Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MENYELAM DALAM
 
Pernah, dalam suatu dialog  tentang  penulisan  cerpen,  Pak
Kanto  (Soekanto S.A.) menganjurkan perlunya pengarang punya
kemampuan  menyelam  (dalam  kehidupan)   dalam-dalam,   dan
terbang  tinggi-tinggi,  agar  bisa menghasilkan cerita yang
tidak cuma biasa.
 
Karang-mengarang memang sebuah  pergulatan,  termasuk  dalam
dunia  batin.  Orang  yang mencoba hidup asketis, yang gigih
mencari makna hakiki pengabdian keagamaan, juga adalah orang
yang  bergulat--hampir  tanpa  henti.  Mereka  terus menyelam
dalam, dan terbang tinggi.
 
Zaman dulu, lambang pergaulan batin tampak pada  cara  hidup
petapa:   mengurangi   tidur,   makan,  hubungan  seks,  dan
menyendiri di hutan, di  padepokan,  di  gua  --buat  mencari
suasana  wening.  Di kota besar, terasa betapa susah mencari
tempat hening agar bisa menarik diri dari diri sendiri untuk
berduaan dengan Tuhan.
 
Tetapi,  tapa terbaik memang tapa modern. Gusti Kanjeng Nabi
Muhammad sendiri, begitu  SK  kenabiannya  turun,  tak  lagi
bertapa di Gua Hira. Tuhan menitahkan agar beliau bertapa di
alam ramai. Tapa dengan melebur  diri  dalam  pergulatan  di
masyarakat.  Mungkin,  itu  tonggak  sejarah  permulaan tapa
modern.
 
Kota besar yang hiruk-pikuk macam  Jakarta,  dengan  begitu,
merupakan sebuah "gua" raksasa yang baik untuk melatih hidup
asketis. Birokrat yang "lulus tapa"-nya di masyarakat  ramai
lebih berkualitas dibanding ibadah petapa di gua, di mana ia
tidak korupsi (karena di  sana  memang  tak  ada  yang  bisa
dikorup).
 
Dengan  kata  lain,  pergulatan  mencari hakikat Tuhan lebih
utama dilakukan di meja birokrasi, di gudang  pelabuhan,  di
bea  cukai, di kantor pajak, atau di bank --daripada di dalam
rumah-rumah ibadah.
 
Pernah, seorang alim merasa malu karena  tiap  orang  memuji
kealimannya.  Pujian  ini  menjadi tembok penghalang baginya
dalam memandang langsung wajah Tuhan. Ia  merasa  tak  enak.
Baginya,   urusan   dengan   Tuhan   itu  amat  pribadi.  Ia
mengutamakan penghambaan tulus, tanpa  campuran  sikap  ria.
Oleh  karena itu, ia pun mencuri ayam. Orang pun ramai-ramai
menggebukinya. Dan, semua menyumpahinya dengan sinis.
 
Dengan status "pencuri ayam" itulah, ia  merasa  lebih  bisa
ikhlas   menghamba.  Orang  tak  lagi  percaya  kealimannya.
Ibadahnya tak lagi  dibebani  perasaan  bahwa  ia  beribadah
karena   dipuji.   Tembok   penghalang,  dengan  begitu,  ia
robohkan. Dan, di balik tembok sana, tampak Tuhan tersenyum.
 
Birokrat yang "lulus" dan si  alim  yang  malu,  sebenarnya,
sudah  menyelam  dalam  dan  terbang  tinggi.  Mereka  sudah
berhasil berduaan dengan Tuhan. Pengalamannya bersama  Tuhan
mengumpul dalam hati, tersembunyi rapat dan mempribadi.
 
Ramadhan,   kita   tahu,  bulan  istimewa.  Diawali  rahmat,
pertengahannya penuh ampunan, dan ditutup  warna  pembebasan
dari  siksa neraka. Ramadhan itu ibarat kartu undangan Tuhan
buat kita. Persoalannya terpulang pada kita.  Yakni,  maukah
kita datang memenuhinya?
 
Andaikata   Presiden   mengundang   kita,  pasti  kita  akan
buru-buru  membatalkan  segala  acara  lain.  Soalnya,   ini
langka.  Undangan Tuhan yang lebih langka tentu akan membuat
kita lebih tergopoh-gopoh.
 
Betul, Tuhan mengatakan: segala ibadah buat manusia  sendiri
dan  puasa  itu  untuk-Nya. Tetapi, untuk-Nya-kah keuntungan
pergulatan pribadi dalam  "pertapaan"  selama  sebulan  itu?
Dugaan saya, tetap buat kita.
 
Meningkatnya  kesabaran  buat  kita. Bertambahnya kedewasaan
buat kita. Makin  munculnya  sejumlah  kepekaan  sosial  dan
moral pun buat kita.
 
Tuhan  telah  mengundang  kita  ke dalam bulan Ramadhan-Nya.
Kalau kita masuk, di sana kita ikut penataran P4 dalam corak
yang  lebih  luhur.  Di  sana,  kita diberi sejumlah pilihan
bebas. Tuhan memang demokratis. Para malaikatNya tak disuruh
mempengaruhi pilihan kita.
 
Bagi  kita,  yang  tampak  di  sana  adalah  tantangan  demi
tantangan. Kita diminta  merenung,  dari  satu  Ramadhan  ke
Ramadhan  lain,  untuk  menemukan  dimensi  antroposentrisme
macam  apa  yang  dikandung  bulan  Ramadhan.   Agar   corak
keagamaan  kita tak hanya punya makna keakhiratan, melainkan
juga makna keduniawian.
 
Bayangkanlah. Kalau kita  puasa  cuma  buat  ikut  merasakan
derita si miskin, seperti yang selalu diajarkan kepada kita,
tak perlukah lagi puasa bila negara sudah relatif makmur, di
mana  masalah  kere dan gelandangan cuma soal sekunder macam
di Australia, misalnya?
 
Tak perlu lagikah kita  membayar  zakat  bila,  sekali  lagi
seperti  di  Australia tunjangan fakir miskin pun senilai Rp
1.500.000 (satu setengah juta rupiah) sebulan?
 
Barangkali, untuk pertanyaan ini kita harus  menyelam  lebih
dalam dan terbang lebih tinggi. Barangkali, kita tidak boleh
cepat merasa puas cuma karena kita  berhasil  puasa  sebulan
penuh. Barangkali, kita justru tak boleh bergembira di akhir
Ramadhan, karena di ujung bulan  itu  kita  berpisah,  tanpa
kepastian   bertemu  kembali,  dengan  bulan  istimewa  yang
memberi kita tantangan itu.
 
Ramadhan sebagai jalan "penyatuan" kita dengan hakikat Tuhan
menanti  penjabaran  kita.  Kepada  kita, diminta penjelasan
yang pas dengan konteks zamannya.
 
Kalau saya yang harus  menjawab,  saya  akan  menyelam  dulu
lebih  dalam,  dan  terbang  lebih  tinggi,  setinggi  batas
kemampuan "sayap" rohani saya.
 
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No.26/Thn.V/14 Maret 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team