Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SEKALI NU TETAP NU
 
Segala puji bagi Allah, yang telah  melengkapi  kita  dengan
naluri  takut.  Dengan  naluri  itu  kita  bisa berhati-hati
membuat perhitungan demi keselamatan. Selamat diri  sendiri.
Selamat jabatan. Selamat keluarga.
 
Barangkali  kita  memang  tokoh-tokoh  yang mudah dihinggapi
rasa takut, termasuk takut kepada kata-kata.  Terutama  jika
kata-kata  itu  mengandung mantra "pembebasan". Lebih khusus
lagi bila tata-kata yang mengandung mantra "pembebasan"  itu
dicetak di media massa.
 
Forum   Demokrasi   yang  terkenal  itu  pun  didukung  oleh
tokoh-tokoh yang juga takut. Tetapi ketakutan  mereka  tidak
terkait  dengan kepentingan pribadi atau keluarga, melainkan
dengan sesuatu yang lebih luhur,  lebih  besar:  tercekiknya
demokrasi di negeri ini.
 
Tokoh-tokoh  yang  takut ini sudah dua kali berurusan dengan
aparat keamanan yang juga takut. Karena  takut  terjadi  ini
dan  itu, atau kurangnya syarat ini dan itu, acara halal bil
halal Forum Demokrasi, Minggu, 19 April 1992, dilarang.
 
Wawancara Media Indonesia dengan  intelektual  kita,  Aswab
Mahasin,  Senin,  20  April 1992, mengungkapkan sesuatu yang
menarik mengenai posisi  politis  Abdurrahman  Wahid.  Ketua
PB-NU   yang   takut  demokrasi  kita  tercekik  itu  sering
menghadapi kecurigaan dan kemarahan orang-orang lain.  Dan
orang-orang  itu  tak jarang merupakan kawan-kawan sendiri,
seperti diceritakan dalam wawancara Kiai Mahasin tersebut.
 
Kecurigaan  mereka,  barangkali,   juga   tak   bebas   dari
kemungkinan   adanya  rasa  takut  karena  berbagai  alasan.
Setidaknya sejak tahun  lalu  Abdurrahman  Wahid  disanjung,
setelah  tampil  lebih  tegas  sebagai  tokoh  nasional yang
paling populer dan berani. Namun tak sedikit yang menganggap
"kamerad" kita ini bersikap agak berlebinan. Dan sering atas
dasar itu pula kecurigaan orang atas dirinya dibangun.
 
Ditinjau  lebih  jauh  lagi,   kecurigaan   orang   terhadap
Abdurrahman  Wahid  mungkin  sama  dengan  kecurigaan  orang
terhadap  posisi  politis  NU.  Dengan  kata  lain,  NU  dan
Abdurrahman  Wahid  itu  masih  belum  bebas dari kecurigaan
"nasional".
 
Ketika masih efektif sebagai partai politik,  NU  memperoleh
julukan    buruk   sebagai   oportunis,   kolaborator   atau
legitimator. Mungkin kecurigaan itu sendiri lahir dari sikap
yang  juga  tidak  bebas.  Maksudnya, curiga karena sentimen
dalam persaingan  politik,  atau  karena  upaya  terselubung
menjatuhkan lawan. Pokoknya, sikap itu tidak bebas "muatan".
 
Tahun-tahun   1950-an-1960-an   memang   periode  yang  kuat
mencerminkan semangat zaman  yang  diliputi  suasana  saling
menggontok  seperti  itu. Sebuah kekuatan akan selalu merasa
memetik  keuntungan  bila  kekuatan  lain  tersudut   secara
politis.  Matinya  suatu  kekuatan  selalu  diterima sebagai
berkah oleh kekuatan yang lain
 
Sikap dan orientasi  dikotomis  yang  membedakan  kawan  dan
lawan,  dulu kelewat tegas. Sekarang pun sikap itu masih tak
jarang menggejala. Dalam suasana ketika "luka" lama  semacam
itu  belum  pulih  benar, sentuhan yang menggores titik peka
bisa menimbulkan aneka macam persoalan yang merunyamkan.
 
Salah satu sumber  kecurigaan  orang  terhadap  NU,  mungkin
karena  wawasan  kenegaraan  dan  logika  politik  NU  susah
dipahami oleh  kekuatan-kekuatan  di  luar  organisasi  itu.
Secara  politis  NU mengesankan tidak bersifat revolusioner.
Lebih-lebih, bila revolusioner  di  sini  cuma  diidentikkan
dengan sikap mendobrak segala hal yang tak berkenan di hati.
 
Makin  jelas  bahwa  sebenarnya  sikap politik NU itu analog
dengan  strategi  pendekatan  LSM  yang  lebih  mengutamakan
langsung  masuk  ke dalam struktur yang ada, kemudian secara
bertahap melakukan transformasi sosial. Wawasan politik  NU,
dengan demikian, dilandasi oleh asumsi dasar bahwa perubahan
sosial  harus  lebih  terjadi  sebagai  akibat  dari  proses
pematangan dan pendewasaan sikap secara internal.
 
Tentu  saja  tak  usah  ditafsirkan  bahwa  dengan  demikian
unsur-unsur luar tak akan pernah punya  arti  strategis  apa
pun  dalam  proses itu. Hal itu tentu saja ada, meskipun tak
akan dianggap berperan sebesar unsur-unsur internal tadi.
 
Sikap ini secara konsisten dipegang  oleh  NU,  sampai  hari
ini.  Dengan  begitu,  sekalipun  saat ini NU nampak menjadi
lebih reformatif dibanding Muhammadiyah,  akan  tetap  lebih
nyaman  bagi  para  Nahdliyyin  itu bila spirit mereka lebih
diterjemahkan dengan slogan: sekali NU tetap NU.
 
Ada memang perbedaan mencolok  antara  NU  di  zaman  lampau
dengan  NU  sekarang.  Di  tangan  almukarom  H. Abdurrahman
Wahid, NU nampak sebagai sebuah panggung yang semarak, penuh
asesori,  bendera-bendera, umbul-umbul dan aneka hiasan, dan
anehnya hampir semua fungsional.
 
Sebagai panglima besar kaum nahdliyyin,  sepak  terjang  dan
tindakan  Abdurrahman  Wahid  sering menimbulkan kebingungan
umatnya  sendiri.  Kebingungan  ini   pula   yang   kemudian
menelorkan  kecurigaan  terhadap diri Abdurrahman Wahid. Ini
tidak aneh. Dengan gaya Srimulat bisa  dikatakan:  jangankan
umat,  Abdurrahman Wahid sendiri juga bingung (mengapa orang
pada bingung).
 
Pembelaan tak perlu dibuat untuk  siapa  pun.  Tapi  mungkin
akan  berguna bila persoalan didudukkan secara proporsional.
Sekurangnya dicoba ditempatkan dalam perspektif akal  sehat,
dan    bukan    dalam   warna   kecurigaan   dan   kemarahan
terus-menerus, yang  tentu  tidak  akan  produktif.  Malahan
mungkin  akan  mempertegas  betapa  sampai sekarang pun umat
Islam, termasuk tokoh-tokohnya, tak kunjung belajar  menjadi
dewasa.
 
Kredibilitas  moral apa, komitmen sosial apa dan keteladanan
apa yang ditunjukkan oleh para tokoh kita  itu,  kalau  yang
nampak cuma curiga, berantem dan bersitegang melulu?
 
Persoalan  di  sekitar  NU  dan  Abdurrahman  Wahid  pribadi
mungkin akan dipahami  jika  pertama  kita  mampu  menangkap
getaran  semangat  Abdurrahman  Wahid,  bukan substansi dari
ucapan atau tulisannya,  kata  per  kata  atau  kalimat  per
kalimat.  Dengan kata lain, apa yang nampak berlebihan dalam
pernyataannya,  cuma  harus   dipahami   bahwa   ia   sedang
menunjukkan   komitmennya   yang   sungguh-sungguh  mengenai
sesuatu persoalan nasional tertentu. Dengan begitu, bukankah
jadinya  kita  berbagi  aspirasi  dengannya?  Orang  seperti
Abdurrahman Wahid, seperti beberapa orang lain, menurut saya
adalah  tokoh-tokoh  yang  merasa di atas pundaknya terpikul
pekerjaan rumah yang dulu  tak  selesai  digarap  oleh  para
tokoh  pendiri  Republik  ini,  semisal  Bung Hatta dan Bung
Sjahrir itu.
 
Kedua,  mungkin  Abdurrahman  Wahid  itu  potret  kecerdasan
cerpen-cerpen Putu Widjaya yang tak mudah diterka, menjebak,
dan menyodok kesadaran moral kita  melebihi  khotbah-khotbah
resmi  di masjid atau di gereja. Tak mudahnya memahami sepak
terjang politik Abdurrahman Wahid mungkin tak harus diakhiri
dengan  rasa  curiga  karena terbukti banyak kecurigaan yang
gone with the wind dengan sendirinya. Termasuk  gosip  bahwa
ia  lebih membela "musuh-musuh". Katakanlah tegasnya membela
Kristen.  Tapi  bukankah   ia   tetap   mencintai   umatnya?
Ringkasnya,  ia  membela Kristen atau agama lain dalam suatu
konteks tertentu, dan mencintai umatnya dalam  konteks  yang
lain.  Bagi  saya,  kecurigaan  mengenai ini susah diyakini.
Kita lupa bahwa Abdurrahman  Wahid  bagaimanapun  orang  NU.
Bahkan  presiden  di "republik" NU, yang akan fasih berucap:
sekali NU tetap NU.
 
Ketiga, NU  memerlukan  seorang  "penerjemah",  "penghubung"
atau  "juru-bicara"  dengan  dunia  lain  di luarnya. Banyak
keputusan brilian  ditelorkan  NU,  tapi  tak  bergema,  tak
didengar dunia luar, dan tak punya dampak sosio-politis yang
berarti. Abdurrahman Wahid mungkin orang yang tepat  disebut
"penerjemah", "penghubung" atau "juru-bicara" itu.
 
Sikapnya yang "galak" melawan sektarianisme, persahabatannya
dengan berbagai kalangan luar, geraknya di Forum  Demokrasi,
tulisannya  di  Editor  "Beri Orang Cina Jalan" dan sejumlah
pernyataannya  yang  berulang  kali  mengingatkan   "bahaya"
eksklusifisme, tak lain cuma terjemahan dari keputusan Munas
di Cilacap, Desember 1987 tentang ukhuwah wathoniah (bergaul
dengan  sesama  warga negara) dan ukhuwah basyariah (bergaul
dengan sesama manusia, siapa pun manusia itu).
 
Orang   NU    yang    bingung    menanggapi    ini    adalah
semalang-malangnya orang, karena tak memahami arti strategis
perjuangan organisasinya yang dibuat efektif, lebih  nyaring
bergema   dan   semaksimal   mungkin   diusahakan  berdampak
sosial-politis.  Pendeknya,  Abdurrahman  Wahid   membukakan
"jendela" bagi warga NU untuk menjadi lebih berbudaya, lebih
kosmopolitan. Sarung dan theklek boleh  terus  dipakai,  tak
soal, tapi wawasan mesti gede.
 
Keempat,  dalam  semangat  mencintai umat, Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid tak ada  beda.  Cuma  strategi  mereka
yang lain: Nurcholish lebih berusaha "mengelus" umat sebagai
"anak-anak" baik, pinter,  untuk  membesarkan  hati  mereka,
dengan  penuh  rasa  cinta seorang Bapak. Sedang Abdurrahman
Wahid tega menggebuk, menjewer  atau  memaki,  dengan  kadar
cinta  yang  tak usah diragukan. Mereka memahami pendidikan,
dan punya caranya sendiri.
 
Kekhawatiran sementara orang akan  retaknya  hubungan  kedua
tokoh  ini,  mungkin berlebihan. Kalau toh benar sejak kasus
Monitor dulu ada konflik antara keduanya, bagi saya  konflik
itu  tak  didasari  kebencian, melainkan rasa cinta, seperti
halnya  ketegangan  yang   suka   muncul   antara   NU   dan
Muhammadiyah.  Jadi  wajar  saja, dua ekor dinosourus memang
memerlukan medan yang besar, dan jika mereka tak  ketemu  di
jalan,  mungkin  karena  kebetulan ada belokan. Namun sekali
lagi,  tak  bisa  dianggap  bahwa  Abdurrahman  Wahid  lebih
membela orang lain. Seperti dibilang tadi, dia ini orang NU.
Sekali NU tentu saja tetap NU.
 
-----------------------
KANG SEJO MELIHAT TUHAN
Mohammad Sobary
GM 204 93.692
Cetakan ketiga: Juli 1995
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Jln. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team