|
BAB 1: PENGETAHUAN TENTANG DIRI
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang
Tuhan, sesuai dengan Hadits: "Dia yang mentetahui dirinya
sendiri, akan mengetahui Tuhan," dan sebagaimana yang
tertulis di dalam al-Qur'an: "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat
kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran
tampak bagi mereka." Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada
anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui
diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui segala
sesuatu yang lain. Jika anda berkata" "Saya mengetahui diri
saya"- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka dan
anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu
tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang
Tuhan. Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah
sekedar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah anda
menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan
lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam
hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam
pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana
anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak
di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan
anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah
sifat-sifat binatang, sebagian yan glain adalah
sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat.
Mestai anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yan
gaksidental dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda
ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak
kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh
karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri anda
dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Setan selalu sibuk
mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda
termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka.
Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan
sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda
punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai
sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia
Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan
amarah. Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan
dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya
menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti
menundukkan mereka dan - dalam kemajuan anda - menjadikan
salah satu di antaranya sebagai kuda tunggangan serta yang
lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah
menyadari bahwa anda terdiri dari bentuk luar yang disebut
sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati
atau ruh. Yang saya maksudkan dengan "hati" bukanlah
sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi
sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai
alat dan pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak termasuk
dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya; dia datang ke
dunia ini sebagai pelancong yan gmengunjungi suatu negeri
asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan
kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan
sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan
tentang Tuhan.
Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa
diperoleh seseorang yang mengatupkan matanya dan melupakan
segala sesuatu di sekitarnya selain individualitasnya.
Dengan demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan sekilas
akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun
demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh
dilarang oleh syariat. Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh itu adalah
urusan Tuhanku." (QS 17:85). Yang bisa diketahui adalah
bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang
termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari
sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan
filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan
pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan
agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri
dan kesabaran berada di atas lintasan itu, sebagaimana
dikatakan dalam al-Qur'an: "Siapa yang berjuang di jalan
Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yan glurus."
(QS 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan
pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa
digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (ruh) sebagai
rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai
tentaranya. Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana
menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai
petugas polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak,
nafsu terus-menerus cenderung untuk merampas demi
kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung
kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas
polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja,
tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka
memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya.
Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa
tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan
fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang
lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang
bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau seorang muslim
kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat
menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas
tersebut - yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam
bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai
anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat. Tujuan
disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu
dan amarah, sehingga bagaikan cermin yan gjernih, ia
memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan,
"Tapi jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas
hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa
kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya,
sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan
peralihan belaka?" Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa
esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam
dirinya dan khas baginya. Kuda dan keledai kedua-duanya
adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari
keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika gagal
dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang
pengangkut beban. Fakultas tertinggi di dalamnya adalah
nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan. Jika
fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia
tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu
dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para
malaikat. Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan,
manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar
membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di
dalam al-Qur'an: "Telah Kami tundukkan segala sesuatu di
atas bumi untuk manusia" (QS 45:13). Tetapi jika
kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang
menang, maka setelah kematiannya, dia akan selamanya
menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan
duniawi.
Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan
keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu
semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak
dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu
mengatur lelangit dan mengukur jarak antar bintang. Dengan
itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan
burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan
binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.
Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap
ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya
memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak
kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya
tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan
dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan
isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin
yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam
Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur,
pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan
akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang
diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati
pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak
dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an
pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini
penglihatanmu amat tajam."
Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada
yan gtak-kasat-mata ini juga terjadi di dalam
keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni ketika
intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat
saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya
dari syahwat-syahwat badani dan memusatkan pikirannya pada
Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap intuisi-intuisi
seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak
punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya
pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan
memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan menjadi
sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran
siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti
itu. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika
beliau berkata: "Setiap anak lahir dengan suatu fitrah
(untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang kemudian
membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi."
Setiap manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar
pertanyaan "Bukankah Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya".
Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian
dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi
memberikan pantulan-pantulan yang jernih. Sementara hati
para nabi dan wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu
seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan
ilahiah.
Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif
saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan palin gutama di
antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar
kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas
kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur
anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu
tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur jasadnya
sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin
agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun
akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar
jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan
kehadiran seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya.
Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh
jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai
mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam
tiga hal:
- Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai
mimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.
- Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi
jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya,
bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
- Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan
belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka
lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang
membedakan mereka dari orang-orang biasa, tetapi hanya
ketiganya itulah yang bisa kita ketahui. Sebagaimana halnya,
tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan yang
sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun
yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali
seorang Nabi. Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya
dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat
kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada
seseorang yan gtelinganya kebal terhadap irama, atau
menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama
sekali buta. Di samping ketidakmampuan, ada juga
hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran
ruhaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang
dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati bisa
digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima
aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya.
Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka
aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara
apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan
dari sumur itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai
kepada kebenaran ruhani yang murni, pada saat itu mesti kita
buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses
eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka
dogmatis.
Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat
oleh orang-orang yang dangkal yang - dengan menggemakan
beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi -
ke sana ke mari menyebarkan kutukan terhadap semua
pengetahuan. Ia bagaikan seseorang yang tidak capak di
bidang kimia menyebarkan ucapan: "Kimia lebih baik dari
emas," dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia
memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati
amatlah langka, demikian pula Sufi-sufi sejati. Seseorang
yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang
tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang
terpelajar. Demikian pula seseorang yang baru mencoba
beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk
merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat
bahwa kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan
tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan
segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang
memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang
melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar
suara-suara yang selaras. Fungsi tertinggi jiwa manusia
adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap
kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri.
Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga
mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek
pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya.
Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana
Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja
sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal
rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa
memetakan bintang-bintang dan menguraikan
lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari
pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah
mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari
Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar
dari pengetahuan sejati tentang-Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan
seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan
seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya
lebih menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu
badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian
organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut.
Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang
Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan
timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang
menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta
Sang Pencipta. Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh
manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka.
Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita
serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan,
Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari
sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi
- seperti hati, jantung dan otak - tetapi juga yang tidak
mutlak perlu - seperti tangan, kaki, lidan dan mata. Kepada
semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya
rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau
jasad-kecil di dalam dirinya. Struktur jasadnya mesti
dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi
dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai
pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana
studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di
dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita
lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan
peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah
pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentan
gjasad kita dan fungsi-fungsinya. Jasad bisa diperbandingkan
dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad
diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang
manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri - yang merupakan
sesuatu yang paling dekat dengannya - maka apa arti klaimnya
bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau demikian, ia
bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan
makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk
kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu
untuk memaparkan kebesaran jiwa manusia. Seseorang yang
mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau
memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini
dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya
terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih
kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan
menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya -
takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan
penderitaan. Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan
sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang
menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan
kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu
kekacauan kecil saja di dalam otaknya sudah cukup untuk
memusnahkan atau membuatnya gila. Sedangkan mengenai
kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa
mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia
sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja.
Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik
daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit
halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat
menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan
hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia
akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan"
tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat
malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih
buruk dari orang-orang biadab yan gpasti musnah dan menjadi
debu. Perlu baginya untuk - bersamaan dengan timbulnya
kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik -
belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini
juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang
Tuhan.
(sebelum,
sesudah)
|