| |
|
PENJARA Ketika Uni Soviet masih sebuah negara yang dikuasai partai tunggal Golkom (golongan komunis), para pembangkang yang paling gigih dan berani pun mengkeret menghadapi sistem penjara yang terkenal kejam. Di sana, dulu, ada kamp konsentrasi di Siberia, yang bisa membekukan tulang-tulang kering para pembangkang. Berkat sistem penjara yang ganas, kaku dan dingin terhadap rasa kemanusiaan itu, pengarang besar Aleksander I. Solzhenitsyn menulis novel The Gulag Archipelago yang juga sudah difilmkan dengan bagus itu. Didukung jaringan mata-mata Soviet yang efektif dan terkejam di dunia, partai komunis pernah menjadikan seluruh negeri Soviet sebagai sebuah penjara raksasa. Di negeri kita sini penjara atau bui --yang kemudian diubah menjadi "Lembaga Pemasyarakatan"-- tak sekejam itu. Meskipun begitu, tak seorang pun yang punya cita-cita luhur untuk sesekali mendekam di penjara. Kata penjara itu saja biarpun sudah ganti "kulit" menjadi "Lembaga Pemasyarakatan" sudah menakutkan. Beberapa waktu lalu, mantan juara dunia tinju terkenal di bumi, si Mike Tyson itu, dijatuhi hukuman dan segera harus mendekam di penjara. Pembelanya, Alan Deshowitz, mengkhawatirkan kalau si Tyson justru menjadi lebih jahat selama di penjara. Di dalam "masyarakat khusus" itu, bukan tak mungkin Tyson malah "belajar" bertingkah laku lebih jahat lagi. "Filsafat" yang melatarbelakangi sistem penjara kita, dan mungkin juga di mana-mana, jelas tidak dibumbui kedengkian dan hasrat balas dendam. Napi dipenjara supaya merenung, menyesali perbuatan dan memperoleh pelajaran untuk bisa hidup kembali di masyarakat secara baik. Tapi di mana-mana, dan juga di tempat kita, kenyataan sebaliknya sering terjadi. Maksudnya, seseorang dipenjara kemudian menjadi lebih jahat, lebih ganas. Penjara memang mengurung, membatasi gerak, dan pada batas tertentu, juga melumpuhkan. Bayangkan, orang dikurung terus dan tak pernah menghirup kebebasan. Si terpenjara bisa dilumpuhkan secara fisik. Bisa juga secara psikologis. Mantan napi yang kemudian menjadi jahat, sebenarnya adalah orang yang telah dilumpuhkan fungsi-fungsi psikologisnya hingga benih-benih yang memiliki kecenderungan baik itu pada mati, dan bibit kasih sayangnya pun tak lagi berkembang. Pokoknya, dia berhasil dilumpuhkan. Ini hasil dari penjara yang meringkus dan membatasi gerak fisik orang. Ada jenis penjara lain. Orang tidak terkurung di dalam penjara tapi ia terpenjara. Dan celaka, banyak orang tak menyadari bahwa sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam seluruh kebebasannya. Dalam konsep Inggris, penjara jenis ini disebut captive mind: jiwa yang terpenjara (sekalipun fisiknya bebas melayang ke mana saja). Ini mungkin lebih membahayakan dan lebih kejam dibanding terpenjara secara fisik. Kebodohan, yang membuat kita menjadi picik, keras kepala, merasa benar sendiri, dan segenap ketidakmampuan bersikap kritis, pada dasarnya adalah potret sebuah keterpenjaraan jiwa. Pikir punya pikir, di masyarakat kita banyak ulah manusia yang mungkin bisa disebut sebagai gambaran keterpenjaraan jiwa itu. Nafsu "berkuasa" secara berlebihan (hasrat menjadi sesuatu dan tak memberi orang lain kesempatan menggantinya) adalah juga bentuk jiwa yang terpenjara. Untuk mudahnya, ini bisa dinamakan "penjara nafsu". Rangkaian dari keterpenjaraan ini banyak sekali. Biasanya, lanjutan nafsu berkuasa, adalah nafsu "ingin punya". Di dunia wayang kita kenal dengan Dasamuka. Ia bernafsu menjadi jagoan paling sakti di bumi (bahkan juga di langit, ingin melebihi para dewa), dan ingin memiliki apa saja yang dimiliki orang lain. Di sekeliling kita, nafsu ingin punya ini diwujudkan dalam bentuk ingin beli pulau, ingin beli gunung, ingin beli lembah, laut, danau, pabrik-pabrik, toko-toko, kantor. Apa saja yang ada. Buat anak yang sudah bisa kerja dibelikan pabrik atau kantor yang disenangi. Untuk istri dibelikan kebun binatang dan kebun raya, mana tahu sang istri ingin menyegarkan jiwanya yang juga terpenjara itu. Apakah anak-anak yang masih sekolah tak dibelikan sesuatu? Jangan khawatir. Anak yang masih sekolah juga dibelikan sekolahan. Caranya, supaya tak mencolok dan tak jadi gosip di luaran, cukup menyogok gurunya. Kalau anaknya yang dungu itu tidak naik, gurunya dijejali dompet penuh duit. Dan rapor yang terbakar pun dipadamkan. Kemudian si anak dungu diberi kesempatan naik. Kalau anak atau cucu ingin juara dalam suatu lomba, untuk mereka kejuaraan juga bisa dibeli. Dengan kata lain, mereka bukan juara, melainkan "dijuarakan". Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik, segala dampak negatif dan aneka corak penderitaannya cukup dirasakan oleh yang bersangkutan. Tapi keterpenjaraan jiwa, diam-diam rupanya merembet, merayap, dan menggerayangi segenap pihak dalam keluarga. Bahkan mungkin segenap kerabat, famili, sanak, dan konco-konco seperjuangan dulu. Keterpenjaraan jiwa, pendeknya, serupa wabah yang berjangkit. Wabah itu masa inkubasinya pendek, jangkauan dan daya ledaknya luas. Ancamannya: gawat, tapi tak selalu darurat. Soalnya, yang bersangkutan sering tak sadar. Dan karena itu juga tak harus merasa malu. Yang ada malah sejenis rasa bangga. Dokter medis, dokter jiwa, psikolog, pekerja sosial, kiai dan segenap ahli rohani, harus dikerahkan untuk menyembuhkan keterpenjaraan jiwa seperti itu. Jika semua ahli itu masih belum menyembuhkan juga, mungkin tinggal satu yang bisa dijadikan tumpuan harapan: sejarah. Artinya, biarkanlah sejarah yang sabar dan kalem itu dengan teliti mencatat, merekam, dan mengumpulkan segenap fakta yang diperlukan. Kelak, akhirnya sejarah pun akan bisa berkata seperti Chairil Anwar: Bila telah sampai waktuku, ku mau tak seorang pun kan merayu. Tidak juga (orang-orang jiwanya terpenjara). Tak perlu sedu sedan itu. Karena kau terlambat. Saat kejatuhanmu telah. tiba Selamat jalan. Betapa mengerikan akibat dari sebuah keterpenjaraan jiwa. Tapi mengapa harus ngeri? Tiap diri di antara kita, mungkin sudah dilengkapi alam dengan alat-alat sensor yang bisa mencegah kemungkinan kita terjerumus ke dalam penjara seperti itu. Soalnya: tinggal bagaimana kita sendiri. Terpenjara atau tidak, sebenarnya kita sendiri yang menentukan. Bukankah kita diberi hak untuk jadi arsitek, buat melukis nasib kita sendiri? --------------- Mohammad Sobary, Hai, 17/XVI 28 April 1992 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |