| |
|
DIALOG Desember, 1990. Kampus Monash mulai sepi. Hari Natal itu tiba. Sejumlah teman bernatalan di rumah keluarga Ruffin Kedang, sahabat kami, yang sekarang sudah jadi Aussie. Di antara para tamu, sore itu, ada beberapa muslimin dan muslimat. Mereka minta izin salat. Ada rasa canggung pada mulanya, khawatir dianggap demonstratif. Tapi, panggilan salat tak bisa ditunda. Waktu magrib cuma begitu pendek. "Oh, silakan saja, Bapak. Mari, silakan, Ibu," kata tuan rumah, masih kentara logat Flores-nya. Mengherankan. Ruffin, yang selalu lembut tutur katanya itu, mengeluarkan sajadah dan mukena. Tamu wanita yang tadinya tak ingin salat, berkat mukena itu, salat juga jadinya. Saya dengar cerita ini dari seorang teman. Malu, saya sendiri tak hadir. Namun, sebagai balas jasa, ingin benar saya bangun gereja buat Bung Ruffin, bila saya banyak uang. Awal Februari, 1991. Kampus Monash masih sepi. Tapi, konferensi dunia tentang Agama dan Perdamaian itu dimulai. Tema konferensi itu Understanding Neighbouring Faiths. Sebuah forum dialog antar-berbagai umat beragama. Terutama, kita dari Indonesia (dengan warna Islam) dan Australia (dengan warna Kristen). Sejumlah tokoh dari Indonesia diundang. Sambil mendengarkan pidato pembukaan, saya berpikir, dari mana dialog akan dimulai, bila sikap kita telah begitu tegas: la kum dinukum waliyaddin, bagiku agamaku dan bagimulah agamamu? Saya teringat Warsito Utomo (sedang menulis disertasi di Monash), teman diskusi, yang taat ke gereja itu. Baginya, agama tak saling mencemari. Ia tak menganggap agama sebagai "penjara" yang menjerat gerak jiwanya untuk mewujudkan makna "kasih" yang universal itu. Akan selancar dialog saya dengan diakah konferensi ini berjalan? Saya belum tahu. Dalam sidang komisi, di konferensi itu, saya pernah memilih satu ruangan bersama Herbert Feith (ahli politik Indonesia yang beken itu), para kolumnis Indonesia (Soetjipto Wirosardjono, Djohan Effendi, Fachry Ali), dan sejumlah orang Australia. Ketika tiap orang harus menunjuk apa yang dirasa sebagai "ganjelan" bangsa Australia dalam pergaulan dengan bangsa Indonesia, mereka menyebut "rasa takut" pada Islam. Bagi mereka, Islam itu pedang terhunus, potret Khomeini, atau Saddam. Citra Islam seperti ini belum pupus di mata orang Barat. Dan, meletusnya Perang Teluk memperburuk citra tersebut. Kemudian, diam-diam, rasa takut menyebar di Australia. Mereka khawatir jika Indonesia memihak Saddam. Ketakutan itu, sebagian, disebabkan semacam perasaan "berdosa" di kalangan rakyat, karena pemerintah mereka mengirim pasukan ke Timur Tengah. Rakyat protes, tapi pemerintah lebih mendengar titah big boss di Amerika daripada suara rakyatnya sendiri. Di tengah rasa takut ini, kemudian muncul orang-orang yang "marah" kepada umat Islam, kelompok minoritas di negeri itu. Di Sydney, misalnya, umat harus berjaga di luar masjid ketika salat jamaah, karena mereka diganggu. Dengan malu seorang sahabat, mahasiswa Australia, mengakui bahwa pemukulan atas seorang muslim Indonesia oleh oknum Australia di Melbourne, seminggu sebelum konferensi berlangsung, merupakan sebuah corengan di wajahnya. Bagi saya, kejadian ini lebih menegaskan betapa perlunya dialog. Dalam abad ketika secara geografis dunia bertambah sempit --Indonesia-Australia ibarat cuma tetangga dalam satu komplek perumahan-- memahami tetangga itu sebuah keharusan. Untuk bisa bertetangga secara damai, kita perlu menghormati agama keluarga sebelah Memang, dalam konferensi itu, sekali terdengar self mockery: pihak Islam menertawakan Islam, Kristen menertawakan Kristen. Suatu cara "produktif" untuk saling berbagi. Tak lupa, pihak Islam menjelaskan, misalnya Soetjipto Wirosardjono, Islam itu damai, dan bahwa di Indonesia tak ada bukti penyebaran Islam dengan pedang. Satu lagi, Islam itu rahmatan Iil alamin: rahmat bagi semesta alam. Kristen juga menjelaskan makna kasih dan persaudaraan universal, inti ajaran mereka. Peserta, dengan kata lain, menikmati "hidangan" serba ideal dari kandungan tiap agama. Dalam dialog ini, tiap pihak mengakui akan betapa luhur ajaran pihak lain. Sejenak, semua melupakan realitas yang tak selamanya mulus itu. Orang Barat, terutama kaum feminisnya, menganggap bahwa Islam itu opresif terhadap wanita. Marwah Daud lalu menjelaskan posisi wanita dan Islam, dengan contoh Indonesia. Ada saja yang heran, ternyata dalam masyarakat Islam ada wanita yang berprestasi sebagai doktor. Dialog begini, bagaimanapun, diperlukan. Menenggang perasaan pihak lain diutamakan. Perbedaan teologis tak usah dibicarakan. Bukankah, dalam ajarannya, tiap agama mengandung antroposentrisme, yang perlu lebih digarisbawahi, agar dialog berjalan dalam suasana persaudaraan? Di sinilah titik kuat dialog itu. --------------- Mohammad Sobary, Editor, No.5/Thn.V/19 Oktober 1991 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |