Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BUNGLON
 
    Bagaimana upaya memanjat
    Supaya selalu selamat
    Bagaimana cara jatuh
    Supaya tidak mengaduh
    Kakekku yang amat cermat
    Turunkan ilmu secara cepat
               (Taufiq Ismail)
 
Adakah hal yang begitu penting dalam  hidup  kita,  melebihi
keselamatan?   Agama   mengajarkan   perilaku  agar  manusia
memperoleh keselamatan. Islam memiliki doktrin selamat dunia
dan  akhirat.  Kristen  menekankan  salvation  (penyelamatan
jiwa).
 
Ketika saya mau hijrah ke Jakarta dua  puluhan  tahun  lalu,
nenek,  kakek,  ayah,  paman,  pakde,  dan tetangga-tetangga
memberi saya sangu (bekal) slamet  (selamat).  "Tak  sangoni
slamet" (aku bekali kau selamat), kata mereka.
 
Tiap  kali  saya pulang ke kampung, yang pertama-tama mereka
tanyakan ialah apakah  saya  dalam  keadaan  "selamat".  Pak
Arno,  salah  seorang  guru  SMA  saya,  memberi saya petuah
tentang empat "S" (sluman, slumun, sarwo, slamet).  Intinya,
bergaul  di  mana saja, dalam kelompok apa saja, orang harus
berperilaku begitu rupa  agar  jangan  lupa  memperhitungkan
upaya mencari selamat.
 
Pinter  itu  perlu,  tapi  pinter yang membawa selamat. Kaya
juga baik, asal kekayaan itu juga membikin kita selamat.
 
Miskin pun tak dicela, karena bukankah yang penting selamat?
Kalau jasad dan jiwa selamat, harta bisa dicari.
 
Ditambah  moralitas  Jawa  bahwa hidup di dunia cuma sesaat,
ibarat cuma orang  mampir  ngombe  (singgah  buat  minum  di
kedai),  sikap  toleran terhadap kemiskinan dan mengutamakan
keselamatan di dunia yang kelak  akan  tiba,  menjadi  lebih
jelas lagi. Selamat terletak di atas segalanya!
 
Di  depan  gedung  LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
itu ada jalan memotong ke arah kompleks  perumahan  menteri.
Di  jalan  itu  mangkal  sejumlah kecil ojek. Satu di antara
tukang ojek itu seorang kakek dari Blitar, Jawa Timur.  Saya
sering   menggunakan   ojek   kakek   itu.   Vespa  tua  itu
tersuruk-suruk di jalan-jalan Jakarta,  mengantar  penumpang
dengan  mengutamakan  keselamatan.  "Biar  pelan asal jalan,
lambat tapi selamat," kata kakek itu.
 
Ketika baru kenal tiap kali mau berangkat dengan  vespa  itu
saya  selalu  ditanya,  apakah  saya  terburu-buru.  Sebagai
sesama Jawa, saya paham ke mana  arah  pertanyaannya.  Maka,
biarpun  saya  harus  mengejar  waktu,  saya selalu menjawab
bahwa waktu saya cukup longgar
 
"Soalnya, Pak," kata kakek itu, "bagi saya yang penting  itu
selamat.  Kalau  penumpang  terburu-buru pun akan saya minta
kerelaannya untuk  saya  antar  secara  pelan  asal  jalan,"
katanya.
 
Ketika  sebuah  Kopaja  berhenti  mendadak,  dan  kakek  itu
terpaksa menginjak rem secara mendadak juga, sehingga  ujung
ban  depan  vespanya  hampir menempel bagian belakang Kopaja
yang sembarangan itu, si kakek bukannya hanya  tidak  marah,
melainkan malah merasa beruntung.
 
"Untung  tidak  nabrak,"  katanya  kalem.  Ketika  bus  kota
memepetnya di trotoar, dia cuma  menggerutu:  piye  bus  iki
karepe ("apa maunya bus itu"). Rem diinjak dengan kalem. Dan
kami berhenti. Tak ada makian apa-apa. Yang ada malah  sikap
syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.
 
Kalau   prinsip  mengutamakan  selamat  di  jalan  raya  itu
terdengar oleh Polantas, kakek kita dari  Blitar  itu  pasti
mendapat  hadiah  istimewa. Sekurang-kurangnya ucapan terima
kasih.
 
Prinsip "asal selamat" itu tak cuma berlaku di  jalan  raya.
Dalam  tiap langkahnya kakek itu menomorsatukan keselamatan.
Ia memang bukan sembarang tukang ojek.Ia dulu pernah bekerja
di  kantor.  Memang  benar,  ia hanya pegawai rendahan. Tapi
pernah  ia  menolak  perintah  atasan  untuk  menandatangani
kuitansi  fiktif.  Semua  pegawai  sudah bertandatangan, dan
mereka kebagian rejeki. Cuma si kakek dari Blitar  yang  tak
mau.
 
"Saya  butuh  uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju
caranya,"  katanya.  "Cara  itu  tidak   membawa   selamat,"
tambahnya.
 
"Lho,   bukannya   atasan  yang  menyuruh?  Bukankah  atasan
menanggung semuanya?" kata saya.
 
"Betul. Tapi atasan saya itu  punya  atasan.  Dan  atasannya
atasan  saya  juga punya atasan lagi. Raja yang paling kuasa
pun punya atasan. Kepada atasan yang paling  atas  itu  saya
takut ...," katanya.
 
Kakek  kita  dari  Blitar  ini  mengingatkan saya pada sajak
Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon  yang  ditulis  oleh
penyair  top  kita,  Taufiq  Ismail. Chameleon alias bunglon
memiliki kemampuan untuk secara alamiah  menyelamatkan  diri
dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar.
 
Dalam  sajak  itu,  kakek bunglon menceritakan pengalamannya
bahwa ia pernah ditangkap manusia. Dokter  hewan  yang  bisa
bicara  bahasa  bunglon  telah  memindahkan bintil-bintil di
bawah kulit dan getah di ujung  lidah  si  kakek,  ke  tubuh
manusia
 
"Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu
masuk ke kulit manusia, manusia di  dunia  ini  sudah  lebih
sempurna  cara  berganti  warna  mereka.  Dan  lidah mereka,
semakin bergetah keadaannya," tulis Taufiq Ismail lagi.
 
Teman-teman kakek dari Blitar itu mungkin juga sudah menjadi
bunglon.  Mereka  menyesuaikan  warna  "tubuh" mereka dengan
warna "tubuh"  sang  atasan.  Itulah  "ilmu  selamat"  dalam
pengertian mereka.
 
Sebab,  kalau  mereka  menolak,  atasannya  akan  menganggap
mereka klilip (penghalang)  dan  harus  disingkirkan.  Nasib
mereka  kemudian  akan  sama dengan nasib kakek dari Blitar:
terpental.
 
Di sini kita berhadapan  dengan  dua  fenomena:  kakek  dari
Blitar dan kawan-kawannya. Sering kita harus memilih satu di
antara  keduanya.  Ini  pilihan  susah.   Dua-duanya   punya
justifikasi sebagai "ilmu selamat".
 
Barangkali,  umumnya  kita  adalah  potret  dari kawan-kawan
kakek kita dari Blitar  karena  dua  alasan.  Pertama,  kita
umumnya   lebih   mengutamakan   upaya   penyelamatan  jasad
ketimbang roh. Kedua, kita  diam-diam  telah  menukar  kulit
kemanusiaan   kita   dengan   kulit   bunglon.  Kita  semua,
pendeknya, mungkin sudah jadi bunglon.
 
---------------
Mohammad Sobary, Kompas, 21 November 1991

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team