| |
|
DUNIA KECIL DI DESAKU Hubungan orang-orang di desa saya mulanya tak begitu menarik, seperti tak mempunyai arti khusus. Di sana ada Kang Jomono, petani gurem, yang tak fasih mengucapkan dua kalimat sahadat ketika kawin dulu tapi sampai sekarang hidupnya ayem dan rileks. Ada juga Mbah Wali, juragan kayu yang makmur, sudah dua kali pergi naik haji. Ilmu agamanya tak sedalam yang ia bayangkan sendiri, tapi jelas ia santri fanatik. Kemudian ada Den Joyo, pensiunan mantri kehutanan. Ia masih trah darah biru. Gaya hidupnya masih ingin melanjutkan tradisi kehidupan aristokrasi. Tak lazim di desa miskin di Bantul, rumahnya berpagar tembok tinggi. Di bagian depan ada gapura, sebuah tiruan kecil gaya bangunan kraton. Sering Kang Jomono buruh pada Mbah Wali, mengangkut almari yang baru jadi ke rumah pemesan yang jauh. Hasil serabutan ini lumayan buat Yu Jiah, istrinya. Tapi Kang Jomono menunjukkan gejala tak betah. "Aku tak tahan didakwahi terus, Yah", katanya suatu hari. Ya sudah. Yu Jiah manut saja. Terserah apa maunya Kang Jomono. Kang Jomono, yang oleh Mbah Wali disebut abangan itu, sebetulnya bukan anti agama. Jauh di dasar hatinya ia pun Islam. Sering ia mengatakan, rak mung mergo dereng nindakke, hanya karena belum menjalankan (syariah Islam); khas ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf. Dibanding Mbah Wali dan Den Joyo, Kang Jomono hanya setingkat punakawan. Orang bisa menyuruh-nyuruh, dan mudah menertawakannya. Dan seperti layaknya punakawan, ia sering jenaka menertawakan diri sendiri atau orang lain. Ia pun bisa sinis. Pandai ngekik balik bila mau. Tentu saja, semua itu terutama bila tak langsung berhadapan. Umum, contohnya, memanggil haji tua itu Mbah Wali. Kang Jomono enak saja memanggil "kajine": harfiah berarti hajinya. Terasa di sini sinisme yang tandas. Bentuk hubungan pun jelas jadinya: kecuali kerja sama, seperti lazimnya di desa, antagonisme pun nampak tajam. Saya mengamati baik-baik. Ternyata, mereka mewakili tiga varian penting: abangan, santri, priyayi, sebagaimana dirumuskan dalam The Relig1on of Java oleh Clifford Geertz yang masyhur itu. Sebagai santri Mbah Wali berpegang pada ajaran, bayar buruh-buruhmu sebelum keringat mereka mengering. Dan buruh-buruh itu, termasuk Kang Jomono, senang dengan ketepatan Mbah Wali membayar. Haji tua yang nama sebenarnya Walidin itu mempunyai dua macam pantangan: pantang menunda pembayaran buruh, pantang orang meminjam uang kepadanya. Sulit disangkal, Mbah Wali memang murah dalam berbagai hal. Murah senyum. Murah nasihat. Dan bila sedang memperlihatkan kehajiannya, di atas kendaraan pun orang yang baru dikenalnya didakwahi juga. Tapi bila urusannya menyangkut uang, tua-tua masih getol ngotot. Ini bisa dimengerti, karena Mbah Wali pedagang. Kepada Tuhan pun pada dasarnya ia bersikap dagang. Pernah ketika Yu Jiah keguguran, Kang Jomono bermaksud meminjam uang buat membelikan Yu Jiah jamu sehat. Apa kata Mbah Wali? Sebagus-bagusnya harta ialah hasil cucuran keringat, bukan pinjaman. Kang Jomono memendam semacam rasa kecewa. Makin berani saja jadinya ia menyebut kajine, atau memberi ejekan baru kaum nggoiril, diambil dari ghairil... dalam surat al-Fatihah. Jamaah masjid jengkel mendengar ejekan itu. Tapi Mbah Wali bisa toleran. Soalnya sering ia memaki Jomono si "kapir" (kafir). Ketegangan memuncak suatu hari ketika dengan sewot Mbah Wali menegur: "No, kamu ini kok tidak sopan to No". "Kenapa to Mbah"? "Lha merokok di depan orang puasa itu apa kamu kira? Gethuk"? "Yang puasa rak bulan to Mbah, bukan saya". "O ..., lha yo dasar si kapir, wong abangan. Tahu artinya kapir? Kapiran, celaka. E, ala No ..., No. Mbok ingat, kelak akan mati. Mati belum tentu nunggu tua Iho No." Kang Jomono mangkel. Tapi ia tak lalu patah. Ada saja jawabnya. "Lha sampeyan bisa begitu rak karena dompet sampeyan penuh duit. Coba sampeyan miskin seperti saya. Belum tentu jadi nggoiril." Mbah Wali diam. Kang Jomono dianggap neranyak, melunjak berlebihan. Den Joyo pun orang kaya. Sawahnya luas. Ia juga butuh buruh untuk menggarap sawah. Ia sendiri tak pernah memegang cangkul. Sekarang, sejak pensiun, kesibukan utamanya mengurus perkutut. Kadang-kadang menghadiri pertemuan kelompok kebatinan. Sejak kecewa dengan Mbah Wali, Kang Jomono pindah menjadi buruh Den Joyo. Ia betah di sana. Kecuali bisa minum teh manis dan makan sekenyangnya, bayarannya pun bagus. Ia bahkan boleh mengambil bayaran di muka, baru kemudian bekerja. Den Joyo memang baik. Ia selalu sedia memberikan pertolongan siapa pun yang memerlukannya. Sifat begitu memang yang diharapkan dari orang kaya oleh orang macam Kang Jomono. Sebagai imbalan, mereka yang miskin "membayar" kemurahan itu dengan penghormatan yang tulus, bukan basa-basi. Rupanya benar kata James Scott, orang kaya diakui sah kekayaannya hanya bila ia murah dan dermawan kepada yang miskin. Anehnya, kemurahan Den Joyo dikritik Mbah Wali sebagai tak mendidik, hanya menimbulkan ketergantungan dan membikin orang macam Kang Jomono tambah malas. Den Joyo pura-pura tak mendengar kritik itu. Ia tahu, Mbah Wali sedang berusaha menutupi sifat pelitnya. Meskipun begitu hubungan tetap baik. Waktu Den Joyo sakit Mbah Wali datang membawa ramuan obat. Sakit Den Joyo sembuh. Tapi sakit yang lain, sakit hati, muncul ketika Mbah Wali menasihati: Den, sakit ini akan hilang selamanya bila Den Joyo mau salat. Sebaiknya kita salat sebelum disalatkan. Den Joyo tersinggung berat. Tapi ia tak memberikan langsung reaksinya, kecuali "ya, ya, Mbah Wali," dan dalam hati menggerutu: "apa hanya seorang haji yang punya Tuhan?" Ketika Mbah Wali hajatan, semua diundang kenduri. Den Joyo tak mau hadir. Ia malas ketemu Mbah Wali. Dan diplomasi pun sementara putus. 1965, peristiwa G 30 S meletus. Tatanan mendadak dijungkir- balikkan. Ketakutan masal merayap dari rumah ke rumah tanpa mengetuk pintu. Banyak orang diciduk. Setidaknya buat diminta KODIM menjelaskan siapa dia. Dalam ketakutan yang mencekam waktu itu, orang butuh definisi diri yang jelas. Terutama orang macam Kang Jomono, abangan, yang disejalurkan dengan PKI. Masjid pun tiba-tiba penuh. Kang Jomono nampak di antara jamaah. Dan dengan pici hitam yang dibeli di Sanden itu identitas pun kini jelas: Muslim. Kang Sejo, Kang Katir, Kang Suji, Kang Parmin, Lik Renggo yang dulu BTI, Yu Senik yang Gerwani dan Kami yang aktif di Lekra, semua bagai terbius mantra gaib, tunduk mendengar khotbah-khotbah Mbah Wali. Ada semacam perasaan menang dalam diri haji tua itu. Dan perasaan itu sering diperlihatkan pada Kang Jomono. Tapi Kang Jomono tak peduli. Hidupnya yang miskin lebih berat ketimbang soal "kalah" dan "menang". Ia kini berprinsip: hidup ini sudah susah, jadi jangan ditambah susah lagi. --------------- Mohammad Sobary, Media Indonesia, Rabu 19 April 1989 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |