Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

GURU
 
Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku  kata  gu
dari  kata  guru  itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru.
Barangkali benar, guru memang digugu  (dianut)  dan  ditiru,
diteladani  para  murid.  Dari  sana,  barangkali  Ki  Hajar
Dewantara merumuskan peran guru yang  terkenal:  ing  ngarso
asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu.
Barangkali  dari  sana  pula  pepatah  kita  "guru   kencing
berdiri, murid kencing berlari" itu memperoleh inspirasinya.
 
Sardono  W.  Kusumo  pernah  mengatakan kepada saya bahwa di
masyarakat Jawa, guru tidak  harus  merupakan  sebuah  sosok
pribadi,  melainkan  bisa  juga cuma berupa citra atau sosok
bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan, ketika  Resi  Durna
sedang  mengajar  para  satria  Pandawa  dan Astina memanah,
seorang satria lain datang  hendak  berguru  memanah  kepada
resi tersebut.
 
"Tidak  bisa,  ki  sanak,"  sahut Begawan Durna. "Saya sudah
teken kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan  tak
akan lagi pernah menerima murid lain."
 
Satria   itu  kemudian  pergi  dengan  rasa  kecewa.  Namun,
tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna  tetap  membara.
Citra  Durna  sebagai  guru  sakti  tak  ada  duanya  sangat
mempengaruhinya.
 
Syahdan, sang satria pun  kemudian  membuat  patung  Pandita
Durna  Ia  lalu  mulai  belajar memanah, sambil membayangkan
bahwa ia sedang benar-benar  belajar  kepada  pandita  sakti
itu.  Dan  konon,  kehebatan  satria ini tak kalah dari para
murid yang belajar dari Durna secara langsung.
 
Mudah diduga, andaikata  Durna  menerimanya  sebagai  murid,
pasti  satria itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru.
Apa  pun  perintah  sang  guru,   murid   itu   pasti   akan
mematuhinya.  Dengan  kata  lain, murid itu pasti akan mampu
memanggul  tugasnya  sebagai  murid  yang  harus  senantiasa
membuktikan bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.
 
Tapi,  masihkah  sekarang  ini  guru  memperoleh  kehormatan
sebagai orang tua yang tetap  digugu  lan  ditiru  (didengar
petuahnya,  ditiru  tindakannya?).  Zaman berubah. Musim pun
berganti.  Dan  dalam   pergantian   itu,   kita   tiba-tiba
dihadapkan  pada  kenyataan  yang  tak  lagi  sejalan dengan
tafsir ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.
 
Kita dibuat terkejut oleh sejenis  pemberontakan  moral  dan
penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan,
kita sepertinya tak siap menghadapi  kenyataan  ketika  guru
bukan  cuma  tak  lagi  digugu  lan  ditiru,  melainkan juga
digebuk oleh sang murid.
 
Kita belum  punya  jawaban,  apa  yang  mesti  kita  katakan
sekarang ketika kita melihat murid datang kepada guru sambil
membawa parang, golok,  atau  belati  untuk  mengancam  sang
guru,  ketika  gurunya  tak  bersedia memberinya nilai bagus
atau menaikkannya ke kelas tinggi
 
Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada  murid
mengamuk  melempari  kaca  dan jendela, merusak sekolah, dan
mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri  guru?
Dan,  apa  sebenarnya  yang  sedang terjadi dalam masyarakat
kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru  merosot  serendah
itu?  Guru-guru  berjumpalitan,  mencoba  berakrobatik untuk
menyesuaikan  diri  dengan  panduan   dari   pusat.   Mereka
tergencet  situasi:  mengejar  target  yang besar dari pusat
akan selalu berarti menemui kesulitan dengan  murid-muridnya
sendiri,   tapi   bila  ia  mencoba  memberi  murid  sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.
 
Guru memang masih tetap disanjung  sebagai  "pahlawan  tanpa
tanda  jasa".  Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap
orang besar pernah menjadi guru. Mungkin  benar,  tapi  guru
dalam  masyarakat  kita  sekarang  jelas  bukan orang besar.
Jadi, apakah gunanya menghibur guru  dengan  ucapan  seperti
itu?
 
Bagi  saya,  gelar  pahlawan  tanpa  tanda jasa lebih terasa
ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-olah  guru  memang
tak berhak memperoleh tanda jasa itu.
 
Guru  bukan  manusia  merdeka.  Ia  tidak  bebas.  Ia  tidak
mempunyai otonomi  dalam  memutuskan  nasib  murid-muridnya,
meskipun  tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang
paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.
 
Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan  tak
jarang  campur  tangan,  melakukan intimidasi, atau menyogok
sang guru dengan materi. Ini sekali lagi,  membuktikan  juga
betapa  guru  memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka.
Tampaknya guru, dalam kondisinya,  tak  bisa  berkata  tidak
seperti  dulu  ketika Durna menolak satria, calon murid yang
hendak berguru kepadanya.
 
Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang  tak
menggantungkan   kurikulum  pendidikannya  kepada  kekuasaan
orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di
mata  para  muridnya.  Guru-guru  tarekat, dengan kata lain,
masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal  tentang  guru
sebagai yang digugu lan ditiru.
 
Petuah  sang  guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak.
"Sabda"  mereka  disetengahsucikan  oleh  para  murid.  Guru
tarekat  adalah  sejenis  raja  yang paling berkuasa. Namun,
mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan
dengan wibawa.
 
Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita
kepada kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma  didengar
komando   jihatnya   untuk  menyembelih  si  kafir  Belanda,
melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan Ratu  Adil  yang
bakal   mengembalikan   harmoni   dalam   masyarakat   serta
menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.
 
Murid-murid tarekat pernah rela  mempertaruhkan  leher  demi
melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai
saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa
makanannya untuk ngalap berkah.
 
Kemandirian,   kebebasan,   kharismanya   yang   besar,  dan
keteladanan moralnya itu yang  membuat  murid  tarekat  rela
mencium  tangan  bahkan  sungkem, menyembah, di hadapan sang
guru.
 
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 15 Desember 1991

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team