|
|
![]()
|
|
|
RENDRA, ADAWIAH DAN BIMA (2/2)
Maka tak mengherankan juga bila kemudian corak pengalaman
rohaniah yang diperoleh seseorang dalam perjalanan batin
seperti itu bersifat khas, unik, dan mempribadi. Jika
tataran telah sampai, Allah berkenan membukakan hijab
(tabir) yang menutup segenap rahasia, dan kini mata (hati)
itu diperkenankan melihat apa yang tak nampak oleh mata
wadak. Keunikan seperti itu tak terjelaskan. Nalar tidak
mampu menggapainya. Oleh karena itu, hal-hal yang sangat
pribadi seperti ini biasanya tak usah diceritakan pada orang
lain. Kiai biasanya menyarankan agar itu tetap disimpan
baik-baik untuk diri sendiri. Salah satu alasannya, mungkin,
agar orang tak kemudian merasa sombong karena telah berhasil
mencapai tataran itu di dalam perjalanan rohaniahnya .
Kata "mencapai,' itu sendiri sebenarnya tidak begitu tepat,
karena apa sebenarnya yang bisa kita capai, selain bahwa itu
semua semata karena kemurahan Allah? Kita, dengan kata lain,
tak pernah mencapai apa-apa. Bahkan proses "mystical union"
itu sendiri (curigo manjing warongko, warongko manjing
curiga, gambaran mengenai keris yang menyatu ke dalam
rangkanya --atau jumbuhing kawulo Gusti), sebenarnya juga
bukan sebuah achievement, melainkan hadiah dari Yang Maha
Murah.
Etika seperti ini hanya berarti untuk sekali lagi
mengingatkan bahwa status kita sebagai hamba sebenarnya
lemah, tak berdaya, seperti tercermin dalam prinsip Jawa:
kita ini bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan tak bisa
apa-apa. Serupa dengan la khawla wala quata illa billah itu.
Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam
bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buono IV,
terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana
usaha menuju kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup) dan
mendekat Yang Moho Widi (Allah Yang Maha Kuasa) bisa
dicapai. Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur:
Pada gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesti
pesunen sarira nira
sudanen dhahar lan guling
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati
agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda.
Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan
serta tidur).
Di dalam dunia tarekat pun "laku" batin seperti ini juga
ada. Praktek "riadloh" (intinya latihan untuk hidup lebih
prihatin, berupa mengurangi tidur, mengurangi makan, atau
puasa, dan hanya makan umbi-umbian saat berbuka), merupakan
bagian dari corak perjalanan batin yang panjang, yang harus
ditempuh seorang murid yang menempuh jalan sufi
Jalalluddin Rumi, seperti diterjemahkan Taufiq Ismail,
menggambarkan kemurahan Allah dalam sajaknya yang bagus.
Intinya, Nabi Musa mendengar seorang gembala yang berdoa,
menanyakan di mana Ia (Allah) tinggal. Ia (si gembala) itu
ingin menjadi kacung-Nya. Ia ingin membersihkan sandal-Nya,
serta menyisir rambut-Nya.
Mendengar doa itu Musa marah. Anak itu dianggap tidak sopan.
Kata-kata seperti itu dianggap tidak layak untuk diucapkan
pada Allah. Dan anak itu -yang merasa sangat malu-- lari
pontang-panting dan menyobek-nyobek bajunya. Kabur dia.
Allah menegur Musa. Nabi itu, yang tugasnya --seperti
nabi-nabi lain-- mendekatkan hamba-hamba pada Allah, justru
telah menjauhkan mereka dari-Nya.
Aku tidak perlu puji-puji itu, kata Allah
Karena Aku terlampau tinggi
Hati yang mengucapkannya itu yang perlu
Aku tidak perlu kata-kata indah
Aku perlu hati penuh perasaan
Macam-macam cara manusia
Menunjukkan cara pengabdian mereka padaKu
Asal pengabdian itu tulus dan ikilas
Aku terima
Aku terima ...
Saya terpesona membaca sajak itu. Saya merasa dihadapkan
pada kenyataan bahwa mungkin saja gambaran kita tentang
Allah selama ini keliru belaka. Bahwa bahkan seorang nabi
pun bisa salah persepsi seperti itu, jelas akan lebih
mempertegas betapa lebih besar kemungkinan salah kita
menilai hakikat Allah.
Rumi dan juga Taufiq Ismail, yang menerjemahkannya, bukan
sekadar penulis dan penerjemah yang bisa secara obyektif
bicara mengenai kesufian. Mereka, lebih dari itu, juga
orang-orang yang mencoba sendiri mengalami hidup seperti itu
secara intens, dan sungguh-sungguh. Sajak ini, dengan kata
lain, bukan sekadar cerminan kemampuan intelektual sang
penulis, melainkan juga potret pergulatan batin mereka.
Jarang para da'i (guru dakwah) mampu menggugah rasa haru dan
menggebrak kesadaran kita seperti itu. Dalam hidup
keseharian kita, cara orang menyampaikan ajaran agama
kelewat normatif, dipagari patokan-patokan yang kaku dan
seolah tak ada kompromi, tak ada alternatif. Tafsir tentang
ajaran seolah menjadi sesuatu yang pasti.
Tapi ungkapan seorang penyair yang sudah jauh menyelam ke
dasar samodra hakikat, mampu mengantarkan kita pada
kesadaran bahwa inti dari segala inti pemujaan bukan
keindahan ornamen dan segenap saji-sajian, bukan pula warna
jubah serta surban dan jilbab yang rapat. Pujian kita akan
sampai jika kita sertai dengan ketulusan. Ikhlas dan tulus
merupakan "pesawat" paling canggih yang mengantarkan kita ke
singgasana Sang Raja Diraja.
Barangkali hal ini juga bisa menjadi ilustrasi betapa
manusia tak dibedakan dari sudut pandai-bodohnya,
kaya-miskinnya, tinggi-rendah status sosialnya, melainkan
pada tingkat iman dan ketulusan cintanya pada pusat samodra
Yang Maha Kasih itu.
Sajak ini merupakan bagian dari pergulatan spiritual Rumi,
penyair sufi kita, yang gigih mencari makna lebih hakiki
dalam pola penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya. Dari
sajak Rumi ini kita jadi tahu bahwa sebenarnya Tuhan tidak
galak sebagaimana gambaran yang kita peroleh dari ceramah
dan khotbah-khotbah di sekitar kita selama ini. Tuhan,
dengan kata lain, juga mesem, penuh pengertian, penuh
Kebapakan dalam memahami keterbatasan para hamba-hambaNya.
Pencarian hakikat seperti ini nampaknya terus berlangsung
dari zaman ke zaman. Para penyair memang berhadapan dengan
kesulitan dan sejumlah keterbatasan yang khas milik zaman
mereka. Penyair biasa mungkin sudah larut diterpa ombak
zaman, dan koit karenanya. Artinya, mungkin mereka berkarya
ala kadarnya. Tapi mereka yang memiliki kecenderungan
melawan tantangan dan bosan terhadap hal-hal yang cuma biasa
saja dalam hidup keseharian kita akan terus menyelam dan
menyelam dalam untuk keluar dengan renungan yang tidak
biasa.
Sejak dekade 1970-an kita bahkan menyaksikan sejenis
gelombang kesungguhan pada sejumlah penyair untuk tidak
sekadar menampilkan karya-karya yang sufistik sifatnya,
melainkan juga serius belajar (dan mungkin juga menempuh
laku batin) kesufian itu sendiri. Tokoh seperti Al Mukarom
Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, Mas Danarto, Sutardji
Calzeum Bachri, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Hamid Jabar, dan
lain-lain, bisa disebut sebagai sedikit contoh. Selain
Rabiah Al Adawiah, Bima dan mungkin juga Rendra, Emha
nampaknya masuk ke dalam deretan orang-orang yang sudah
"sampai", sudah "menemukan" dalam pencariannya. Buktinya ia
sering mengaku bahwa jika ia selesai mengerjakan sesuatu,
pada hakikatnya bukan dia yang mengerjakan. Ia hanya
lantaran.
-----------------------
KANG SEJO MELIHAT TUHAN
Mohammad Sobary
GM 204 93.692
Cetakan ketiga: Juli 1995
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Jln. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |