| |
|
MASYARAKAT KAGETAN Tiga bulan lalu kita diguncang oleh Jusuf Randy, tokoh komputer yang licin itu. Sebelumnya juga kita pernah dikagetkan Jusuf Ongkowijaya yang juga penggombal. Di sekitar kita nampaknya banyak orang "sakit" yang gemar membuat sensasi yang merugikan masyarakat. Dalam kasus Randy kita terperangah sukses besarnya. Di balik kekaguman massa yang buru-buru itu sedikitnya orang melihat dua hal: uang dan kemasyhuran. Kursus komputer, lambang "kemajuan" hari ini, lalu menjamur di mana-mana. Mungkin ada bahkan peserta kursus yang diam-diam memendam ambisi menjadi semacam Randy lain karena tergiur oleh figur Randy yang mengesankan: pintar, kaya, dermawan, terkenal. Di tingkat lebih bawah keadaan seperti itu juga menggejala. Tukang soto yang sukses, misalnya, tak akan dibiarkan sendirian. Di sekitarnya akan segera bermunculan tukang-tukang soto lain yang ingin meraih sukses serupa. Agaknya kita tangkas dalam mengagumi dan meniru pihak yang dikagumi itu bila di dalamnya ada unsur uang dan ketenaran. Nampaknya uang dan ketenaran sudah menjadi tujuan hidup. Kita lalu jadi terbiasa menilai sukses seseorang hanya dari segi pemilikan materi. Sukses artinya kaya, terkenal. Prestasi dalam bentuk lain: kejujuran ketekunan, seperti tak punya arti lagi. Akibatnya terjadi semacam pendangkalan rasa malu dan harga diri. Orang tak lagi merasa malu atau risi menjadi kaya dengan jalan tak halal. Benar juga barangkali, kita hidup dalam masyarakat yang gelisah. Di sekitar kita banyak kemapanan lama berubah cepat, sering tanpa kita kehendaki. Pijakan moral kita digugat di sana sini untuk menjawab persoalan-persoalan baru. Segi-segi yang bersifat tabu dan sakral dituntut, demi modernisasi, demi pembangunan, untuk dirasionalkan. Kita diminta menjadi lebih sekular. Tapi di situlah persoalannya: kita belum siap. Maka muncullah kemudian situasi anomi dalam masyarakat kita, yang membuat kita goyah, karena dasar pijakan moral lama telah bergeser meninggalkan "kekolotan" kita, sementara dasar pijakan moralitas baru belum lagi ditemukan. Tak mengherankan, banyak kejadian membuat kita terkaget-kaget dan gelisah. Sejak hasil penelitian dokter Wimpi tentang kehidupan seks remaja di Bali diumumkan, menyusul angket Eko dari Yogya, yang juga mencari jawab atas persoalan seks di kalangan remaja kota itu, kemudian menyusul lagi kasus kumpul kebo di kota yang sama, kita dihadapkan pada hal-hal yang mengejutkan. Ribut-ribut tentang "adik baru" akhir-akhir ini barangkali bisa dimasukkan ke dalam kategori kejutan kita. Celakanya, kita tak punya jawaban tuntas atas persoalan-persoalan tersebut kecuali moralitas lama yang sudah barang tentu tidak lagi cocok dengan tuntutan. Kita memang hidup dalam situasi dilematis. Pada satu sisi kita menghendaki aspek-aspek tertentu dalam kehidupan kita diubah demi kemajuan, tapi kita masih belum rela bila tiba-tiba kita dituntut menghadapi kenyataan berubahnya aspek-aspek lain yang maunya masih ingin kita pertahankan. Kita menjadi gelisah. Dalam kegelisahan itu kita mencari pegangan. Kita juga butuh tokoh yang bisa dijadikan panutan. Dalam kaitan dengan kasus kumpul kebo di Yogya, sejarawan Sartono Kartodirdjo tampil dengan kesaksian, bahwa kumpul kebo merupakan gejala yang sudah lama terjadi. Masyarakat yang kaget dan kecewa melihat potret diri telah ternoda, dengan pernyataan itu bisa ditenangkan kembali. Gampang kita dibikin kaget, tapi gampang juga dibikin tenang kembali. Kita rela mengikuti tokoh panutan kita. Dalam berbagai hal, kita memang sudah terbiasa ditentukan oleh pihak lain. Kita lalu jadi terbiasa juga untuk tak berpikir sendiri. Mungkin hal itu karena lingkungan budaya kita kaya dengan petunjuk, nasihat, pengarahan, dan penataran-penataran, sebelum kita mulai melakukan suatu tugas tertentu. Lingkungan nampaknya cukup memanjakan kita. Jadi buat apa susah payah berpikir sendiri? Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan tuntas (tuntutan dari atas) yang mengesankan ketidakdewasaan itu, selalu diberikan. Bawahan di kantor-kantor umumnya bertindak hanya bila sudah memperoleh juklak itu. Pola tindakan kita sudah ditentukan, tak peduli aneka ragam kenyataan lapangan yang butuh pendekatan lain. Kita selalu tak punya jawab atas soal-soal yang datang mendadak. Hidup sudah menjadi amat teknis, dan mungkin kering juga. Tak mengherankan bila kita tak bisa lagi terharu melihat derita orang lain. Wajar bila pusat-pusat kesenian sepi, tapi pusat-pusat perbelanjaan berjejal. Kecuali seniman, mungkin tinggal sedikit di masyarakat kita orang yang terbiasa merenung. Kehidupan "normal" sudah dibakukan dengan rumus-rumus tetap. Lebih-lebih dikalangan birokrat. Sejak kecil kita sudah terbiasa "ditentukan" oleh kekuatan-kekuatan di luar diri kita sendiri. Di sekolah ujian dibiasakan dengan pilihan ganda yang kurang merangsang daya nalar. Memasuki dunia kerja kita dibimbing untuk tangkas menghapal kategori-kategori yang Pancasilais dan yang bukan Pancasilais, tanpa sepenuhnya sadar apa sebetulnya penjabaran konsep "Pancasilais" itu di dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi tuntun menuntun ini merayap juga ke dalam kehidupan politik praktis. Tak jarang sikap dan pernyataan politik kaum muda dituntun dan diarahkan ke suatu tujuan yang belum tentu sepenuh hati diterima kaum muda. Tapi demi harmoni, selaras, seimbang dengan lingkungan, mereka manut saja. Sebagai generasi penerus yang baik, pemuda mewarisi betul bakat para pejabat yang dalam setiap pidatonya selalu sarat dengan slogan-slogan besar. Di forum DPR pun para senator kita yang terhormat melembagakan kebiasaan mohon petunjuk sebelum sidang-sidang penting dimulai. Barangkali ini memang unggah-ungguh dan tradisi ketimuran yang harus dilestarikan? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, dalam dunia yang sedang berubah kita memerlukan pegangan yang pasti-pasti, buat memperkecil risiko. Kalau toh risiko itu ada, kita tahu kita tak sendirian memikulnya. --------------- Mohammad Sobary, Media Indonesia, Jumat 7 April 1989 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |