| |
|
SEKALI NU TETAP NU Segala puji bagi Allah, yang telah melengkapi kita dengan naluri takut. Dengan naluri itu kita bisa berhati-hati membuat perhitungan demi keselamatan. Selamat diri sendiri. Selamat jabatan. Selamat keluarga. Barangkali kita memang tokoh-tokoh yang mudah dihinggapi rasa takut, termasuk takut kepada kata-kata. Terutama jika kata-kata itu mengandung mantra "pembebasan". Lebih khusus lagi bila tata-kata yang mengandung mantra "pembebasan" itu dicetak di media massa. Forum Demokrasi yang terkenal itu pun didukung oleh tokoh-tokoh yang juga takut. Tetapi ketakutan mereka tidak terkait dengan kepentingan pribadi atau keluarga, melainkan dengan sesuatu yang lebih luhur, lebih besar: tercekiknya demokrasi di negeri ini. Tokoh-tokoh yang takut ini sudah dua kali berurusan dengan aparat keamanan yang juga takut. Karena takut terjadi ini dan itu, atau kurangnya syarat ini dan itu, acara halal bil halal Forum Demokrasi, Minggu, 19 April 1992, dilarang. Wawancara Media Indonesia dengan intelektual kita, Aswab Mahasin, Senin, 20 April 1992, mengungkapkan sesuatu yang menarik mengenai posisi politis Abdurrahman Wahid. Ketua PB-NU yang takut demokrasi kita tercekik itu sering menghadapi kecurigaan dan kemarahan orang-orang lain. Dan orang-orang itu tak jarang merupakan kawan-kawan sendiri, seperti diceritakan dalam wawancara Kiai Mahasin tersebut. Kecurigaan mereka, barangkali, juga tak bebas dari kemungkinan adanya rasa takut karena berbagai alasan. Setidaknya sejak tahun lalu Abdurrahman Wahid disanjung, setelah tampil lebih tegas sebagai tokoh nasional yang paling populer dan berani. Namun tak sedikit yang menganggap "kamerad" kita ini bersikap agak berlebinan. Dan sering atas dasar itu pula kecurigaan orang atas dirinya dibangun. Ditinjau lebih jauh lagi, kecurigaan orang terhadap Abdurrahman Wahid mungkin sama dengan kecurigaan orang terhadap posisi politis NU. Dengan kata lain, NU dan Abdurrahman Wahid itu masih belum bebas dari kecurigaan "nasional". Ketika masih efektif sebagai partai politik, NU memperoleh julukan buruk sebagai oportunis, kolaborator atau legitimator. Mungkin kecurigaan itu sendiri lahir dari sikap yang juga tidak bebas. Maksudnya, curiga karena sentimen dalam persaingan politik, atau karena upaya terselubung menjatuhkan lawan. Pokoknya, sikap itu tidak bebas "muatan". Tahun-tahun 1950-an-1960-an memang periode yang kuat mencerminkan semangat zaman yang diliputi suasana saling menggontok seperti itu. Sebuah kekuatan akan selalu merasa memetik keuntungan bila kekuatan lain tersudut secara politis. Matinya suatu kekuatan selalu diterima sebagai berkah oleh kekuatan yang lain Sikap dan orientasi dikotomis yang membedakan kawan dan lawan, dulu kelewat tegas. Sekarang pun sikap itu masih tak jarang menggejala. Dalam suasana ketika "luka" lama semacam itu belum pulih benar, sentuhan yang menggores titik peka bisa menimbulkan aneka macam persoalan yang merunyamkan. Salah satu sumber kecurigaan orang terhadap NU, mungkin karena wawasan kenegaraan dan logika politik NU susah dipahami oleh kekuatan-kekuatan di luar organisasi itu. Secara politis NU mengesankan tidak bersifat revolusioner. Lebih-lebih, bila revolusioner di sini cuma diidentikkan dengan sikap mendobrak segala hal yang tak berkenan di hati. Makin jelas bahwa sebenarnya sikap politik NU itu analog dengan strategi pendekatan LSM yang lebih mengutamakan langsung masuk ke dalam struktur yang ada, kemudian secara bertahap melakukan transformasi sosial. Wawasan politik NU, dengan demikian, dilandasi oleh asumsi dasar bahwa perubahan sosial harus lebih terjadi sebagai akibat dari proses pematangan dan pendewasaan sikap secara internal. Tentu saja tak usah ditafsirkan bahwa dengan demikian unsur-unsur luar tak akan pernah punya arti strategis apa pun dalam proses itu. Hal itu tentu saja ada, meskipun tak akan dianggap berperan sebesar unsur-unsur internal tadi. Sikap ini secara konsisten dipegang oleh NU, sampai hari ini. Dengan begitu, sekalipun saat ini NU nampak menjadi lebih reformatif dibanding Muhammadiyah, akan tetap lebih nyaman bagi para Nahdliyyin itu bila spirit mereka lebih diterjemahkan dengan slogan: sekali NU tetap NU. Ada memang perbedaan mencolok antara NU di zaman lampau dengan NU sekarang. Di tangan almukarom H. Abdurrahman Wahid, NU nampak sebagai sebuah panggung yang semarak, penuh asesori, bendera-bendera, umbul-umbul dan aneka hiasan, dan anehnya hampir semua fungsional. Sebagai panglima besar kaum nahdliyyin, sepak terjang dan tindakan Abdurrahman Wahid sering menimbulkan kebingungan umatnya sendiri. Kebingungan ini pula yang kemudian menelorkan kecurigaan terhadap diri Abdurrahman Wahid. Ini tidak aneh. Dengan gaya Srimulat bisa dikatakan: jangankan umat, Abdurrahman Wahid sendiri juga bingung (mengapa orang pada bingung). Pembelaan tak perlu dibuat untuk siapa pun. Tapi mungkin akan berguna bila persoalan didudukkan secara proporsional. Sekurangnya dicoba ditempatkan dalam perspektif akal sehat, dan bukan dalam warna kecurigaan dan kemarahan terus-menerus, yang tentu tidak akan produktif. Malahan mungkin akan mempertegas betapa sampai sekarang pun umat Islam, termasuk tokoh-tokohnya, tak kunjung belajar menjadi dewasa. Kredibilitas moral apa, komitmen sosial apa dan keteladanan apa yang ditunjukkan oleh para tokoh kita itu, kalau yang nampak cuma curiga, berantem dan bersitegang melulu? Persoalan di sekitar NU dan Abdurrahman Wahid pribadi mungkin akan dipahami jika pertama kita mampu menangkap getaran semangat Abdurrahman Wahid, bukan substansi dari ucapan atau tulisannya, kata per kata atau kalimat per kalimat. Dengan kata lain, apa yang nampak berlebihan dalam pernyataannya, cuma harus dipahami bahwa ia sedang menunjukkan komitmennya yang sungguh-sungguh mengenai sesuatu persoalan nasional tertentu. Dengan begitu, bukankah jadinya kita berbagi aspirasi dengannya? Orang seperti Abdurrahman Wahid, seperti beberapa orang lain, menurut saya adalah tokoh-tokoh yang merasa di atas pundaknya terpikul pekerjaan rumah yang dulu tak selesai digarap oleh para tokoh pendiri Republik ini, semisal Bung Hatta dan Bung Sjahrir itu. Kedua, mungkin Abdurrahman Wahid itu potret kecerdasan cerpen-cerpen Putu Widjaya yang tak mudah diterka, menjebak, dan menyodok kesadaran moral kita melebihi khotbah-khotbah resmi di masjid atau di gereja. Tak mudahnya memahami sepak terjang politik Abdurrahman Wahid mungkin tak harus diakhiri dengan rasa curiga karena terbukti banyak kecurigaan yang gone with the wind dengan sendirinya. Termasuk gosip bahwa ia lebih membela "musuh-musuh". Katakanlah tegasnya membela Kristen. Tapi bukankah ia tetap mencintai umatnya? Ringkasnya, ia membela Kristen atau agama lain dalam suatu konteks tertentu, dan mencintai umatnya dalam konteks yang lain. Bagi saya, kecurigaan mengenai ini susah diyakini. Kita lupa bahwa Abdurrahman Wahid bagaimanapun orang NU. Bahkan presiden di "republik" NU, yang akan fasih berucap: sekali NU tetap NU. Ketiga, NU memerlukan seorang "penerjemah", "penghubung" atau "juru-bicara" dengan dunia lain di luarnya. Banyak keputusan brilian ditelorkan NU, tapi tak bergema, tak didengar dunia luar, dan tak punya dampak sosio-politis yang berarti. Abdurrahman Wahid mungkin orang yang tepat disebut "penerjemah", "penghubung" atau "juru-bicara" itu. Sikapnya yang "galak" melawan sektarianisme, persahabatannya dengan berbagai kalangan luar, geraknya di Forum Demokrasi, tulisannya di Editor "Beri Orang Cina Jalan" dan sejumlah pernyataannya yang berulang kali mengingatkan "bahaya" eksklusifisme, tak lain cuma terjemahan dari keputusan Munas di Cilacap, Desember 1987 tentang ukhuwah wathoniah (bergaul dengan sesama warga negara) dan ukhuwah basyariah (bergaul dengan sesama manusia, siapa pun manusia itu). Orang NU yang bingung menanggapi ini adalah semalang-malangnya orang, karena tak memahami arti strategis perjuangan organisasinya yang dibuat efektif, lebih nyaring bergema dan semaksimal mungkin diusahakan berdampak sosial-politis. Pendeknya, Abdurrahman Wahid membukakan "jendela" bagi warga NU untuk menjadi lebih berbudaya, lebih kosmopolitan. Sarung dan theklek boleh terus dipakai, tak soal, tapi wawasan mesti gede. Keempat, dalam semangat mencintai umat, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tak ada beda. Cuma strategi mereka yang lain: Nurcholish lebih berusaha "mengelus" umat sebagai "anak-anak" baik, pinter, untuk membesarkan hati mereka, dengan penuh rasa cinta seorang Bapak. Sedang Abdurrahman Wahid tega menggebuk, menjewer atau memaki, dengan kadar cinta yang tak usah diragukan. Mereka memahami pendidikan, dan punya caranya sendiri. Kekhawatiran sementara orang akan retaknya hubungan kedua tokoh ini, mungkin berlebihan. Kalau toh benar sejak kasus Monitor dulu ada konflik antara keduanya, bagi saya konflik itu tak didasari kebencian, melainkan rasa cinta, seperti halnya ketegangan yang suka muncul antara NU dan Muhammadiyah. Jadi wajar saja, dua ekor dinosourus memang memerlukan medan yang besar, dan jika mereka tak ketemu di jalan, mungkin karena kebetulan ada belokan. Namun sekali lagi, tak bisa dianggap bahwa Abdurrahman Wahid lebih membela orang lain. Seperti dibilang tadi, dia ini orang NU. Sekali NU tentu saja tetap NU. ----------------------- KANG SEJO MELIHAT TUHAN Mohammad Sobary GM 204 93.692 Cetakan ketiga: Juli 1995 Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jln. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |