Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

DUNIA KECIL DI DESAKU
 
Hubungan  orang-orang  di  desa  saya  mulanya  tak   begitu
menarik, seperti tak mempunyai arti khusus. Di sana ada Kang
Jomono, petani gurem, yang tak fasih mengucapkan dua kalimat
sahadat ketika kawin dulu tapi sampai sekarang hidupnya ayem
dan rileks.
 
Ada juga Mbah Wali, juragan kayu yang makmur, sudah dua kali
pergi naik haji. Ilmu agamanya tak sedalam yang ia bayangkan
sendiri, tapi jelas ia santri fanatik.
 
Kemudian ada Den Joyo, pensiunan mantri kehutanan. Ia  masih
trah  darah  biru.  Gaya  hidupnya  masih  ingin melanjutkan
tradisi kehidupan aristokrasi. Tak lazim di desa  miskin  di
Bantul, rumahnya berpagar tembok tinggi. Di bagian depan ada
gapura, sebuah tiruan kecil gaya bangunan kraton.
 
Sering Kang Jomono buruh pada Mbah Wali,  mengangkut  almari
yang  baru  jadi ke rumah pemesan yang jauh. Hasil serabutan
ini  lumayan  buat  Yu  Jiah,  istrinya.  Tapi  Kang  Jomono
menunjukkan gejala tak betah.
 
"Aku tak tahan didakwahi terus, Yah", katanya suatu hari. Ya
sudah. Yu Jiah manut saja. Terserah apa maunya Kang Jomono.
 
Kang Jomono,  yang  oleh  Mbah  Wali  disebut  abangan  itu,
sebetulnya  bukan  anti  agama. Jauh di dasar hatinya ia pun
Islam. Sering ia mengatakan, rak mung mergo dereng nindakke,
hanya   karena   belum  menjalankan  (syariah  Islam);  khas
ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf.
 
Dibanding  Mbah  Wali  dan  Den  Joyo,  Kang  Jomono   hanya
setingkat  punakawan.  Orang bisa menyuruh-nyuruh, dan mudah
menertawakannya.
 
Dan   seperti   layaknya   punakawan,   ia   sering   jenaka
menertawakan  diri  sendiri  atau  orang  lain.  Ia pun bisa
sinis. Pandai ngekik balik bila mau. Tentu saja,  semua  itu
terutama bila tak langsung berhadapan.
 
Umum,  contohnya,  memanggil  haji  tua  itu Mbah Wali. Kang
Jomono  enak  saja  memanggil  "kajine":   harfiah   berarti
hajinya. Terasa di sini sinisme yang tandas.
 
Bentuk  hubungan  pun  jelas  jadinya:  kecuali  kerja sama,
seperti lazimnya di desa, antagonisme pun nampak tajam. Saya
mengamati  baik-baik.  Ternyata, mereka mewakili tiga varian
penting: abangan, santri,  priyayi,  sebagaimana  dirumuskan
dalam The Relig1on of Java oleh Clifford Geertz yang masyhur
itu.
 
Sebagai  santri  Mbah  Wali  berpegang  pada  ajaran,  bayar
buruh-buruhmu   sebelum   keringat   mereka  mengering.  Dan
buruh-buruh  itu,  termasuk  Kang  Jomono,   senang   dengan
ketepatan Mbah Wali membayar.
 
Haji  tua  yang  nama  sebenarnya  Walidin itu mempunyai dua
macam pantangan: pantang menunda pembayaran  buruh,  pantang
orang meminjam uang kepadanya.
 
Sulit  disangkal, Mbah Wali memang murah dalam berbagai hal.
Murah senyum. Murah nasihat. Dan bila sedang  memperlihatkan
kehajiannya,   di   atas   kendaraan  pun  orang  yang  baru
dikenalnya didakwahi juga. Tapi  bila  urusannya  menyangkut
uang,  tua-tua  masih  getol  ngotot.  Ini  bisa dimengerti,
karena Mbah Wali pedagang. Kepada Tuhan pun pada dasarnya ia
bersikap dagang.
 
Pernah  ketika  Yu  Jiah  keguguran,  Kang  Jomono bermaksud
meminjam uang buat membelikan Yu Jiah jamu sehat.  Apa  kata
Mbah   Wali?  Sebagus-bagusnya  harta  ialah  hasil  cucuran
keringat, bukan pinjaman.
 
Kang Jomono memendam semacam rasa kecewa. Makin berani  saja
jadinya  ia  menyebut  kajine, atau memberi ejekan baru kaum
nggoiril, diambil dari ghairil... dalam surat al-Fatihah.
 
Jamaah masjid jengkel mendengar ejekan itu. Tapi  Mbah  Wali
bisa  toleran.  Soalnya  sering  ia memaki Jomono si "kapir"
(kafir).
 
Ketegangan memuncak suatu hari ketika dengan sewot Mbah Wali
menegur: "No, kamu ini kok tidak sopan to No".
 
"Kenapa to Mbah"?
 
"Lha  merokok  di  depan  orang  puasa  itu  apa  kamu kira?
Gethuk"?
 
"Yang puasa rak bulan to Mbah, bukan saya".
 
"O ..., lha yo dasar si kapir, wong  abangan.  Tahu  artinya
kapir? Kapiran, celaka. E, ala No ..., No. Mbok ingat, kelak
akan mati. Mati belum tentu nunggu tua Iho No."
 
Kang Jomono mangkel.  Tapi  ia  tak  lalu  patah.  Ada  saja
jawabnya.
 
"Lha  sampeyan  bisa begitu rak karena dompet sampeyan penuh
duit. Coba sampeyan miskin seperti saya.  Belum  tentu  jadi
nggoiril."
 
Mbah  Wali  diam.  Kang  Jomono  dianggap neranyak, melunjak
berlebihan.
 
Den Joyo pun orang kaya. Sawahnya luas. Ia juga butuh  buruh
untuk  menggarap  sawah.  Ia  sendiri  tak  pernah  memegang
cangkul.  Sekarang,  sejak   pensiun,   kesibukan   utamanya
mengurus   perkutut.   Kadang-kadang   menghadiri  pertemuan
kelompok kebatinan.
 
Sejak kecewa dengan Mbah Wali, Kang  Jomono  pindah  menjadi
buruh  Den  Joyo.  Ia  betah di sana. Kecuali bisa minum teh
manis dan  makan  sekenyangnya,  bayarannya  pun  bagus.  Ia
bahkan  boleh  mengambil  bayaran  di  muka,  baru  kemudian
bekerja.
 
Den Joyo memang baik. Ia selalu sedia memberikan pertolongan
siapa  pun  yang  memerlukannya.  Sifat  begitu  memang yang
diharapkan dari orang kaya oleh  orang  macam  Kang  Jomono.
Sebagai imbalan, mereka yang miskin "membayar" kemurahan itu
dengan penghormatan yang tulus, bukan basa-basi.
 
Rupanya benar  kata  James  Scott,  orang  kaya  diakui  sah
kekayaannya  hanya  bila  ia  murah dan dermawan kepada yang
miskin.
 
Anehnya, kemurahan Den Joyo dikritik Mbah Wali  sebagai  tak
mendidik,  hanya  menimbulkan  ketergantungan  dan  membikin
orang macam Kang Jomono tambah malas.
 
Den Joyo pura-pura tak mendengar kritik itu. Ia  tahu,  Mbah
Wali sedang berusaha menutupi sifat pelitnya.
 
Meskipun  begitu  hubungan  tetap baik. Waktu Den Joyo sakit
Mbah Wali datang membawa ramuan obat.
 
Sakit Den Joyo sembuh. Tapi sakit  yang  lain,  sakit  hati,
muncul  ketika  Mbah  Wali  menasihati:  Den, sakit ini akan
hilang selamanya bila Den Joyo  mau  salat.  Sebaiknya  kita
salat sebelum disalatkan.
 
Den  Joyo tersinggung berat. Tapi ia tak memberikan langsung
reaksinya, kecuali "ya,  ya,  Mbah  Wali,"  dan  dalam  hati
menggerutu: "apa hanya seorang haji yang punya Tuhan?"
 
Ketika  Mbah  Wali hajatan, semua diundang kenduri. Den Joyo
tak mau hadir. Ia malas ketemu Mbah Wali. Dan diplomasi  pun
sementara putus.
 
1965, peristiwa G 30 S meletus. Tatanan  mendadak dijungkir-
balikkan.  Ketakutan  masal  merayap  dari  rumah  ke rumah
tanpa mengetuk pintu. Banyak orang diciduk. Setidaknya buat
diminta KODIM menjelaskan siapa dia.
 
Dalam  ketakutan  yang  mencekam  waktu  itu,  orang   butuh
definisi  diri yang jelas. Terutama orang macam Kang Jomono,
abangan, yang disejalurkan dengan PKI.
 
Masjid pun tiba-tiba penuh. Kang  Jomono  nampak  di  antara
jamaah.  Dan  dengan  pici  hitam  yang dibeli di Sanden itu
identitas pun kini jelas: Muslim.
 
Kang Sejo, Kang Katir, Kang Suji, Kang  Parmin,  Lik  Renggo
yang  dulu BTI, Yu Senik yang Gerwani dan Kami yang aktif di
Lekra, semua bagai terbius  mantra  gaib,  tunduk  mendengar
khotbah-khotbah Mbah Wali.
 
Ada  semacam  perasaan  menang  dalam diri haji tua itu. Dan
perasaan itu sering diperlihatkan  pada  Kang  Jomono.  Tapi
Kang  Jomono  tak  peduli.  Hidupnya yang miskin lebih berat
ketimbang soal "kalah" dan  "menang".  Ia  kini  berprinsip:
hidup ini sudah susah, jadi jangan ditambah susah lagi.
 
---------------
Mohammad Sobary, Media Indonesia, Rabu 19 April 1989

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team