Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

NONSEKTARIAN
 
Dalam  percaturan  politik  kita,  akhir-akhir  ini,   sikap
nonsektarian  muncul  seperti  obat penenang. Ia mengesankan
sebuah jalan keluar. Sekurangnya, sebuah upaya mencari jalan
keluar itu.
 
Bagi  saya,  nonsektarian  itu  sebuah  mantra. Ia merupakan
bahasa para empu, begawan,  atau  resi.  Dengan  kata  lain,
bahasa  para pendekar di atas angin, yang tidak punya pamrih
politik, karena "kerajaan"  mereka  pada  hakikatnya  memang
bukan di dunia fana ini.
 
Menurut  fitrah  semula,  tiap  diri  di  antara  kita telah
dibekali oleh alam sikap  nonsektarian  ini.  Kita  bersedia
dilahirkan  lewat  gua  garba  ibu yang mana pun. Kita patuh
dilahirkan di dalam lingkungan macam  apa  pun.  Tapi,  tiap
kelompok  sosial di mana kita lahir, kondisinya kurang lebih
sama: kita seolah lahir di dalam sebuah "peti" sempit.  Kita
lalu  belajar  bahasa  yang  lazim digunakan di dalam "peti"
itu. Kita menjunjung tradisi yang berlaku di  dalam  "peti".
Selanjutnya,  kita pun lalu menganut agama "peti", membentuk
organisasi sosial "peti", dan bergabung dalam partai politik
"peti".
 
Alhasil,  kita  makhluk  yang  ditempa di dalam "peti". Ada,
memang, ada yang seolah  tetap  dalam  fitrah  semula:  bisa
membebaskan  dirinya  dari  kungkungan  semua  "peti".  Daya
nalarnya menembus batas-batas "peti". Orientasinya  di  atas
semua   warna   "peti".  Wawasannya  tidak  "peti"  sentris.
Katakanlah, jiwanya relatif bebas --dibanding mayoritas  umat
yang lain-- dari ikatan budaya kelompok atau golongan.
 
Secara  teknis,  bisa  disebut  bebas  dari  segenap  ikatan
primordial.   Cantelan   perjuangannya    bukan    kelompok.
Pemihakannya    bukan    "warna"    golongan.    Aspirasinya
universalisme, bukan partikularisme. Dia  "mengabdi"  kepada
roh, bukan kepada badan.
 
Orang,  golongan,  atau  kelompok,  baginya tidak ada. Dalam
benaknya,  yang  ada  cuma  manusia.  Satuan   waktu   dalam
perjuangannya  tak ditentukan secara teknis-birokratis dalam
ukuran cuma tahun atau tahap-tahap Pelita,  melainkan  abad.
Dia,  pokoknya,  orang  dengan  skala serba besar. Dia bukan
orang biasa.
 
Tahun 1989 yang lalu, saya ikuti pemilihan  kepala  desa  di
Setu,  Kecamatan Serpong. Warga desa berduyun-duyun memilih.
Para pejabat dari Kabupaten Tangerang dan Kecamatan  Serpong
menjadi saksi pemilihan demokratis itu.
 
Ada   sport  jantung,  tentu,  di  kalangan  para  pendukung
masing-masing calon, yang jumlahnya ada  tiga  orang.  Calon
pertama  adalah  orang dari keluarga terpandang. Calon kedua
juga orang yang  berkecukupan.  Tapi,  calon  ketiga  "cuma"
tukang  daging.  Orang  pun  menduga,  calon  dari  keluarga
terpandang itu bakal keluar sebagai pemenang.  Tapi,  dugaan
itu  meleset.  Pemenangnya  justru  tukang  daging  yang tak
pernah diperhitungkan itu.
 
Apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam masyarakat  kita?
Rakyat   makin  pandai?  Mereka  makin  sadar  politik?  Apa
permainan politik mereka makin canggih?
 
Peristiwa itu, mungkin, sama mengherankannya dengan apa yang
terjadi   di   desa-desa  Jateng  pada  tahun  1988,  ketika
kotak-kotak kosong memenangkan pemilihan kepala desa.
 
Saya menonton "pameran" demokrasi  desa  tadi  bersama  para
tukang  ojek  dari  Ciater. Di pangkalan ojek, saya bertanya
pada  abang-abang  itu  soal  pemilihan   yang   baru   saja
berlangsung.
 
"Apa dasar orang memilih seorang calon?" tanya saya.
 
"Milih mah milih aje," sahut Bang Odi.
 
"Milih yang satu partai?"
 
"Ya kaga dong," sahut Bang Gimun.
 
"Milih teman sekampung?"
 
"Belon tentu juga," sahut Bang Gimun lagi.
 
"Milih anggota ABRI?"
 
"Kaga juga. Buktinya, di Cilenggang (juga di Serpong), calon
ABRI kalah ame calon orang sipil," sahut Bang Rojak.
 
"Milih orang terpandang?"
 
"Tadi,  pan  ada  bukti  barusan,  orang  lebih   terpandang
dikalain ame tukang daging?" kata Bang Odi lagi.
 
"Jaman  sekarang  mah  orang  kaga milih golongan, kaga liat
pangkat. Nyang penting mah  pemimpin  yang  mikirin  rakyat.
Pemimpin nyang punya peratian ke kite-kite," kata Bang Gimun
lagi.
 
"Emang benar," Bang Odi menyambung
 
Bagi saya,  jawaban-jawaban  ini  merupakan  cerminan  sikap
skeptis terhadap orang atau golongan. Tampak, di sini, bahwa
mereka pun tidak memperlihatkan  pemihakan  pada  orang  per
orang  atau  golongan.  Artinya,  ini pun kurang lebih sikap
nonsektarian juga jadinya.
 
Apakah dengan demikian mereka pendukung-pendukung Gus Dur?
 
Belum tentu. Bagi  saya,  mungkin  malah  sebaliknya.  Suara
"kasidahan"  yang diperdengarkan Gus Dur di tingkat nasional
itu, sebenarnya, hanya merupakan gaung  yang  lebih  nyaring
dari  suara  "kasidahan" para kawulo kecil di tingkat lokal,
termasuk di kalangan tukang ojek Ciater. Dengan  kata  lain,
kiai  kita sedang "menerjemahkan" isi hati mereka, agar bisa
dipahami dalam konteks yang  lebih  luas,  buat  kepentingan
yang  lebih besar. Pendeknya, kiai kita mewakili kepentingan
mereka.  Yang,  dalam  percaturan  nasional,  seolah  hilang
begitu saja dalam angka statistik; tanpa suara, tanpa rupa.
 
---------------
Mohammad Sobary, Editor, No. 36/Thn. IV/25 Mei 1991

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team