Hidup Syahid

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Seorang pluralis tidak lahir dengan sendirinya. Pluralis, sebagai sifat, maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang panjang, dan mungkin melelahkan.

Jadi, pluralis itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada pluralis yang bersifat become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus-menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terus-menerus agar bisa tetap konsisten.

Untuk menjadi pluralis, tak jarang diperlukan pengorbanan. Ia bisa dikucilkan teman-temannya sendiri, atau diejek, dibenci, dan secara kultural tak lagi dianggap sebagai anggota kelompok.

Sang pluralis juga bisa diancam hukuman mati oleh suatu pusat kekuasaan atau oleh orang-orang yang merasa mendapat limpahan kewenangan langsung dari Tuhan biarpun sebenarnya Tuhan tak pernah membisikkan apa pun kepadanya. Di mana-mana orang seperti itu kelihatannya selalu ada dan membuat orang lain takut atau cemas.

Bagi mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran, risiko seperti itu sudah mereka perhitungkan dan mereka antisipasi sebagai kemungkinan buruk yang bisa muncul. Mungkin, akhirnya ia tak takut akan ancaman hukuman mati karena ia tahu yang dihadapinya mati syahid, mati di jalan Tuhan. Di banyak kelompok, mati syahid dirindukan. Ini sebuah kematian agung.

Ke-syahid-an itu ”iming-iming” dan janji agama yang pasti. Mati syahid dijamin masuk surga, langsung tanpa ditanya-tanya lagi.

Mereka yang menganggap pihak lain serba salah itu pun memiliki klaim perjuangan membela agama. Dengan sendirinya mereka pun menggenggam ideologi mati syahid tadi. Mereka tak takut mati.

Dua pihak itu berhadapan satu sama lain. Masing-masing membela agama dan Tuhan. Masing-masing tak takut mati. Tetapi, jutaan orang cemas melihat kekerasan itu.

Relasi kekuasaan antar kelompok seperti ini mengerikan. Berjuta-juta manusia mendambakan ketenteraman hidup, tetapi para tokoh malah berbicara tentang mati. Berjuta-juta orang menanti lagu kehidupan, para tokoh malah menyanyikan lagu kematian.

Mereka lupa bahwa ke-syahid-an itu hadiah langit dan bukan sejenis gelar akademis yang bisa dicari. Orang akan mati syahid atau tidak bukan urusan manusia. Ke-syahid-an itu mahkota langit. Dan sepenuhnya merupakan rahasia langit.

Mati di jalan Tuhan, mati syahid, tak bisa direncana dan direkayasa manusia. Tetapi, hidup syahid merupakan kewajiban yang harus kita perjuangkan dengan gigih.

Kebudayaan kita lebih membutuhkan orang yang berani hidup syahid, yang mengasihi sesama, saling menolong, dan saling melindungi. Kemiskinan, dan orang-orang tak berdaya, sangat banyak jumlahnya, dan luar biasa mengenaskannya. Mengurus mereka merupakan panggilan keagamaan yang sangat sentral kedudukannya.

Hidup harus dipertahankan. Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemudian bicara hak-hak kelangitan.

Hidup yang belum jadi ini harus dibikin agak mendekati titik ”jadi”. Kita yang hari ini gigih sebagai pluralis dan sangat toleran belum tentu bebas dari cobaan.

Sebaliknya, mereka yang antisikap pluralis tak mustahil berubah menjadi pluralis sejati dan sangat toleran kepada pihak lain.

Banyak hal, banyak sifat dan watak, sikap, dan tingkah laku politik di masyarakat kita yang dipengaruhi atau bahkan ”dibentuk” oleh kepentingan politik dan duit. Sering kita hanya bersandiwara dan membohongi publik.

Banyak orang berteriak membela agama, padahal tujuannya mencari kemakmuran duniawi. Ada lembaga yang mewakili kepentingan rohani, tetapi merusak rohani dan kebersamaan yang nyaman dan alami.

Dari hari ke hari kita hanya melihat para tokoh bermain sandiwara yang buruk dan membosankan. Kita sibuk belajar berbohong.

Sejak dulu peradaban yang kita warisi memang seperti ini wajahnya. Sejak dulu mandat kemanusiaan kita pun jelas: kita diminta melukis atau mewarnai wajah buruk peradaban ini menjadi agak lebih cantik.

Maka, jika benar kita toleran, kita harus toleran bukan hanya kepada orang yang toleran, melainkan juga kepada orang yang tak pernah bersikap toleran sekalipun.

Selebihnya, kita tebarkan kebenaran ke mana-mana tanpa mengenal lelah dengan cara yang benar. Dan dengan kesabaran.

Inilah doktrin ke-syahid-an yang mengajarkan kita berani hidup syahid.


Artikel asli: Kompas, Minggu 14 Agustus 2005, Asal-usul

 

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team