Kenduri

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Desaku yang jauh, dan masa kecilku yang lama lewat, secara kejiwaan tak pernah jauh dan tak pernah lewat. Desa dan masa kecilku merupakan dua dunia yang rukun, saling mengisi, dan melengkapi. Keduanya masih kubawa-bawa sampai sekarang.

Desa dan masa kecilku diam-diam ternyata bukan milik masa lalu, melainkan justru merupakan masa depanku. Bukan sekadar mainan kata bila aku menyebutkan masa depanku, setidaknya sebagian, sudah tergelar di masa laluku.

Aku mengenang dengan kehangatan hati, kenduri demi kenduri, di mana para di desa berkumpul, untuk mengaminkan —memperkuat dengan dukungan doa— segenap cita-cita tetangga, yang kita anggap cita-cita "kita" juga karena tetangga bukan "mereka", melainkan "kita".

Tiap orang menjadi "kita". Kepala desa, siapa pun dia, apa pun agama dan aliran politiknya, dia itu "kita". Dan karena itu maka dia wajib didukung, kelemahannya ditutup, kekurangannya ditambah, aibnya jangan dibeberkan ke mana-mana karena bukankah aib kepala desa juga aib "kita"?

Kepala desa tak pernah digoyah-goyah. Perintahnya agar saluran air diperbaiki, "kita" taati. Larangannya agar pohon-pohon peneduh jalanan tak ditebang, kita hormati, bukan karena kepala desa keturunan dewa Matahari, melainkan karena dia itu "kita".

Di tiap habis masa panen, kita kenduri, dengan melibatkan seluruh warga desa, untuk memuji syukur, dan memohon keselamatan bagi desa dan seluruh penghuninya. Kemudian kita makan nasi kebuli, dengan sesuwir daging ayam, dan separuh telor rebus, dalam suasana rukun, penuh senda gurau antarsesama "kita". Di sana tak ada orang "lain".

Dalam tiap jenis kenduri di desa, makna kekitaan "kita" diperkukuh. Kesatuan sikap dan cita-cita bersama diteguhkan kembali. Dan bila ada —memang ada saja— keretakan kecil antara hati dengan hati, maka melalui kenduri persatuan diperketat. Dengan suapan nasi, bunyi dan isi doa, dan dengan salaman tangan yang tulus, yang retak itu ditambal dan menjadi utuh kembali.

Kenduri merupakan mekanisme sosial untuk merawat keutuhan, dengan cara memulihkan keretakan, dan meneguhkan kembali cita-cita bersama, sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan dari cita-cita bersama tadi. Kenduri sebagai suatu institusi sosial menampung dan merepresentasikan banyak kepentingan. Dan tiap "kita", di sana, menemukan rasa aman. Dalam kenduri tak ada pihak yang kalah atau dikalahkan. Di sana semua pihak terhormat. Tiap orang menang. Dan bahagia.

Kota-kota besar bisa memberi kemakmuran materi, tapi tak ada yang menjanjikan rasa damai seperti dalam sebuah kenduri. Inilah sebabnya, negeri kita sekarang terasa gersang, keras, dan agresif.

Ada kenduri yang aku ikuti dengan penuh harap untuk mengantarkanku kembali ke desa dan ke masa kecil, ternyata itu kenduri politik untuk mencari dukungan. Dan ketika "win-win spirit" dihidupkan dengan membagi uang, ternyata itu juga uang haram. Uang bisa memakmurkan badan, tapi menyengsarakan jiwa.

Pemerintah silih berganti, tapi tak ada yang bisa menciptakan kenduri macam di desaku. Institusi yang damai, dan menempatkan manusia dalam posisi kemanusiaannya macam itu bagiku merupakan bagian masa depan Indonesia, sesudah kita makin ricuh dan saling menyalahkan.

Presiden —bukan hanya Pak SBY— tak didukung secara tulus. Sebentar-sebentar ia disalahkan, dan digoyah. Aibnya digali. Kalau aib dalam kepemimpinannya tak ada, maka dicari aib pribadinya. Dan bila itu pun tak ada, dia harus difitnah. Tiap presiden kita kutuk. Sesudah itu dijatuhkan. Dan dengan sinting kita bangga telah menjatuhkannya.

Dunia politik yang gersang ini membutuhkan kenduri. Tapi tak ada orang "resmi" yang bisa mengisi kebutuhan ini. Syukurlah Emha Ainun Nadjib muncul untuk memberi jawaban. Dengan niat dan biaya sendiri ia membikin "Kenduri Cinta" di halaman Taman Ismail Marzuki sejak lebih lima tahun lalu. Kenduri ini kata kiasan, wakil kebersamaan. Semangatnya cinta. Dan cinta tidak mengutuk atau menyalahkan orang.

Ainun, atau cak Nun, dengan penuh wibawa menawarkan banyak cara lain untuk mengolah hidup, dan menyikapi politik dengan warna kebudayaan. Semangat tawarannya (boleh juga disebut "ajarannya") bukan mengalahkan lawan, melainkan memahkotai kebenaran.

Kenduri Cinta bukan partai politik, tapi lembaga itu berbagi dengan kita sikap politik sejati: politik memuliakan manusia seperti teladan para wali di saat mereka berdakwah untuk menempatkan kebenaran di tempat yang mudah dilihat, agar kebenaran menjadi kiblat.

Tapi selama lebih lima tahun ini Ainun sendirian. Wartawan, yang dulu siang malam menciumi sendalnya, dan menunggu berita dari dia, kali ini tak ada yang peduli. Para pemred pun berpaling. Meskipun begitu Ainun tak peduli. Kenduri Cinta berjalan dengan, atau tanpa media, karena dia sendiri sebuah media.


Artikel asli: Kompas, Minggu 12 Maret 2006, Asal-usul

 

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team