Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TUHAN TERSENYUM
 
Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.
 
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya  temukan  dua  hal  itu.  Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian  saya
masih  randah,  kata  orang  Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.
 
Di  tahun  1978,  seorang  khatib  melucu   di   masjid   UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi  melek  penuh.  Mereka  menyimak  pesan  Jumat,  sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
 
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."
 
Vonis jatuh.  Marah  khatib  kita  ini.  Dan  saya  mencatat
"tambahan"  larangan  satu  lagi.  Sebelum  itu  demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib".  Senat  dan  Dewan
dibekukan.  Milik  mahasiswa  yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
 
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran.  Maka,
saya  khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak  sopan.  Buat  jemaah  yang
suka  menguap  macam  saya,  karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
 
Saya dengar Komar  dikritik  banyak  pihak.  Soalnya,  dalam
ceramah  agamanya  ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di  kampungnya,  banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
 
"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.
 
"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
 
Wah  ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.
 
Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya  marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi  dubi,  tidak  boleh.  Khotbah  lucu,
jangan.  Lho?  Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa  cantelan  dan
aman,  apa  bukan  "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?
 
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang  Bung
Karno.  Dalam  humor,  saya  cukup  di  belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.
 
Di  Universitas  Monash  saya  temukan striker: "Jangan bawa
organmu  ke  surga.  Orang  surga  sudah  tahu  kita   lebih
memerlukannya  di  sini".  Imbauan  ini  bukan  dari Gereja,
melainkan  dari  koperasi  kredit.  Intinya:   kita   diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
 
Ini  pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia  menyembah  tanpa  pamrih.
Tapi  di  usia  ke-70  ia  punya  kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma  diam.  Kakek  kecewa.  Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.
 
Bukan   urusan  dia  bila  masalah  kemudian  timbul,  sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
 
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"
 
Allah  senyum.  "Betul,"  jawabnya,  "Tapi  kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu  apa
bedanya Aku dengan patung?"
 
Siang  malam  aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.
 
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 27 Oktober 1990

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team