Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TELEPON
 
Di kamar  Kiai  Nadjib  telepon  berdering.  Kiai  tua  yang
terkenal itu buru-buru mengangkatnya.
 
"Halo," sahut kiai.
 
"Assalamu 'alaikum Kiai," suara di seberang sana, yang kenal
baik dengan suara Kiai Nadjib.
 
"Wa'alaikum salam ...," sahut Kiai Nadjib
 
"Wah, saya senang mendengar ceramah Kiai tadi."
 
"Alhamdulillah," sahut kiai. "Anda siapa, kalau boleh tahu?"
 
"Salah seorang jemaah, Kiai."
 
"Alhamdulillah."
 
Kiai Nadjib baru saja pulang. Sejam yang lalu ia  memberikan
ceramah  di  depan  gabungan  berbagai  organisasi pemuda di
Kebayoran. Anak-anak muda yang bergairah menyerap ajarannya,
umumnya  terpesona.  Mereka  menyimak. Sesekali tepuk tangan
terdengar. Ceramah kiai mengena di hati. Ia  membahas  makna
ayat "Orang yang Berselimut".
 
Teks  dibahas  sesuai  dengan konteks zaman. Jarang, memang,
kiai yang membahas ayat itu dengan cara  Kiai  Nadjib  tadi.
Umumnya, tiap bahasan dikaitkan cuma dengan situasi di zaman
Nabi,  yang  sudah  lama  lalu  itu.  Kiai  Nadjib   memberi
interpretasi  bebas,  berani,  dan  pas dengan konteks zaman
ini. Itu sebabnya  anak-anak  muda  kagum  atas  ketangkasan
interpretasinya.
 
Bagi   Kiai   Nadjib,   selimut   itu  memang  sesuatu  yang
menyenangkan. Selimut membuat orang  merasa  hangat.  Mereka
yang  memperoleh  kehangatan,  umumnya  lelap  tidur.  Diam,
tenteram, nyaman. Ringkasnya, bungkam seribu  bahasa.  Tapi,
ini  baru  salah  satu  sisi  dari  interpretasinya  tentang
selimut. Sisi lain: selimut itu bisa menelikung Bisa membuat
sulit  bergerak.  Bisa  membikin  gerah.  Bisa  membikin tak
berdaya.
 
Maka,    perintah:    "Wahai    orang    yang    berselimut,
bangkitlah...,"  baginya  tak  lain  dari perintah agar kita
membebaskan diri dari selimut yang membikin kita sumpek itu.
Kita  sumpek  secara ekonomi (karena kaki dan tangan ekonomi
kita "terserimpung"). Kita amat gerah secara politik, karena
dari segenap penjuru kita telah terkurung dan kemampuan kita
berpolitik lumpuh.
 
Kaum muda  bungkem,  kaum  tua  membisu,  karena  --sebagian--
ditutupi  selimut  hangat,  dan sebagian karena terserimpung
selimut  yang  menyesakkan.  Dan  kita  pun  sumpek   secara
kultural,  karena  kita  tak  berdaya membuka selimut. Dalam
dunia  kultural,  selimut  pun  menyesakkan.  Sampai   dunia
ide-ide pun tak lagi menjadi milik kita.
 
"Maka,  bangkitlah wahai siapa saja termasuk kamu, anak-anak
muda yang merasa tertutup selimut ...," teriak kiai kita  di
depan corong.
 
Anak-anak  itu pun marem. Ceramah itu mereka rasakan sebagai
corak  pencerahan.  Ceramah  seperti  itu,  dari  siapa  pun
datangnya,  mereka anggap sejenis pembebasan. Ada rasa lega.
Ada tugas yang terasa terwakili. Ada beban  yang  setidaknya
telah  terucapkan.  Dan,  secara  psikologis,  mereka merasa
"plong".
 
Dan kiai pun pulang. Dan telepon tadi berdering. Pembicaraan
telepon itu kemudian berlanjut.
 
"Saya senang atas interpretasi Kiai," suara di seberang sana
lagi.
 
"Alhamdulillah," sahut kiai.
 
"Tapi Kiai, sebaiknya kalau lain  kali  bicara  selimut,  ya
selimut saja. Tak usah disimbolkan macam-macam."
 
"O, begitu."
 
"Kita  ngaji  ya ngaji sajalah Kiai. Soal politik biar pihak
lain yang membahas."
 
"O, begitu."
 
"Pendeknya, Kiai tak usah  ikut  politik-politikanlah.  Bina
saja anak-anak muda itu dengan rohani yang baik."
 
"Lho, Anda ini siapa?" tanya kiai heran.
 
"Saya  salah  seorang  jamaah,  Kiai.  Seperti saya sebutkan
tadi."
 
Kiai Betawi yang cerdas ini  tersenyum  dalam  hati.  "Pakai
selimut  juga  gua  akhirnya  ...,"  pikirnya getir. Telepon
ditaruh.
 
Sebagai  hasil  teknologi,  kedudukan  telepon  itu  netral.
Artinya,  ia  bisa  mendatangkan  manfaat,  tetapi bisa juga
menjadi "barang keparat". Ketika telepon  berfungsi  sekadar
"sebagaimana   mestinya",  yakni  alat  komunikasi,  sebagai
pengantar pesan, ia menimbulkan manfaat. Sebaliknya,  ketika
telepon berperan sebagai alat menyampaikan perintah-perintah
dan sejumlah larangan ini dan itu, telepon merupakan  barang
keparat yang layak disesali kehadirannya.
 
Di dalam dunia pers umpamanya, pesan telepon sering memiliki
konotasi tersendiri. Jika sebuah  kejadian  sensitif  --  dan
kita   memiliki   amat   banyak   kejadian  dengan  kategori
"sensitif" seperti ini-- tak  dibenarkan  untuk  diberitakan,
"permohonan"  untuk  tak  diberitakan  itu cukup disampaikan
lewat telepon. Dan pemimpin redaksi pun segera mafhum  bahwa
ia  tak  bisa  bertindak  bebas  sebagaimana  arti kata itu.
Pemimpin redaksi pun punya selimut.
 
Dan ia lalu sadar, pers Pancasila  tidak  sama  dengan  pers
yang  bukan  Pancasila.  Kita mengenal logika kebebasan pers
sendiri: bebas bertanggung jawab.
 
Sebuah media yang tak memahami  persoalan  ini  boleh  terus
bermimpi  tentang  segala yang ideal. Tetapi dengan cara itu
ia sebenarnya hanya berusaha memencilkan dirinya sendiri. Ia
hanya  menempatkan  dirinya  dalam  alam  indah yang tak ada
dalam realita. Jika  kemampuan  kompromi  tak  ada  padanya,
mungkin ia bahkan akan segera tutup kios.
 
Kelangsungan   hidup   pers   kita   sebagian  besar  memang
ditentukan oleh kemampuan  pemilik  dan  pengelolanya  untuk
tahu  dan  terampil membaca situasi. Sadar bahwa sensor dari
dunia lain yang bukan pers bisa setiap saat terjadi, sebagai
pribadi yang sudah matang, sudah dewasa, mereka selalu mampu
melakukan self-sensorship.
 
Jargon dakwah: "Sembahyanglah sebelum kau  disembahyangkan",
dalam  versi  lain  berlaku  juga  di dunia pers: "sensorlah
dirimu baik-baik  sebelum  kepadamu  dikenakan  sensor  yang
mungkin akan lebih pedih rasanya".
 
Self-sensorship  di kita, jadinya tak hanya menunjukkan arti
"kebebasan yang bertanggung  jawab"  melainkan  juga  cermin
"kepahlawanan"   yang   tumbuh  dari  bawah.  Artinya  tidak
direkayasa, tidak diberi petunjuk dan tidak pula repot-repot
diatur  di dalam sebuah undang-undang. Selfsensorship adalah
partisipasi. Bahwa partisipasi  itu  mungkin  muncul  karena
ketakutannya sendiri, itu soal lain. Salah sendiri tidak ada
yang menakut-nakuti kok takut.
 
Tapi sungguh, ini adalah cermin  rasa  tanggung  jawab  dari
pihak pers terhadap stabilitas nasional.
 
Kesempatan   bersaing   terbuka   luas   antara  pers  bebas
(maksudnya pers swasta) dan pers yang  dimiliki  pemerintah,
dan  sepenuhnya  sadar  bahwa ia memanggul tugas menyuarakan
kepentingan  pemerintah.  "Perlombaan"  ini   menggairahkan,
hingga tak jarang sebuah perusahaan pers swasta nampak lebih
jinak dibanding pers pemerintah.
 
Lebih-lebih ketika pers berkembang  menjadi  semakin  besar,
dan  semakin  kuat.  Ketika pertimbangan bisnis nampak lebih
utama, rasa ketergantungan  pers  terhadap  pemerintah  juga
menjadi semakin besar.
 
Orang  bilang bahwa pers merupakan institusi yang dibutuhkan
oleh pemerintah. Institusi itu, dengan kata lain, harus ada.
Pemerintah   tanpa  pers  akan  menjadi  sebuah  rumah  yang
kehilangan sebuah tiangnya.
 
Pers   sebenarnya   sebuah   jembatan   yang   menghubungkan
pemerintah  dengan masyarakat. Pemerintah, dengan kata lain,
memerlukan   pers.   Pesan-pesan   pembangunan   disampaikan
pemerintah   kepada  masyarakat  lewat  pers.  Hal-hal  yang
menguntungkan pemerintah disampaikan kepada masyarakat  juga
lewat pers.
 
Sebaliknya,   aspirasi   dan  kritik  terhadap  pembangunan,
misalnya, juga disampaikan  masyarakat  lewat  pers.  Secara
teoretis   pers   bisa  menjadi  alat  "mendewasakan",  baik
masyarakat maupun pemerintah. Namun, dalam situasi  di  mana
komunikasi  tak  seimbang,  ada  pihak  lebih kuat ada pihak
lebih lemah, otomatis ada yang harus kalah, atau mengalah.
 
Dan pesan telepon untuk pemimpin redaksi agar ini  atau  itu
tak    usah    dimuat,   merupakan   sebuah   "saran"   yang
"konstruktif". Terhadap  hal-hal  konstruktif  seperti  itu,
yang  tujuannya  memelihara  stabilitas  nasional,  dus buat
kepentingan "segenap pihak", mengapa tak dituruti?
 
---------------
Mohammad Sobary, Matra/Edisi Khusus III/Agustus 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team