Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KUMBO KARNO DAN BUNG HATTA
 
Pada hari-hari ketika Kumbo Karno sudah merasa muak terhadap
kehidupan  keraton  dan  oleh  karena  itu  ia menyendiri di
Panglebur Gongso, di rumahnya, bersama Togog, ia sama sekali
tidak tahu apa yang terjadi di keraton. Ia tak peduli.
 
Tetapi   hari   itu   ketenangan   negeri   Alengka   terasa
mencurigakan. Suasana itu seperti dibuat untuk  menyelubungi
sesuatu.  Naluri  Kumbo  Karno  mencium  ada yang tak beres.
Maka, disuruhnya Togog, abdi dalem, menyelidik.
 
Syahdan, Togog mampu menyusup ke sumber berita  yang  paling
aktual,  dan  layak  dipercaya.  Siang  itu,  setelah sidang
kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan
Shinta, Gunawan Wibisono dikepruk dengan sepenggal besi oleh
Dasamuka. Gunawan roboh, dan mati seketika.
 
Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang  sentana
keraton  yang  ada di dalam bangunan gedung istana tak boleh
keluar. Sebaliknya, yang di luar tak  boleh  masuk.  Segenap
pintu dijaga ketat demi kerahasiaan itu.
 
Kemudian,  dengan  cara  siluman,  jasad Wibisono dibuang ke
laut. Dengan demikian, Dasamuka  bisa  bersikap  seolah-olah
biasa, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi.
 
Tetapi  Kumbo  Karno  yang  mendengar  hal  itu  dari Togog,
menggeram. Suaranya  menggelegar  di  langit.  Langkah  kaki
raksasa sebesar gunung yang menahan marah itu mengguncangkan
bumi Alengka. Dia menuntut balas.
 
Sambil menuju keraton Alengka, Kumbo  Karno  mengobrak-abrik
keindahan  taman. Benteng dirobohkan. Beringin ditumbangkan.
Alengka, pendeknya, bagai diterjang prahara.
 
Melihat amok adiknya  itu,  Dasamuka  mengkirik.  Benar  dia
sakti mahambara. Tapi Kumbo Karno pun bukan tandingan biasa.
Dia bersembunyi. Disuruhnya patih Prahasta meredam kemarahan
adiknya.
 
"Ingat,  anakku, Kumbo Karno," bujuk Prahasta. Bumi bisa kau
telan bila kau mau. Tapi lupakah engkau, anakku, pada kawulo
cilik   yang  tak  bersalah,  yang  juga  bisa  jadi  korban
kemarahanmu, jika kau tak mau mengendalikan diri?  Badaniah,
engkau  memang raksasa, anakku. Tapi aku tahu, jiwamu satria
sejati ..."
 
Kumbo Karno lilih dalam bujukan. Tapi sejak saat itu pula ia
tak  mau  lagi  melihat  polah  tingkah  Dasamuka.  Tak tega
melihat  kekejaman  kakaknya,  Kumbo  Karno  menyingkir.  Ia
bertapa tidur di Panglebur Gongso. Bertahun-tahun lamanya.
 
Orang  menyebut  Kumbo  Karno seorang patriot. Ia salah satu
contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula yang  menilainya
pengecut.  Ia  satria  yang  rela  mati  konyol.  Dan ia pun
dianggap tak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di
depan  matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap skeptis
yang  tak  bertanggung  jawab.  Sikap  yang  bahkan   sangat
merugikan bangsa, dan negara, yang ia bela.
 
Kita  tahu,  dunia  wayang itu pralambang. Dan segala bahasa
yang digunakan di dalamnya adalah juga bahasa pralambang.
 
Tidurnya Kumbo Karno di situ tentu tidak harfiah berarti  ia
menggeletak di kasur dan enak-enak bermimpi.
 
Bagi saya, tidur di situ artinya menarik diri dari kehidupan
politik. Ia menyingkir. Menonaktifkan diri dari riuh  rendah
urusan  kenegaraan  yang  ruwet.  Dasamuka  yang  ekspansif,
kolonial,  dan  mengagungkan  superioritas  diri,   otomatis
membuat  Kumbo  Karno yang berpijak pada bahasa moral, lelah
secara badani dan jiwani.
 
"Terserahlah, kalau suaraku  tak  diperlukan,"  begitu  arti
tidurnya. "Tapi tunggulah. Keruntuhan bakal menimpamu."
 
Dalam  berbagai rezim pemerintahan otoriter hal itu ditemui.
Raja cuma mau mendengar suaranya sendiri. Atau  suara  siapa
saja yang bersedia menjadi bayangannya, dan membuntut segala
sikap dan tindakannya. Terhadap suara tandingan, raja  macam
itu      bersikap     anti.     Pembungkaman,     akibatnya,
disistematisasikan. Penjara diperlebar. Kumbo  Karno  adalah
pesakitan yang masuk penjara semacam itu.
 
Apakah   beda   Kumbo  Karno  dari  Bung  Hatta?  Dua-duanya
terpental atau mementalkan diri, dari pemerintahan yang  tak
mereka    dukung.   Dua-duanya   kecewa   melihat   keadaan.
Dua-duanya, akibatnya, lalu memilih jalan  sepi.  Dua-duanya
satria yang melambangkan suara moral.
 
Bung  Hatta,  menjelang  hari-hari  akhir  mitos dwitunggal,
banyak dikecewakan oleh kebijakan  dan  sikap  politik  Bung
Karno.  Dan  ketika  keputusan  mundur  dari pemerintahan di
tahun 1956 itu akhirnya diambil, tokoh proklamator kedua itu
berkata:
 
"Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa
dari atas selama sebelas  tahun,  saya  ingin  menyumbangkan
kekuatan saya dari bawah sebagai orang biasa yang bebas dari
kedudukan apa pun."
 
Bung Hatta mutung (merajuk)? Mungkin tidak. Tipe orang  yang
datar  jiwanya  dan  rasional  seperti Bung Hatta bukan tipe
perajuk.  Ia  mengambil  sikap  dengan  perhitungan   matang
seorang negarawan.
 
Saya  selalu memberi arti tindakan semacam itu sebagai suatu
gerakan moral.  Sebuah  tindakan  yang  diambil  berdasarkan
pertimbangan  jangka  panjang,  demi  kepentingan bangsa dan
negara. Dan bukan  berdasarkan  pertimbangan  praktis,  buat
diri  sendiri,  kelompok  atau  partai  politik  di  mana ia
berafiliasi.
 
Seperti sikap Kumbo Karno terhadap Dasamuka, Bung Hatta  pun
bukan tak suka pada Bung Karno secara pribadi. Hubungan Bung
Hatta (dan  keluarga)  dengan  Bung  Karno  (dan  keluarga),
kabarnya baik-baik saja. Bung Hatta cuma tidak setuju dengan
kebijakan politik Bung Karno.
 
Jarang orang yang bisa "membelah" diri  seperti  Bung  Hatta
itu.  Ia  tegas  memisahkan  yang  pribadi  dari  yang resmi
kenegaraan dan politik. Dan itu pula yang membuat Bung Hatta
dihormati kawan dan disegani lawan-lawan politiknya.
 
Ketika sejumlah tokoh disembelih PKI dalam tragedi 1965 dulu
itu, nama Bung Hatta sebenarnya tercantum dalam daftar  yang
harus disingkirkan dan dibabat.
 
Tapi  ketika  sejumlah  jasad  menggeletak, Bung Hatta masih
selamat. Dan itu, kabarnya, berkat keputusan mendadak Aidit:
nama Bung Hatta dicoret dari daftar merah.
 
Kita  tidak  tahu  mengapa  Aidit  mengambil  keputusan itu.
Padahal kita tahu, Bung Hatta gigih menangkal  segala  gerak
politik  PKI. Ia tergolong yang paling anti PKI. Tapi dugaan
saya, seperti halnya ia anti  terhadap  sikap  politik  Bung
Karno,  sikap  anti PKI Bung Hatta tak disertai rasa dendam,
dengki dan sikap sejenis itu. Ia menolak  tanpa  menimbulkan
permusuhan.   Anti   tanpa  mengembangkan  kebencian  .  Dan
mengalahkan tanpa membuat orang  yang  kalah  merasa  hilang
muka.
 
Seperti  Kumbo  Karno yang tak memberontak melawan Dasamuka,
Bung Hatta tak berontak  mengangkat  senjata  terhadap  Bung
Karno.  Dan seperti Kumbo Karno, Bung Hatta pun memilih tapa
tidur untuk memberi Bung Karno kesempatan merenung. Tapi  di
situ  pula  kelemahan  gerakan  moral: lawan politik kelewat
enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Ia bebas merajalela ...
 
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 19 Januari 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team