| |
|
KURUNGAN Kurungan bisa penting, bisa juga tidak. Tergantung siapa yang melihat. Buat saya pribadi, isi kurungan lebih penting daripada kurungannya. Pak Penewu (sekarang camat) di desa saya dulu punya seekor perkutut yang hebat. Kabarnya, orang dari kota (maksudnya Yogya) ingin menukarnya dengan sebuah sedan baru. Ini burungnya. Kurungannya, kata Kang Brahim, lebih mahal daripada rumah Kang Brahim sendiri, yang memang kecil itu. Maklumlah, namanya juga burungnya Pak Penewu. Dalam hal ini kurungan itu fungsional dan karena itu memang penting. Akan ganjil benar bila burung semahal itu dikurung dengan kurungan yang sudah reot dan bolong. Farriduddin Attar memandang bahwa dunia ini sebuah peti. Saya lebih suka menyebutnya kurungan. Attar menganggap bahwa dalam hidup orang sibuk membuat peti-peti, sedangkan saya melihat orang sibuk mengumpulkan aneka kurungan. Kantor kita, asal-usul keluarga kita, agama kita, kesukuan kita, titel kesarjanaan kita, partai kita, organisasi profesi kita, bahkan istri, suami, mertua, paman, pakde, pakdenya pakde, semuanya merupakan kurungan. Nama kita pun sebuah kurungan. Seperti dalam kasus perkutut Pak Penewu, antara orang dan namanya harus ada keserasian juga. Kalau tidak, bisa menimbulkan gangguan dan sejumlah persoalan. Pernah seorang petani kampung menamakan anak laki-lakinya Partaningrat. Dan adik si Ningrat, Diah Astuti. Ketika Partaningrat sakit-sakitan, mbah dukun membuat diagnosa bahwa dia keberatan nama. Kalau tak diganti, kata mbah dukun, bisa gawat. Andaikata orangtuanya pergi ke dokter, bukan ke mbah dukun, persoalannya tentu akan lain Tapi sudahlah. Partaningrat diganti Bibit, dengan kelengkapan upacara kecil, ditandai jenang putih jenang abang (merah). Dan Diah Astuti diganti menjadi Kawit. Kontras pergantian itu, tapi apa boleh buat; karena keserasian, dalam dunia pemikiran Jawa, merupakan sesuatu yang penting. Bibit lalu tumbuh makin sehat. Dan Kawit, setelah bersuami, langsung beranak pinak. Pemuda kita berebut masuk KNPI. Sebagai kurungan, KNPI menjadi saluran karier politik yang baik. Bagi yang tak punya naluri politik, sekurangnya KNPI memberinya identitas tambahan. Para sejarawan membuat organisasi "Masyarakat Sejarah" (MS). Karena ada sejarawan yang juga sarjana hukum, selain masuk MS ia juga masuk "Ikatan Sarjana Hukum" (ISH). Ketika MS mendirikan lembaga penelitian, ia memegang jabatan penting. Dan setelah ISH mendirikan lembaga bantuan hukum, ia juga menjadi salah seorang pengurus. Ini semua adalah status tambahan belaka, sebab tugas utamanya menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Dia sadar bahwa tak mungkin baginya memenuhi semua tugasnya dengan baik. Tetapi dalam hati kecilnya ia memerlukan semua itu untuk memberi kesan pada khalayak, betapa penting dia, betapa besar kepeduliannya dalam pengembangan ilmu dan pengabdian masyarakat. Jadi, kurungan-kurungan tadi pada dasarnya hanya diperlukan sebagai identitas tambahan. Fungsi kurungan sebagai identitas menjadi penting buat orang yang "gila" atau "krisis" identitas. Dalam seminar HIPIIS di Yogya bulan Juli tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang profesor. Belum pernah saya baca karya orang itu. Namanya pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Tapi dalam kartu namanya tercantum banyak identitas: bidang keahlian A, jabatannya di universitas B, sekretaris organisasi profesi C, dan anggota ikatan internasional sarjana "anu". Ini jenis sarjana yang melihat kurungan sebagai sesuatu yang amat penting. Namun, banyak juga orang yang tidak kurungan oriented. Mereka risi dengan berbagai kurungan. Gelar kesarjanaannya tak usah selalu dipakai. Safari dan segala lambang kuning emas di dada perlu sesekali ditanggalkan. Dan dalam pergaulan sehari-hari tak perlu menonjolkan secara verbal puritansi keagamaannya. Bagi yang Islam tak perlu memamerkan keislamannya, dan yang Kristen tak perlu memamerkan kekristenannya. Semua itu pada dasarnya cuma kurungan. Dengan kata lain, kurungan macam itu cuma membikin sumpek. Kurungan ya kurungan. Artinya, ia cuma lapis luar dari diri kita. Ia sama sekali tidak penting. Orang macam Emha Ainun Nadjib, pinandita yang terbiasa bebas di bawah langit dengan selimut mega-mega, mungkin sudah sumpek hidup dalam banyak kurungan: dramawan, budayawan, penyair, kolumnis, cendekiawan muda Islam, dan siapa tahu bakal ada yang menambahkan predikat konglomerat. Buat saya, tak terasa aneh mendengar ia ketika itu menolak diberi kurungan baru yang hebat: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kalau dia masuk ke sana, dan kawula macam saya ini juga masuk, secara moril maupun materiil Emha rugi. Tanpa dikurung dalam ICMI ia sudah lama dijuluki cende- kiawan Islam (Muslim). Tanpa kurungan resmi seperti itu ia sudah "menjadi". Sementara itu, banyak orang lain mencari kurungan dengan harapan "ingin menjadi". Pernah ia memberi fatwa pada saya, yang harus kita cari esensi, bukan eksistensi. Alasan resmi penolakannya untuk "join" di ICMI menarik. "Saya tidak mampu memanggul tugas mulia itu." Dalam hati, saya bertanya: Siapa yang menyuruhnya memanggul sesuatu? Dalam tradisi kita, sebuah status tak selalu menuntut peranan. Dan achievement, umumnya, belum menjadi keadrengan banyak pihak. Jadi kalau ia masuk ke sana untuk kemudian duduk dan diam, sebetulnya orang toh tak akan banyak dituntut. Soalnya, ya tadi itu, bahwa kurungan, bagi banyak pihak, lebih penting daripada isinya. --------------- Mohammad Sobary, Tempo, 20 April 1991 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |