| |
|
TELEPON Di kamar Kiai Nadjib telepon berdering. Kiai tua yang terkenal itu buru-buru mengangkatnya. "Halo," sahut kiai. "Assalamu 'alaikum Kiai," suara di seberang sana, yang kenal baik dengan suara Kiai Nadjib. "Wa'alaikum salam ...," sahut Kiai Nadjib "Wah, saya senang mendengar ceramah Kiai tadi." "Alhamdulillah," sahut kiai. "Anda siapa, kalau boleh tahu?" "Salah seorang jemaah, Kiai." "Alhamdulillah." Kiai Nadjib baru saja pulang. Sejam yang lalu ia memberikan ceramah di depan gabungan berbagai organisasi pemuda di Kebayoran. Anak-anak muda yang bergairah menyerap ajarannya, umumnya terpesona. Mereka menyimak. Sesekali tepuk tangan terdengar. Ceramah kiai mengena di hati. Ia membahas makna ayat "Orang yang Berselimut". Teks dibahas sesuai dengan konteks zaman. Jarang, memang, kiai yang membahas ayat itu dengan cara Kiai Nadjib tadi. Umumnya, tiap bahasan dikaitkan cuma dengan situasi di zaman Nabi, yang sudah lama lalu itu. Kiai Nadjib memberi interpretasi bebas, berani, dan pas dengan konteks zaman ini. Itu sebabnya anak-anak muda kagum atas ketangkasan interpretasinya. Bagi Kiai Nadjib, selimut itu memang sesuatu yang menyenangkan. Selimut membuat orang merasa hangat. Mereka yang memperoleh kehangatan, umumnya lelap tidur. Diam, tenteram, nyaman. Ringkasnya, bungkam seribu bahasa. Tapi, ini baru salah satu sisi dari interpretasinya tentang selimut. Sisi lain: selimut itu bisa menelikung Bisa membuat sulit bergerak. Bisa membikin gerah. Bisa membikin tak berdaya. Maka, perintah: "Wahai orang yang berselimut, bangkitlah...," baginya tak lain dari perintah agar kita membebaskan diri dari selimut yang membikin kita sumpek itu. Kita sumpek secara ekonomi (karena kaki dan tangan ekonomi kita "terserimpung"). Kita amat gerah secara politik, karena dari segenap penjuru kita telah terkurung dan kemampuan kita berpolitik lumpuh. Kaum muda bungkem, kaum tua membisu, karena --sebagian-- ditutupi selimut hangat, dan sebagian karena terserimpung selimut yang menyesakkan. Dan kita pun sumpek secara kultural, karena kita tak berdaya membuka selimut. Dalam dunia kultural, selimut pun menyesakkan. Sampai dunia ide-ide pun tak lagi menjadi milik kita. "Maka, bangkitlah wahai siapa saja termasuk kamu, anak-anak muda yang merasa tertutup selimut ...," teriak kiai kita di depan corong. Anak-anak itu pun marem. Ceramah itu mereka rasakan sebagai corak pencerahan. Ceramah seperti itu, dari siapa pun datangnya, mereka anggap sejenis pembebasan. Ada rasa lega. Ada tugas yang terasa terwakili. Ada beban yang setidaknya telah terucapkan. Dan, secara psikologis, mereka merasa "plong". Dan kiai pun pulang. Dan telepon tadi berdering. Pembicaraan telepon itu kemudian berlanjut. "Saya senang atas interpretasi Kiai," suara di seberang sana lagi. "Alhamdulillah," sahut kiai. "Tapi Kiai, sebaiknya kalau lain kali bicara selimut, ya selimut saja. Tak usah disimbolkan macam-macam." "O, begitu." "Kita ngaji ya ngaji sajalah Kiai. Soal politik biar pihak lain yang membahas." "O, begitu." "Pendeknya, Kiai tak usah ikut politik-politikanlah. Bina saja anak-anak muda itu dengan rohani yang baik." "Lho, Anda ini siapa?" tanya kiai heran. "Saya salah seorang jamaah, Kiai. Seperti saya sebutkan tadi." Kiai Betawi yang cerdas ini tersenyum dalam hati. "Pakai selimut juga gua akhirnya ...," pikirnya getir. Telepon ditaruh. Sebagai hasil teknologi, kedudukan telepon itu netral. Artinya, ia bisa mendatangkan manfaat, tetapi bisa juga menjadi "barang keparat". Ketika telepon berfungsi sekadar "sebagaimana mestinya", yakni alat komunikasi, sebagai pengantar pesan, ia menimbulkan manfaat. Sebaliknya, ketika telepon berperan sebagai alat menyampaikan perintah-perintah dan sejumlah larangan ini dan itu, telepon merupakan barang keparat yang layak disesali kehadirannya. Di dalam dunia pers umpamanya, pesan telepon sering memiliki konotasi tersendiri. Jika sebuah kejadian sensitif -- dan kita memiliki amat banyak kejadian dengan kategori "sensitif" seperti ini-- tak dibenarkan untuk diberitakan, "permohonan" untuk tak diberitakan itu cukup disampaikan lewat telepon. Dan pemimpin redaksi pun segera mafhum bahwa ia tak bisa bertindak bebas sebagaimana arti kata itu. Pemimpin redaksi pun punya selimut. Dan ia lalu sadar, pers Pancasila tidak sama dengan pers yang bukan Pancasila. Kita mengenal logika kebebasan pers sendiri: bebas bertanggung jawab. Sebuah media yang tak memahami persoalan ini boleh terus bermimpi tentang segala yang ideal. Tetapi dengan cara itu ia sebenarnya hanya berusaha memencilkan dirinya sendiri. Ia hanya menempatkan dirinya dalam alam indah yang tak ada dalam realita. Jika kemampuan kompromi tak ada padanya, mungkin ia bahkan akan segera tutup kios. Kelangsungan hidup pers kita sebagian besar memang ditentukan oleh kemampuan pemilik dan pengelolanya untuk tahu dan terampil membaca situasi. Sadar bahwa sensor dari dunia lain yang bukan pers bisa setiap saat terjadi, sebagai pribadi yang sudah matang, sudah dewasa, mereka selalu mampu melakukan self-sensorship. Jargon dakwah: "Sembahyanglah sebelum kau disembahyangkan", dalam versi lain berlaku juga di dunia pers: "sensorlah dirimu baik-baik sebelum kepadamu dikenakan sensor yang mungkin akan lebih pedih rasanya". Self-sensorship di kita, jadinya tak hanya menunjukkan arti "kebebasan yang bertanggung jawab" melainkan juga cermin "kepahlawanan" yang tumbuh dari bawah. Artinya tidak direkayasa, tidak diberi petunjuk dan tidak pula repot-repot diatur di dalam sebuah undang-undang. Selfsensorship adalah partisipasi. Bahwa partisipasi itu mungkin muncul karena ketakutannya sendiri, itu soal lain. Salah sendiri tidak ada yang menakut-nakuti kok takut. Tapi sungguh, ini adalah cermin rasa tanggung jawab dari pihak pers terhadap stabilitas nasional. Kesempatan bersaing terbuka luas antara pers bebas (maksudnya pers swasta) dan pers yang dimiliki pemerintah, dan sepenuhnya sadar bahwa ia memanggul tugas menyuarakan kepentingan pemerintah. "Perlombaan" ini menggairahkan, hingga tak jarang sebuah perusahaan pers swasta nampak lebih jinak dibanding pers pemerintah. Lebih-lebih ketika pers berkembang menjadi semakin besar, dan semakin kuat. Ketika pertimbangan bisnis nampak lebih utama, rasa ketergantungan pers terhadap pemerintah juga menjadi semakin besar. Orang bilang bahwa pers merupakan institusi yang dibutuhkan oleh pemerintah. Institusi itu, dengan kata lain, harus ada. Pemerintah tanpa pers akan menjadi sebuah rumah yang kehilangan sebuah tiangnya. Pers sebenarnya sebuah jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah, dengan kata lain, memerlukan pers. Pesan-pesan pembangunan disampaikan pemerintah kepada masyarakat lewat pers. Hal-hal yang menguntungkan pemerintah disampaikan kepada masyarakat juga lewat pers. Sebaliknya, aspirasi dan kritik terhadap pembangunan, misalnya, juga disampaikan masyarakat lewat pers. Secara teoretis pers bisa menjadi alat "mendewasakan", baik masyarakat maupun pemerintah. Namun, dalam situasi di mana komunikasi tak seimbang, ada pihak lebih kuat ada pihak lebih lemah, otomatis ada yang harus kalah, atau mengalah. Dan pesan telepon untuk pemimpin redaksi agar ini atau itu tak usah dimuat, merupakan sebuah "saran" yang "konstruktif". Terhadap hal-hal konstruktif seperti itu, yang tujuannya memelihara stabilitas nasional, dus buat kepentingan "segenap pihak", mengapa tak dituruti? --------------- Mohammad Sobary, Matra/Edisi Khusus III/Agustus 1992 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |