| |
|
EMAS TANDA CINTA BUTA oleh Mohamad Sobary (http://www.jawapos.co.id/25 januari/de25j5.htm) AKHIRNYA musyawarah dalam keluarga kecil itu berhasil memutuskan mudik juga meskipun kondisi ekonomi begitu lesu. Harga semua barang naik. Tunjangan hari raya dari kantor tidak ada. Uang tetap sukar diperoleh. Bahkan sangat jauh lebih sukar hari ini dibanding beberapa bulan lalu. Tapi, mengapa Kang Mudi berkeras hati untuk tetap pulang dan sang istri tetap "manut" kehendak sang suami? Soalnya, kata Kang Mudi, ini sudah tradisi. Lebaran di Jakarta memang Lebaran juga namanya. Bahkan, di Jakarta lebih dekat dengan kawan-kawan di tempat kerja. Kalau mau, saling mengunjungi untuk maaf-memaafkan bisa dilakukan dengan mudah. Tapi, saling mengunjungi dan maaf-memaafkan dengan cara itu bukan tradisi. Mereka bisa melakukannya dengan baik setelah --seperti biasa-- kembali masuk kerja. Tradisi mereka dilakukan di kantor. Jadi, tradisi di kampung itulah yang perlu dibela dengan susah payah. Lagi pula, Kang Mudi juga mempunyai rasa cinta tanah air seperti orang-orang Jakarta. Ketika di layar televisi melihat beberapa tokoh menukar dolar dengan rupiah, Kang Mudi diam membisu. Kerongkongannya seperti tersekat. Ia hendak memberi komentar, tapi suara itu tak kunjung keluar. Apa yang hendak dikatakannya? Ketika acara televisi itu selesai, ia baru merasa sedikit lebih tenang. Kemampuan berpikir jernih dan daya nalarnya pulih kembali secara pelan-pelan. Dan, berkatalah ia kepada Yu Kemi, istrinya. "Wong-wong itu jane dho pamer opo piye to (Orang-orang itu sebenarnya pada pamer atau apa)?" "Orang kaya selalu bebas berbuat apa saja. Namanya juga orang kaya," sahut istrinya. "Lha pamer kok diembel-embeli cinta rupiah, cinta negara, segala macam," gerutunya. "Lha Pakne juga bebas kok kalau mau ikut pamer dolar." "Dolare mbahmu, ya," gerutunya. Memang, tidak pada tempatnya Kang Mudi ikut pamer dolar. Uang dolar itu saja ibaratnya belum pernah dilihatnya. Ia sejak dulu cuma melihat rupiah. Membeli jeruk dengan rupiah. Membeli aqua dengan rupiah. Membeli rokok kethengan di pinggir jalan pun dengan rupiah. Juga tiap membeli kaus, baju, sarung, sepatu. Ia pegawai negeri. Posisinya lumayan. Tapi, gajinya rendah. Boleh dikata, dari tahun ke tahun, selama hampir lima belas tahun masa dinas, ia hanya makan gaji. Tak ada "cabang", tak ada "ranting" apa pun. Penghasilan utamanya juga gaji itu. Tapi, Yu Kemi membuka warung kecil-kecilan di rumah. Warung itu berkembang. Dan, lama-lama, penghasilan dari warung bisa jauh lebih besar daripada gaji yang diperoleh Kang Mudi. Yu Kemi dengan sendirinya sangat mandiri secara ekonomi. Tiga anak mereka --Ato, Adi, dan Ami-- masing-masing sudah kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu SMP. Biaya untuk mereka --kata Yu Kemi-- uleng-ulengan, artinya sangat banyak. Kalau Yu Kemi lagi merasa ruwet, ia mengeluh karena anak-anak itu keperluannya sebentar-sebentar duit, sebentar-sebentar duit. Dikiranya duit itu cuma tinggal diraup dari laci kantor bapaknya. "Laci kantor bapakmu isinya bukan duit, tapi kertas kosong, amplop surat dari kampung, surat tagihan televisi, dan tanda utang dari koperasi. Makanya, suruh bapakmu mengisi laci dengan duit negara. Suruh bapakmu korup duit negara kalau semua kebutuhan harus selalu dipenuhi." "Wis, wis, Bune," kata Kang Mudi menenangkan sang istri. Diam-diam Kang Mudi sadar, tugas istrinya alangkah rumit dan beratnya. Dia sendiri tiap hari cuma pergi ke kantor. Dan, di kantor ia tak harus banyak berpikir. Orang lain --atasannya-- yang selalu berpikir untuk dia, mengenai apa yang harus dilakukan. Dia tinggal bekerja sebaik-baiknya. Bahkan tak harus sebaik-baiknya. Jiwa Yu Kemi lilih, leleh, luluh kalau sang suami sudah berkata lembut. Dan, saat itulah Kang Mudi memainkan kartu utamanya. Dia menanyakan emas yang disimpan sang istri. "Bukankah dulu ada sekitar sepuluh gram?" "Lima belas," sahut sang istri. "Itu kalung apa ali-ali (cincin) to Bu?" "Kalung," sahut sang istri. Inilah kunci utama yang memaksa mereka mudik. Kang Mudi berhasil dengan gemilang meyakinkan istrinya bahwa mudik kali ini lebih patriotik sifatnya dibanding semua jenis mudik sebelumnya. Dia ingin menyerahkan kalung emas simpanan sang istri kepada Pak Camat di kampung sebagai tanda duka atas krisis sekarang. Dengan sumbangan emas itu, semoga para pemudik lain --juga para saudagar dan orang-orang kaya di kampung-- terketuk jiwanya dan mereka pun bersedia berkorban demi tanah air. Ketika wajah tanah air sedang bermuram durja seperti sekarang, siapa yang diharapkan bertindak tepat kalau bukan kita sendiri? Kalau kita tak berbuat sesuatu, apa tanda cinta kita pada tanah air? Sikap patriotik harus diperlihatkan. Berapa pun nilai yang kita sumbangkan, jumlah itu ada gunanya. Minimal buat menyumbang pembangunan desa mereka sendiri. Yu Kemi tahu, suaminya hanya latah. Khas latahnya golongan atas, demi menyenangkan bos mereka. Atau ikut meneladani tindakan patriotik dua orang kiai di Jakarta, yang juga menyerahkan emas kepada negara. Tapi, Yu Kemi tak mau berkomentar. Biarlah lima belas gram emas itu diserahkan kepada Pak Camat kalau betul itu memberi suaminya harga diri dan rasa bangga. Ia sebenarnya diam-diam sudah merasa tergiur untuk ikut muncul di televisi sambil menukar dolar dengan rupiah. Keinginan itu jelas tak terpenuhi. Dan, ia pun tahu bahwa ia tak diharap melakukan peran itu. Dan, begitulah sebenarnya pergolakan dalam jiwa Kang Mudi. Dan, sekarang, ketika jalan keluar diperoleh, keluarga kecil itu kemudian naik kereta api dari Gambir menuju kampung halaman. Kota demi kota dilintasi. Semalam suntuk mereka duduk di kursi keras dalam ruangan penuh sesak manusia yang juga ingin mudik. Bedanya, mungkin, Kang Mudi mudik dengan tujuan utama menyumbang tanah kelahiran. Sambil terkantuk-kantuk, di sepanjang jalan dia sudah membayangkan adegan besok pagi di kecamatan, ketika dia menyerahkan kalung emas kepada Pak Camat. Dia membayangkan di kecamatan ada wartawan daerah yang memotretnya dan mewartakan komitmen kebangsaan yang diperlihatkannya. Dapatkah sumbangan itu memecahkan krisis moneter kita? Tidak. Sama sekali tidak. Saya kira, cuma memperlihatkan kepada kita bahwa benar, cinta memang buta. Juga cinta yang diwujudkan dengan emas atau dolar. Date: Sun, 25 Jan 1998 15:27:44 +0100 From: asngari <us88@rz.uni-karlsruhe.de> |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |