Bersih Desa

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PARA tokoh desa sudah duduk bersila di atas panggung yang dibangun dengan atap tenda di bawah pohon besar yang tampak berwibawa dan memancarkan pesona magis. Di pohon besar itu --menurut kepercayaan setempat-- bersemayam danyang, pepunden, atau leluhur, atau roh penjaga desa. Dialah yang pada siang itu, dan malam nanti, ketika pertunjukan wayang kulit berlangsung, yang menjadi pusat perhatian seluruh penduduk desa.

Rombongan tamu --para priyayi Solo-- satu per satu menyusul dengan tertib ke panggung. Ada Sardono W. Kusumo, ada sejarawan Soedarmono, ada psikolog Yayah Kisbiyah, ada Taufik Rahzen, sejumlah aktivis LSM, para seniman, juga dosen-dosen, dan sejumlah wartawan. Saya pun hadir. Di sana saya orang asing. Minat saya besar untuk mengikuti upacara tradisional desa itu. Orang menyebut acara --yang diadakan tiap tahun sekali-- itu "bersih desa". Biarpun secara kultural saya sudah tercabut dari desa sejak kelas satu SMP, saya ingat di kampung saya acara itu tak ada.

Bacaan antropologi berjasa menyambungkan kembali saya dengan akar kebudayaan desa yang terputus tadi. Dan saya kira Ben Anderson dan Geertz, yang mengembalikan saya menjadi orang Jawa yang agak tahu tentang kebudayaan Jawa.

***

KARANGPANDAN, tempat upacara bersih desa itu berlangsung, terletak di lereng barat kaki Gunung Lawu. Udara masih terasa agak sejuk. Aroma pedesaan masih sangat kentara.

Hidangan untuk kami pun khas desa: gethuk (dari singkong) dan ubi goreng. Keduanya masih hangat. Juga teh manisnya. Sambil menikmati gethuk saya mengamati para warga desa, terutama perempuan, berdatangan membawa sesajen, ditaruh di bawah pohon besar itu. Sesajen terdiri dari nasi tumpeng dan nasi biasa, dengan aneka macam lauk-pauk. Ada pula sambal kerecek dan ayam goreng. Di kampung saya, ayam goreng macam itu dulu cuma bisa ditemui setahun sekali tiap ada hajatan penting.

Di bawah pohon itu sesajen berderet makin panjang dan makin bervariasi. Para antropolog memandang peristiwa itu sebagai momentum simbolik. Tetapi, bagi para pelakunya, peristiwa kebudayaan itu konkret. Dalam wawasan dan kesadaran kosmologi mereka, sesajen itu bentuk persembahan konkret. Makanan itu secara wadag memang dibawa pulang kembali dan menjadi berkah bagi semua anggota keluarga, atau siapa saja yang turut makan. Tetapi para pepunden atau danyang sudah menikmati inti sarinya.

Bagi para pelakunya, berkah itu pun bukan cuma artikulasi simbolik tetapi nyata. Mereka percaya setelah melakukan sesajen hidup lebih tenteram, lebih secure. Sebaliknya, bila upacara tak diadakan, gangguan-gangguan bisa muncul dan membikin hidup kehilangan unsur security-nya.

Peneliti asing tanpa keraguan sedikit pun menyebut peristiwa macam ini sebagai ekspresi keagamaan orang Jawa. Memang dalam kacamata antropologi, ini bagian sistem religi atau kepercayaan. Saya kira, lebih tepat jangan diterjemahkan menjadi agama. Ia bagian dari wujud kesadaran kosmologi yang jauh beda dibanding agama (tiga agama besar yang diturunkan Tuhan lewat malaikat untuk para nabi dan pengikut mereka, dan bagi manusia pada umumnya).

Dalam kesadaran kosmologi orang Jawa, lelembut, danyang, dan makhluk halus dianggap sesuatu yang "nyata". Mereka ada di sekitar kita. Mereka pun dianggap perlu "ruang" atau "akomodasi" dan hidup berdampingan dengan kita. Agar mereka tak mengganggu kita, maka diperlukan sejenis "traktat". Dan wujud "traktat" itu tampak dalam tradisi "bersih desa" tadi. Ini wacana kebudayaan yang hidup dan berkembang di desa. Bahkan mungkin otomatis menjadi salah satu elemen "roh" desa. Dia bagian dari kajian antropologi yang memikat.

Apa fungsi "bersih desa" sebagai "traktat" yang meliputi hidup warga desa-orang, manusia-dengan "lelembut" atau "danyang" tadi?

Saya kira fungsinya untuk mewujudkan harmoni, rukun, dan guyub antar tiap unsur di dalam power relations kedua belah pihak. Untuk apa? Jelas untuk mewujudkan gagasan "koeksistensi" damai antara semua aktor yang terlibat. "Koeksistensi" damai itu akan bertahan bila tiap pihak sadar bahwa mereka harus berbagi ruang "budaya" secara adil dan manusiawi.

Keadilan dalam pembagian ruang "budaya" itu menjadi peneguh kohesi sosial agar konflik tak terjadi. Sekali lagi cita-cita untuk harmoni, guyub, dan rukun tadi dengan begitu lalu terwujud. Si danyang tidak usil, tidak mengganggu, dan si manusia tak menyimpang dari keteraturan kosmologis yang namanya "tradisi bersih desa" tadi.

***

TRADISI yang hidup di tingkat lokal dan yang kelihatannya cuma kesibukan rutin biasa di desa, saya kira bisa memberi kita refleksi dan perenungan politik bagi kepentingan di luar kolektivitas desa bersangkutan. Apa yang cuma lokal itu diam-diam bisa menyumbang kepentingan lebih luas pada tingkat nasional? Apa sumbangan nasionalnya? Kita bisa menggagas dan menerapkan tradisi "bersih desa" menjadi --boleh saja-- "bersih nasional" atau "bersih negara".

Ajaran apa yang dari sana bisa diteladani dan dikembangkan di tingkat nasional saat ini? Mungkin, khususnya, semangat rukun, guyub, dan relasi harmonis antarsemua kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang sedang berserak-serak dan dalam situasi disintegrasi sosial ini. Kita bisa belajar dari desa prinsip berbagi ruang "budaya" secara adil. Kita bisa meniru orang desa untuk mewujudkan gagasan "koeksistensi damai" dengan semua kekuatan sosial, politik, dan budaya yang ada di tengah atau di sekitar kita.

Disintegrasi sosial dan aneka corak ketegangan, Insya Allah semoga otomatis teratasi oleh semangat koeksistensi damai tadi. Meneladani semangat ini saya tunjuk dengan, dan bukan bentuk lahiriahnya, karena saya kira akan banyak orang yang keberatan dari sudut agama. Tetapi, sekali lagi, hal ini urusan lain. Kita sedang bicara perkara kebudayaan dan bukan urusan agama. Maka, di bidang kebudayaan, bila dengan lelembut atau danyang saja orang desa mau berbagi ruang demi harmoni dan rukun, dan guyub, orang kota, tokoh-tokoh, yang pandai dan peduli pada masa depan bangsa, mengapa tak mungkin atau tak mau berjuang demi koeksistensi damai, demi harmoni, dan rukun bagi segenap kekuatan dalam masyarakat? Negara, saya kira, wajib bersih dari dengki, iri, dendam, dan keserakahan.

"Bersih desa" mungkin sebuah sukma kehidupan yang dengan sendirinya bisa merayap jauh ke tatanan "bersih negara.


Date: Sun, 9 May 1999 08:04:39 +0900
From: "drajad" <oein@ma3.seikyou.ne.jp>

 

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team