jawa. Di zaman penjajahan Belanda (bule yang tak bisa membungkuk), bukan hanya tidak mengurangi kebiasaan kita membungkuk, melainkan malah mempertegas keharusan kita membungkuk pada mereka. Kondisi parah ini diperparah lagi oleh Jepang. Alhasil, kita terus jadi orang yang membungkuk-bungkuk. Di awal revolusi sebenarnya kebiasaan membungkuk dicoba dikurangi. Sikap kesederajatan yang terpantul dalam penggunaan kata Bung (Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir) misalnya, mengisyaratkan hasrat itu. Sekarang keadaan berubah lagi. Banyak orang non-Jawa menjadi Jawa tidak cuma karena membungkukkan badan, melainkan juga karena sudah gandrung membungkukkan lidah, mungkin juga mental (?) mereka. Mereka terkesan begitu teresapi (setidaknya di kulit luar) oleh hal-hal yang serba Jawa. Mengutip wisdom Jawa, piwulang Jawa dan aneka filsafat hidup Jawa, kadang tanpa juntrungan yang pas. Ini mungkin termasuk sikap pejabat dan para artis juga. Pendeknya, orang belum puas sebelum mengucap kata mbalelo, ngono yo ngono ..., sekti tanpo aji, ngluruk tanpo bolo. Pak Tjip tahu bungkuk saya di depannya bukan bungkuk keterjajahan kultural. Ia tahu saya nakal. Jadi bungkuk saya padanya hanyalah bungkuk suba sita Jawa, tanpa muatan lain. Dan karena itu tak perlu ditafsirkan lain. Saya pun punya obsesi tentang manusia bebas. Saya punya kecenderungan melawan dominasi, apa saja coraknya. Perlawanan itu berbagai macam bentuknya, tergantung keadaan. Saya mengutip pepatah Etiopia dari buku James Scott: Domination and the Art of Resistance. Katanya, jika di Etiopia seorang tuan besar lewat, petani yang bijak pun membungkuk dalam-dalam, sambil diam-diam kentut. Membungkuk dalam hal ini jadinya adalah sebuah perlawanan kultural, tanpa hiruk pikuk, hampir tanpa risiko. Dan justru amat pedih bila yang dilawan mengerti artinya. Pernah saya dibentak Satpam sebuah bank di pojok bunderan Senayan itu, dan saya pun membungkuk dengan takzim. Satpam yang selalu di bawah dan dalam posisi diperintah terus-menerus itu membusungkan dada menikmati kemenangannya. Padahal bagi saya, ia saya jadikan sejenis ledek munyuk buat tontonan gratis. Artinya, di situ saya membungkuk tidak karena terjajah secara mental tapi semata berkat kenakalan. Saya membungkuk dalam di depannya, dan saya pun diam-diam juga kentut. Macam petani Etiopia itu. --------------- Mohammad Sobary, Kompas, 9 Desember 1991 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |