| |
|
NONSEKTARIAN Dalam percaturan politik kita, akhir-akhir ini, sikap nonsektarian muncul seperti obat penenang. Ia mengesankan sebuah jalan keluar. Sekurangnya, sebuah upaya mencari jalan keluar itu. Bagi saya, nonsektarian itu sebuah mantra. Ia merupakan bahasa para empu, begawan, atau resi. Dengan kata lain, bahasa para pendekar di atas angin, yang tidak punya pamrih politik, karena "kerajaan" mereka pada hakikatnya memang bukan di dunia fana ini. Menurut fitrah semula, tiap diri di antara kita telah dibekali oleh alam sikap nonsektarian ini. Kita bersedia dilahirkan lewat gua garba ibu yang mana pun. Kita patuh dilahirkan di dalam lingkungan macam apa pun. Tapi, tiap kelompok sosial di mana kita lahir, kondisinya kurang lebih sama: kita seolah lahir di dalam sebuah "peti" sempit. Kita lalu belajar bahasa yang lazim digunakan di dalam "peti" itu. Kita menjunjung tradisi yang berlaku di dalam "peti". Selanjutnya, kita pun lalu menganut agama "peti", membentuk organisasi sosial "peti", dan bergabung dalam partai politik "peti". Alhasil, kita makhluk yang ditempa di dalam "peti". Ada, memang, ada yang seolah tetap dalam fitrah semula: bisa membebaskan dirinya dari kungkungan semua "peti". Daya nalarnya menembus batas-batas "peti". Orientasinya di atas semua warna "peti". Wawasannya tidak "peti" sentris. Katakanlah, jiwanya relatif bebas --dibanding mayoritas umat yang lain-- dari ikatan budaya kelompok atau golongan. Secara teknis, bisa disebut bebas dari segenap ikatan primordial. Cantelan perjuangannya bukan kelompok. Pemihakannya bukan "warna" golongan. Aspirasinya universalisme, bukan partikularisme. Dia "mengabdi" kepada roh, bukan kepada badan. Orang, golongan, atau kelompok, baginya tidak ada. Dalam benaknya, yang ada cuma manusia. Satuan waktu dalam perjuangannya tak ditentukan secara teknis-birokratis dalam ukuran cuma tahun atau tahap-tahap Pelita, melainkan abad. Dia, pokoknya, orang dengan skala serba besar. Dia bukan orang biasa. Tahun 1989 yang lalu, saya ikuti pemilihan kepala desa di Setu, Kecamatan Serpong. Warga desa berduyun-duyun memilih. Para pejabat dari Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Serpong menjadi saksi pemilihan demokratis itu. Ada sport jantung, tentu, di kalangan para pendukung masing-masing calon, yang jumlahnya ada tiga orang. Calon pertama adalah orang dari keluarga terpandang. Calon kedua juga orang yang berkecukupan. Tapi, calon ketiga "cuma" tukang daging. Orang pun menduga, calon dari keluarga terpandang itu bakal keluar sebagai pemenang. Tapi, dugaan itu meleset. Pemenangnya justru tukang daging yang tak pernah diperhitungkan itu. Apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam masyarakat kita? Rakyat makin pandai? Mereka makin sadar politik? Apa permainan politik mereka makin canggih? Peristiwa itu, mungkin, sama mengherankannya dengan apa yang terjadi di desa-desa Jateng pada tahun 1988, ketika kotak-kotak kosong memenangkan pemilihan kepala desa. Saya menonton "pameran" demokrasi desa tadi bersama para tukang ojek dari Ciater. Di pangkalan ojek, saya bertanya pada abang-abang itu soal pemilihan yang baru saja berlangsung. "Apa dasar orang memilih seorang calon?" tanya saya. "Milih mah milih aje," sahut Bang Odi. "Milih yang satu partai?" "Ya kaga dong," sahut Bang Gimun. "Milih teman sekampung?" "Belon tentu juga," sahut Bang Gimun lagi. "Milih anggota ABRI?" "Kaga juga. Buktinya, di Cilenggang (juga di Serpong), calon ABRI kalah ame calon orang sipil," sahut Bang Rojak. "Milih orang terpandang?" "Tadi, pan ada bukti barusan, orang lebih terpandang dikalain ame tukang daging?" kata Bang Odi lagi. "Jaman sekarang mah orang kaga milih golongan, kaga liat pangkat. Nyang penting mah pemimpin yang mikirin rakyat. Pemimpin nyang punya peratian ke kite-kite," kata Bang Gimun lagi. "Emang benar," Bang Odi menyambung Bagi saya, jawaban-jawaban ini merupakan cerminan sikap skeptis terhadap orang atau golongan. Tampak, di sini, bahwa mereka pun tidak memperlihatkan pemihakan pada orang per orang atau golongan. Artinya, ini pun kurang lebih sikap nonsektarian juga jadinya. Apakah dengan demikian mereka pendukung-pendukung Gus Dur? Belum tentu. Bagi saya, mungkin malah sebaliknya. Suara "kasidahan" yang diperdengarkan Gus Dur di tingkat nasional itu, sebenarnya, hanya merupakan gaung yang lebih nyaring dari suara "kasidahan" para kawulo kecil di tingkat lokal, termasuk di kalangan tukang ojek Ciater. Dengan kata lain, kiai kita sedang "menerjemahkan" isi hati mereka, agar bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas, buat kepentingan yang lebih besar. Pendeknya, kiai kita mewakili kepentingan mereka. Yang, dalam percaturan nasional, seolah hilang begitu saja dalam angka statistik; tanpa suara, tanpa rupa. --------------- Mohammad Sobary, Editor, No. 36/Thn. IV/25 Mei 1991 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |