| |
|
Angin pagi memainkan pucuk-pucuk pinus, melambaikan salam perpisahan untuk gelap malam. Mentari menyeruak, mengirim kehangatan di pagi yang beku. Nur membuka hari baru dengan hati ringan. Segumpal rasa cemas dihalaunya dengan kepasrahan. Kedua buah hatinya menjadi penghibur saat sunyi terasa menggigit. Celoteh mereka saat bermain mengusir galau yang kadang menyelinap di relung hati kecilnya. Dan lagi, merawat kedua bocah ciliknya sudah cukup menyibukkannya. Anak adalah hiburan, ia adalah cahaya mata. Nur bersyukur atas karunia yang tidak setiap perempuan merasakannya. Lalu hari pun terasa beranjak dalam tempo cepat, tiba-tiba sore sudah menjelanga. Malam kembali datang menggantikan siang. Gelap menyelimuti bumi saat hamba Tuhan melepas penatnya. Dan Nur kembali termenung ketika anak-anak mulai terlelap. Semoga segala sesuatunya berjalan lancar, Nur membatin. Tidak mudah berhadapan dengan kondisi masyarakat yang belum siap menerima poligami. Anggapan sebagai langkah tercela dan penghalalan bagi kaum pria yang mengumbar nafsu sudah kadung meresap dalam pikiran masyarakat. Bukan salah mereka. Kenyataannya lelaki yang beristeri lebih dari satu adalah kebanyakan mereka yang kurang bertanggung jawab, kalau bukan para pejabat yang menyeleweng. Akibatnya banyak isteri yang tersia-sia, menderita di bawah tanggung jawab seorang lelaki. Jadilah hukum Allah yang satu ini dianggap tidak relevan dan melukai kaum wanita. Benarkah begitu? Lalu berapa banyak wanita malang yang tersaruk-saruk mencari pendamping sementara ratio laki-laki makin mengecil saja. Apa yang akan terjadi bila solusi menjadi sebuah mimpi buruk di benak kaum hawa. Kak Nurul hanyalah sebuah contoh dari ribuan kasus serupa. Dan Nur merasa itu berada di dalam jangkauannya. Nur teringat pertama kali bertemu kak Nurul. Perkenalan itu bermula setelah kuliah PAI yang menghebohkan di semester pertama. Nur sendiri sudah mendengar banyak tentang kak Nurul, assisten Farmakologi yang jelita, mantan mahasiswi teladan yang agamis dan segudang predikat top lainnya. Sementara Nur baru nongol di Universitas. Ketika itu dalam sebuah kelas PAI, Pak RN (semoga Allah merahmati beliau), menguraikan tentang dasar-dasar syariat Islam. Dalam satu kesempatan diskusi terlontarlah pertanyaan tentang poligami. Dengan sigap Nur mengacungkan jari memberikan suara persetujuan. Suasana mendadak hening. Karena Nur duduk paling depan, ia belum sadar apa yang terjadi. Waktu Ia rasakan kesenyapan ini lain dari biasanya, mulailah Nur mengintip kiri-kanan dan belakang. Sadarlah Nur kalau dari enam puluh mahasiswa yang mengikuti kuliah PAI ini dialah satu-satunya yang menyetujui poligami. Aduh mak, grogi bercampur bingung ketika itu, namun Nur tetap berusaha tegar. Buntut dari peristiwa tersebut mudah ditebak, Nur pun jadi bulan-bulanan kawan-kawan. Di antara para cowok mulai menggoda kalau-kalau Nur mau jadi isteri keduanya. Yang mahasiswi tidak kalah sewotnya, dikatakan bahwa ia heartless, tidak punya perasaan, ngomong begitu karena belum kawin, coba kalau sudah menikah, dan masih banyak lagi bantahan mereka. Nur sendiri berusaha untuk tetap bersikap tenang, ia katakan kalaupun mereka tidak setuju, itu tidak akan menghapus ta'addud sebagai bagian dari syariat Islam. Peristiwa heboh itu rupanya membawa berkah tersendiri. Karuan saja kak Nurul mendatangi Nur. "Rupanya kita punya nama panggilan yang sama ya dik," sapanya ketika memulai perkenalan. Nur hanya terdiam. Dalam hati, malu rasanya membandingkan diri nya dengan wanita dewasa di depan nya ini. Namun kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Nur dan kak Nurul menjadi sepasang sahabat yang akrab. Usia bukanlah hambatan, diskusi demi diskusi tetap hidup dengan jalinan persaudaraan yang penuh makna. Di bawah pancaran cahaya fajar maupun di keremangan sinar bulan dalam tetesan air wudlu dan lantunan ayat-ayat suci, Nur merasa hidup ini begitu berarti. Menjelang pernikahan Nur dengan mas Fatih, Nur memberanikan diri bertanya "Mengapa kak Nurul belum menikah. Bukankah usia kak Nurul lebih dari cukup?", hari itu bertepatan dengan tiga puluh tahun usia kak Nurul. "Jangan tanya saya, dik Nur. Siapa yang tidak ingin membangun surga di istana kecilnya " Dan kisah malang itu sungguh terjadi. Satu demi satu brothers mundur teratur lantaran silau berhadapan dengan kak Nurul. Padahal, kurang bagaimana tawadlunya kak Nurul. Sementara itu usia kak Nurul terus beranjak, para kader muda lebih suka memilih bunga yang bisa dipetik pagi hari. Kini, siapa yang masih teringat mawar indah di senja hari. Usia kak Nurul mulai melewati empat puluh tahun. Di Bangkalan sana, ia membaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat papa. Sendiri tanpa sesiapa. Salahkah Nur bila ingin membagi kebahagiaannya dengan kak Nurul? Dan mas Fatih .ah andai ada seribu mas Fatih di dunia ini. "... Maukah kak Nurul menjadi kakak Nur di dunia dan akhirat?" itu adalah pertanyaan Nur di suratnya beberapa bulan yang lalu ketika mas Fatih akhirnya menyerah pada perjuangan Nur. Lama tak berbalas, hingga akhirnya jawaban didapat juga dari surat kak Nurul bulan lalu. "...bagaimanakah mungkin saya menolak permintaan dari seorang adik yang berhati mulia Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini .namun saya sepenuhnya tawakal..." Surat terakhir kak Nurul itu ditangkapnya sebagai persetujuan. Maka berangkatlah mas Fatih pagi itu menuju Bangkalan. Subuh baru saja usai. Nur bersegera melipat rukuhnya ketika bel pintu berdentang, tergopoh ia berjalan ke arah pintu. Tiba-tiba di dadanya berdebur gelombang. Seperti saat mula pertama ia bertemu mas Fatih di rumah cinta mereka. Hari ini tepat seminggu mas Fatih berangkat. Iakah yang datang memenuhi janjinya kepada buah hati mereka? Tiba-tiba mata Nur basah. Inikah yang namanya haru? Ataukah cinta yang tumbuh di puncak kerelaan? Pintu terkuak. Benar. Dia mas Fatih. Tapi mengapa ia nampak tidak biasa. Ataukah Nur yang tiba-tiba jadi perasa. Seakan wajah mas Fatih berselimut duka. Nur ingin merangkulnya, namun terasa tangannya tertahan. Mas Fatih mengucapkan salam dengan perlahan. Nur membalasnya tak kalah pelan. "Mas datang untuk saya atau anak-anak?" Nur mencoba menggoda, mencairkan kebekuan. "Untuk kita" jawab mas Fatih. Tersenyum, namun berat terasa di dada Nur. Mas Fatih menggandeng tangan Nur. "Boleh masuk, dik?" kali ini ia yang menggoda. Nur mencolek pinggang mas Fatih, ditariknya masuk ke dalam rumah. Nur tidak berani membuka pertanyaan tentang kak Nurul. "Saya akan ceritakan setelah mandi dan shalat subuh." Mas Fatih seakan mengetahui isi hati Nur. Nur hanya mengangguk sebelum beranjak ke dapur meraih secangkir teh manis buat mas Fatih. "Ketika saya tiba di ujung desa." Mas Fatih memulai ceritanya. "Ratusan penduduk berbondong-bondong ke arah tempat tinggal kak Nurul. Saya tidak menduga kalau mereka menyambut saya, saya merasa tidak pantas mendapat sambutan semeriah itu. Namun hati saya bertanya-tanya apa mungkin kak Nurul telah menceritakan rencana pernikahannya kepada masyarakat di sana ...?" mas Fatih berhenti sejenak. Nur menahan nafas. "Saat saya tiba di rumah kak Nurul yang sederhana, barulah saya menyadari wajah-wajah yang hadir menampakkan kedukaan. Sayapun bertanya apakah bisa bertemu dengan kak Nurul. Sebagian yang hadir nampak marah, salah seorang menarik kerah baju saya sambil mengepalkan tinju, untunglah dilerai oleh seorang bapak yang arif yang ternyata adalah pak lurah. Ia bertanya siapa saya dan ada perlu apa dengan kak Nurul. Saya katakan bahwa saya datang dari jauh untuk menikah dengannya. Saya calon pengantinnya. Saat itu terdengar tangis keras beberapa ibu. Pak lurah merangkul saya dan tak hentinya menggoyang bahu saya sampai akhirnya saya ditariknya ke dalam rumah. Di tengah ruangan saya dapati sebuah keranda." Nur tak tahan mendengar cerita mas Fatih. "Keranda siapa? Dimana kak Nurul waktu itu?" pertanyaan Nur memburu. Mas Fatih menggenggam tangan Nur. "Kak Nurul berada di dalam keranda itu, dik ." "Inna liLlahi wa inna ilaihi rajiun" Jantung Nur serasa terhenti sesaat. Nur tersentak. Batin Nur terguncang hebat. Lalu Nur tersedu. Mas Fatih mengusap kepalanya dengan air mata menitik. "Sabarlah dik sabar" "Apa yang telah terjadi?" tanya Nur disela isaknya. "Ada yang tidak kita ketahui tentang kak Nurul." mas Fatih menjelaskan. Tiba-tiba Nur teringat isi surat terakhir kak Nurul ... "Sebenarnya ada yang tidak dik Nur ketahui setelah beberapa waktu berselang ini. Namun saya sepenuhnya tawakal..." Nur teringat kalimat yang ditulis kak Nurul itu. Ia terkesiap. "Apa yang tidak kita ketahui mas?" tanyanya. Mas Fatih menunduk. Jemarinya menghapus ujung sajadah yang terlipat. "Seorang perawat di puskesmas bercerita kepada pak lurah kalau kak Nurul sudah lama mengidap kanker stadium akhir, Nur, sudah metastase kemana-mana." "Ya Allah Saya tidak pernah tahu, " suara Nur bergetar. "Tidak ada yang tahu, Nur, hingga menjelang kepergiannya kecuali perawat yang membantu kak Nur di klinik. Saya ikut mengantar dan menguburkan jenazah kak Nurul. Selepas itu saya menyelesaikan beberapa urusan kak Nurul di sana. Saya juga pergi ke Surabaya ke tempat dokter yang mendiagnosis kak Nur dengan kanker payudara sejak lima tahun yang lalu." Lunglai terasa tubuh Nur. "Kita terlambat, mas. Saya telah melalaikannya " Nur seakan menyesali diri. Mas Fatih membelai kepala Nur dengan lembut. "Tidak, sayang. Allah lah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Insya Allah niat kita telah dicatat di buku-Nya." ujar mas Fatih. "Semoga Allah membalas amal shalih kak Nurul dengan sebaik-baiknya. Masyarakat Bangkalan mencintai kak Nurul karena keikhlasannya membantu mereka ." Mas Fatih berhenti sejenak. Dirogohnya secarik kertas dari kantung tas pinggangnya. "Ini ada surat dari mbak Ririn, perawat itu." Nur membuka surat yang diberikan mas Fatih, "Salam hormat untuk keluarga Bu Nurul. Ia adalah jiwa yang berbahagia." Air mata Nur berhamburan. Ia kehilangan mawar senja yang hampir dipetiknya di pekarangan cinta merekasang Pencipta telah menyuntingnya di taman surga abadi.
Dalam duka, hati Nur penuh doa. Semoga tempatmu terbaik di sisi-Nya, oh kak Nurul. Satu hal ia tahu pasti, beribu kak Nurul di bumi ini, namun hanya ada satu mas Fatih. (selesai)
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |