Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

WANODYA
 
Bagaimanakah persisnya gambaran kita tentang wanita? Seperti
Shinta  yang setia, tabah, dan sabar menahan derita? Seperti
Srikandi yang kenes, tangkas,  dan  cenderung  tregal-tregel
ning  ora  mbebayani  (agak sembrono tapi tak membahayakan)?
Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan Soekarno?
 
Dunia  berputar.  Dan  di  dalamnya,  wanita  pun   berubah.
Soekarno  salah  dalam  satu hal: wanita tak lagi dikungkung
seperti  dulu.  Sudah  umum  sekarang  bahwa  wanita   punya
kebebasan  seperti  pria.  Artinya,  wanita  juga bekerja di
berbagai  sektor,  tempat  laki-laki  bisa   bekerja.   Dan,
akibatnya,  wanita  pun  tak lagi bergantung sepenuhnya pada
pria.  Toko  dan  warung  di  daerah  pedesaan  banyak  yang
berkembang di bawah kendali wanita.
 
Tak  jarang  wanita menjadi kepala keluarga. Juga tak jarang
terjadi, laki-laki --yang memegang  warisan  tradisi  sebagai
pelindung keluarga itu-- dalam praktek justru dilindungi sang
wanita. Dan banyak laki-laki tidak merasa malu.
 
Tapi secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran
wanita  masih  kurang.  Persepsi  kultural  kita masih tetap
menjadikan wanita  "korban".  Misalnya,  betapapun  jelasnya
kontribusi  ekonomi  kaum  wanita bagi keluarga, diakui umum
bahwa pekerjaan wanita  --seperti  disebut  dalam  penelitian
Celia  E.  Mather  mengenai  wanita  pekerja  di  Tangerang--
dianggap  cuma  "daripada  menganggur".  Kecuali  itu,   ada
anggapan  (tentu saja di kalangan pria) yang bersifat gender
specific bahwa jenis pekerjaan tertentu tak layak dikerjakan
pria, karena ia "cuma" pekerjaan wanita.
 
Diskriminasi  atas  wanita  terjadi  di rumah tangga atau di
pabrik.  Di  rumah,  seperti  dilaporkan  Diane  Wolf   dari
penelitiannya   tentang   wanita  pekerja  di  Jawa  Tengah,
kontribusi ekonomi wanita dianggap sekunder, cuma melengkapi
hasil pria. Di pabrik, kata Mather, mereka dibayar cuma tiga
perempat jumlah  gaji  pria,  biarpun  sering  mereka  harus
bekerja lebih keras dari lawan jenisnya itu.
 
Pendek  kata,  sampai  saat ini anggapan tradisional tentang
superioritas pria atas wanita  belum  tertumbangkan.  Benar,
wanita  "dimahkotai"  aneka sebutan: tiang masyarakat, surga
di bawah telapak kaki ibu, atau dilambangkan sebagai  bunga,
dan  diluhurkan  sebagai  ratu.  Gadis paling cantik di desa
disebut bunga desa. Dan di  kota-kota  gadis  cantik,  gadis
luwes, gadis tangkas, dijuluki dengan aneka ratu.
 
Kalau  dipikir-pikir,  perlakuan  istimewa  bagi anak wanita
dalam keluarga --misalnya anak wanita harus dijaga baik-baik--
ternyata diam-diam mengandung "muatan" kepentingan seks buat
laki-laki.  Artinya,  kalau  ke  mana  saja   anak   dijaga,
diharapkan  tetap "murni" dan itu nantinya biar menyenangkan
laki-laki (suaminya).
 
Di dunia wayang, tiap wanita muncul disambut dengan suluk ki
dalang:  Wanodya  ayu  tama  ngambar  arum.  Ngambar aruming
kusuma... (wanita cantik  memancarkan  harum  bunga).  Bunga
apa,  tidak  penting.  Tapi, melihat seorang wanodya (cewek)
cuma dari sudut kecantikannya, sungguh bisa bikin merah muka
kaum feminis.
 
Mereka  akan lebih marah melihat persepsi kultural Jawa atas
wanita: Wanita ateges wani ditata (namanya juga  wanita,  ia
harus  rela  diatur,  taat  pada  tatanan). Siapa yang bikin
tatanan? Mungkin ayah, mungkin suami. Dan  kita  tahu,  ayah
dan  suami  bukan  wanita,  tapi  laki-laki. Jadinya, wanita
harus taat, tunduk pada laki-laki.
 
Mengapa  begitu?  Soalnya,  wanita  itu  ibarat  awan   dadi
theklek,  bengine  ganti  dadi  lemek (siang menjadi bakiak,
malamnya naik pangkat menjadi alas untuk ditindih).
 
Dan siapa membaca Gadis  Pantai-nya  Pramudya  Ananta  Toer,
akan   jelas   betapa   rendah  status  wanita  di  kalangan
santri-priayi (Geertz akan pusing melihat kombinasi ini)  di
masyarakat   Jawa.  Di  kalangan  itu,  wanita  cuma  tempat
menumpahkan benih. Selebihnya babu atau budak.
 
Adalah juga orang Jawa yang menempatkan peran  wanita  dalam
formulasi   "3   ah"   sesuai   dengan  sebutan  traditional
gender-based ideology: yakni neng omah (di rumah), olah-olah
(memasak),  dan  mlumah,  ngablah-ablah  (maaf,  menelentang
seseksi  mungkin).  Maksudnya,  supaya  sinuwun  sang  suami
menjadi   sangat  berkenan  di  hati.  Posisi  wanita  dalam
persepsi Jawa cuma bergerak  antara  dua  kutub:  budak  dan
klangenan (barang, supaya tidak bilang hewan, piaraan).
 
Dalam  ketoprak  dan  wayang,  gambaran itu tidak menyimpang
secuil pun. Wanita yang mencoba mendekati pria karena  jatuh
cinta   disebut   ngunggah-unggahi   atau   suwita,  artinya
mengabdi. Dan, kelak, bila  sang  pria  tak  lagi  berkenan,
wanita rela saja diusir jauh-jauh.
 
Hubungan  kesederajatan  antara  pria dan wanita, pendeknya,
belum pernah ada. Gagasan wanita  ateges  wani  ditata,  dan
konsep  ngunggah-unggahi  atau  suwita  dan ejekan awan dadi
theklek,  bengi  dadi  lemek  jelas   menggambarkan   adanya
ideologi penindasan pria atas wanita.
 
Tapi  tampaknya,  di  bawah  penindasan itu wanita menemukan
juga sejenis kenikmatan. Mungkin karena  ada  sejenis  sifat
cenderung    "menyiksa"    diri,    mungkin    juga   karena
ketakberdayaan. Atau jangan-jangan  wanita-wanita  cenderung
jadi Shinta?
 
Mungkin bukan. Barangkali, wanita adalah sebuah piala cantik
yang retak: ia terombang-ambing antara  hasrat  untuk  tetap
dalam posisi "tradisional" di rumah sebagai wanodya ayu tama
yang "mengabdi" dan kecenderungan untuk menuntut kebebasan.
 
---------------
Mohammad Sobary, Tempo, 2 Mei 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team