Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

NU MASIH TETAP MENGALIR
 
Dalam  bangunan  sosio-politik   dan   kultural   Indonesia,
dapatkah   kita  menemukan  kembali  unsur-unsur  yang  dulu
merupakan sumbangan NU?  Kemudian,  dapatkah  kita  mengklim
bahwa  unsur  tertentu  dalam bangunan tersebut adalah hasil
karya NU? Mungkin tidak. Seperti halnya tak mungkin  seorang
kiai  akan  bisa  menemukan  kembali  jejak  pendidikan yang
pernah ditinggalkan dalam diri para  santrinya.  Ini,  tentu
saja,   karena  sang  santri  sendiri  juga  berkembang  dan
menyerap dari berbagai sumber lain buat basis dan  pengayaan
pemikirannya.
 
Tetapi,  jika  para  analis bisa dengan mudah bicara tentang
kontribusi  pemikiran  sosio-politik-keagamaan   Abdurrahman
Wahid  dan Nurcholish Madjid, yang nampak mewarnai pemikiran
Islam di Indonesia sekarang, kita juga bisa kembali  melihat
apa   yang  sudah  pernah  disumbangkan  NU  bagi  kehidupan
kemasyarakatan     kita      melalui,      antara      lain,
keputusan-keputusan  yang  pernah  diambil  dalam Munas yang
berlangsung selama ini.
 
Kita ingat bahwa dalam Munas di Kaliurang,  September  1981,
NU  memutuskan  tiga hal: mengangkat Kiai Ali Ma'sum sebagai
Rais Aam, tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai  presiden,
dan tidak mendukung Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, yang
saat itu gencar disuarakan  oleh  berbagai  kekuatan  sosial
politik di Indonesia.
 
Saat  itu  NU berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan
pada MPR. Kita juga masih ingat bahwa dalam Munas  itu  pula
NU terpecah menjadi dua kubu: Cipete dan Situbondo.
 
Dalam  Munas berikutnya di Situbondo, Desember 1983, diambil
keputusan  yang  menimbulkan  kekaguman  banyak  pihak,   di
samping  penyesalan  sementara  kalangan,  yaitu  kembali ke
khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
 
Dengan kembali ke khittah 26, berarti NU meninggalkan  dunia
politik untuk memilih kembali menjadi organisasi sosial.
 
NU  menerima  Pancasila sebagai asas tunggal karena bagi NU,
Indonesia   ini   sudah   merupakan   bentuk   final    yang
diperjuangkan  dan  dicita-citakan Islam sejak dulu. Seperti
dapat  kita  lihat  dalam  perkembangan  politik   Indonesia
selanjutnya, keputusan ini terasa jitu. Seolah keputusan ini
langsung terkait dengan Islam yes,  partai  Islam  no,  yang
terkenal itu.
 
Dengan  begini,  sebenarnya NU mencoba keluar dari kepompong
untuk  meng-Indonesia-kan  diri.  NU,  dengan   kata   lain,
berusaha  menanggalkan  baju  primordialnya untuk menapak di
jalur  cepat  (nasional)  dalam  pergaulan  dengan  berbagai
kekuatan  sosial  politik  lainnya.  Dalam pergaulan itu, NU
menghilangkan aneka prasangka  (ras,  suku,  dan  keagamaan)
tetapi juga tidak perlu menghilangkan identitas asalnya.
 
Di  dalam  Munas  Cilacap,  Desember  1987, NU mengambil dua
macam keputusan: tajdid (pembaruan) dan  ukhuwah.  Pembaruan
ajaran  dianggap  perlu  dilakukan  karena  ajaran, bagi NU,
adalah ibarat aliran sungai. Makin jauh dari sumber  sucinya
(zaman  Gusti  Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan makin dekat
ke muara (kehidupan zaman kita ini), segala najis dan khadas
yang  mengotori  ajaran  kita  tentu  semakin banyak. Namun,
pembaruan bukan dimaksudkan untuk mengajak umat bersama-sama
menata   kembali   pola   kehidupan   sosio-politik-kultural
sebagaimana tercermin dalam kehidupan bangsa Arab tempo dulu
(yang  tentu  saja  tidak akan cocok dengan kondisi obyektif
kita  sekarang),  melainkan   untuk   membersihkan   kotoran
tersebut.
 
Dalam   kaitan   ini,   NU  tiba-tiba  lalu  menemukan  diri
bergandengan tangan dengan  Muhammadiyah,  tetangganya  itu.
Pada  titik  ini  NU-Muhammadiyah bertemu dalam aspirasi dan
doktrin keagamaan. Dengan kata lain, NU membuka jendela yang
selama ini menyekat hubungannya dengan Muhammadiyah.
 
Keputusan  mengenai  ukhuwah  menyangkut  tiga  hal penting:
ukhuwah Islamiah (sesama Islam), ukhuwah  wathaniah  (sesama
warga negara), dan ukhuwah basyariah (sesama manusia).
 
Ini,  sekali  lagi, mempertegas kembali tekad NU untuk lebih
membuka cakrawala pergaulan dengan siapa saja,  tanpa  beban
prasangka tadi. NU mencoba hidup secara enak, mengalir bagai
aliran sungai, ke arah mana saja sejauh tak menodai diri dan
inti perjuangannya. Ini menarik, karena seolah-olah NU sudah
jauh memperhitungkan bakal datangnya era  globalisasi  dalam
berbagai segi kehidupan seperti kita rasakan sekarang ini.
 
Setelah  "dekrit"  tentang tiga ukhuwah itu, NU lalu membuka
peluang kerja  sama  ekonomi  dengan  berbagai  pihak.  Maka
terbentuklah  kemudian  BPR, Morelli Makmur, Morelli Aswaja,
dan Buana Citra Asparagus. Yang terakhir ini merupakan kerja
sama NU dengan pihak Swiss.
 
Dalam  Munas  Lampung,  21-25  Januari  1992 mendatang, akan
dibahas  tiga  hal:  soal  bank,  asuransi,   dan   hirarkhi
pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU.
 
Bisik-bisik  dan  segenap  komentar, konon sudah berkembang.
Ada yang menganggap, Munas Lampung mendatang merupakan suatu
langkah  mundur bagi NU. Ada pula yang bilang bahwa asuransi
dan bank tak ada relevansinya dengan NU, sementara  hirarkhi
pengambilan keputusan hukum Islam pun dianggap sudah telat.
 
Kemunduran?  Dan  bank serta asuransi tak relevan dengan NU?
Pokok-pokok yang akan dibahas di Lampung, sepintas lalu, dan
itu  bila  hanya  dilihat  dari  segi  politik,  memang  tak
kelihatan menggebrak. Tapi mestikah yang tak menggebrak  itu
suatu kemunduran? Belum tentu.
 
Kita  kan  tak harus menggebrak terus-menerus. Artinya, bila
situasi menghendaki kita bekerja secara kalem, mengapa  pula
harus   menggebrak?   Saya  setuju  bahwa  dibanding  dengan
keputusan Munas Situbondo dan Munas  Cilacap,  arti  politis
Munas Lampung mungkin lebih kecil.
 
Tapi anggapan bahwa bank dan asuransi tak relevan dengan NU,
sulit saya pahami. Adalah panglima tertinggi NU yang  selalu
bilang  betapa pentingnya kita membenahi kehidupan (ekonomi)
umat yang sampai saat ini masih morat-marit. Dan, bahwa demi
pembenahan  itu,  kita dianjurkan pula untuk tak usah selalu
ribut tentang  thethek  mbengek  perkara  khalifiah,  karena
problem pokok umat adalah kemiskinan.
 
Memang,  kita  tak  harus  setuju dengan panglima tertinggi.
Tapi bila sebagai tindak lanjut dari "dekrit"  tentang  tiga
ukhuwah  kita  kerja  sama dengan bank, dan hal itu sekarang
kita tindaklanjuti, bagaimana bisa  bank  dianggap  tak  ada
relevansinya  dengan  NU?  Saya melihat bahwa Munas kali ini
masih terkait dengan  soal  penting  dalam  kehidupan  umat.
Dengan kata lain, NU masih tetap mengalir. Ia tak kehilangan
relevansi apa pun.
 
---------------
Mohammad Sobary, Warta NU, Bulanan, Januari 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team