Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SALEH DAN MALU
 
Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh.  Ketiganya
tinggal  di  daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis
mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.
 
Saleh pertama di Klender, orang  Betawi  campuran  Arab.  Ia
saleh,  semata  karena  namanya. Orang menyukainya karena ia
aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
 
Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak  aneh
memang,  Habib  Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam
arti sebenarnya. Minimal kata  para  anggota  jamaah  masjid
kampung itu.
 
Jenggotnya  panjang.  Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu
juga  sarung  plekat  abu-abu  itu.  Tutur  katanya  lembut,
seperti  Mas Danarto. Ia cekatan memberi senyum kepada orang
lain. Alasannya: "senyum itu sedekah".
 
Kepada  anak  kecil,  ia  sayang.  Hobinya  mengusap  kepala
bocah-bocah  yang  selalu  berisik  pada  saat  salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak  lagi
bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala
diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka  khusus  dilahirkan
buat bikin ribut di masjid.
 
"Ramai  itu  baik  saja," katanya sabar, (ketika orang-orang
lain pada marah), "karena ramai  tanda  kehidupan,"  katanya
lagi.  "Lagi  pula,  kita  harus  bisa  salat  khusyuk dalam
keramaian itu."
 
Mungkin ia benar. Buktinya  ia  betah  berjam-jam  zikir  di
masjid.  Sering  salatnya  sambung-menyambung tanpa terputus
kegiatan lain. Selesai  magrib,  ia  tetap  berzikir  sambil
kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.
 
Jauh  malam,  ketika  semua  orang  masih  lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat  malam.  Kemudian  zikir
panjang sampai subuh tiba.
 
Selesai  subuh,  ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan  sampai  terbit  matahari,  ketika
salat  duha  kemudian  ia  lakukan.  Pendeknya,  ia penghuni
masjid.
 
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia  tidur  sekitar  dua
jam.  Kemudian,  selesai  salat  duha,  tidur lagi satu jam.
Selebihnya  zikir,  zikir,  zikir....   Pas   betul   dengan
nama-nama  yang  disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib
(nama sufi besar), ditambah Farisi  (salah  seorang  sahabat
Nabi).
 
Kalau  kita  sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita
sulit menemui orang Jawa  ini  karena  ibadahnya  di  masjid
begitu padat.
 
Para  tetangga  menaruh  hormat  padanya.  Banyak  pula yang
menjadikannya semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan.
Ada  dua  macam  cacat  utamanya. Pertama, kalau dalam salat
jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua,  kalau
orang  tak  sering "sowan" ke rumahnya, ia tidak suka karena
ia menganggap  orang  itu  telah  mengingkari  eksistensinya
sebagai orang yang ada di "depan".
 
"Apakah  ia  dengan  demikian  aktif  di masjid karena ingin
menjadi tokoh?" Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
 
Pernah  saya  berdialog  dengannya,  setelah  begitu   gigih
menanti  zikirnya  yang  panjang  itu  selesai. Saya katakan
bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir
di  masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya
akan punya waktu macam itu.
 
"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
 
"Maksud Pak Haji?"
 
"Memangnya kita tahu berapa  panjang  usia  kita?  Memangnya
kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
 
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
 
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan
seluruh  waktu  kita.  Mengapa  kita  keberatan  menggunakan
beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
 
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia."
 
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya
ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
 
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh.  Tapi
kalau  saya  takut,  sebabnya  kira-kira  karena  ia terlalu
menggarisbawahi "ancaman".
 
Saya membandingkannya dengan orang  saleh  ketiga.  Ia  juga
haji,  pedagang  kecil,  petani  kecil,  dan  imam di sebuah
masjid kecil. Namanya  bukan  Saleh  melainkan  Sanip.  Haji
Sanip, orang Betawi asli.
 
Meskipun  ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita
bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa
salatnya  sebentar,  dan  doanya  begitu pendek, cuma melulu
istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin  minta
aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.
 
"Bukankah  Allah  sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah
Ia berjanji akan mengabulkannya?"
 
"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang,
dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah  memberi.
Allah  memang  mahapemberi, termasuk memberi kita rasa malu.
Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak  kita
gunakan?" katanya lagi.
 
Bergetar  saya.  Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari
itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan  orang-orang
suci  --langsung  di  bawah  komando  Allah-- seperti serentak
mengamini ucapan orang Betawi ini.
 
"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah
kekayaan,  tambahan  rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka
pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian  di  kantor  kita.
Allah  kita  puji-puji  karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak
tahu  malu.  Allah  kita  sembah, lalu kita perah rezeki dan
berkah-Nya, bukannya kita sembah karena  kita  memang  harus
menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.
 
Napas  saya  sesak.  Saya  tatap  wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin,  di  wajah  yang  mulai  menampakkan
tanda  ketuaan  itu  terpancar  ketulusan iman. Kepada saya,
Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin.  Tampak  di
sana,   wajah  saya  retak-retak.  Saya  malu  melihat  diri
sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama  ini,  tapi
betapa  sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu,
ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.
 
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 16 Maret 1991

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team