| 
          Kompas Cetak, 10 Februari 2014, Opini 
         
         Gagasan Asuransi Bencana
         
         Oleh Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan
         Bisnis UGM
         
         MENTERI Keuangan Chatib Basri mewacanakan kembali
         perlunya asuransi bencana alam. Bencana erupsi Gunung
         Sinabung, gempa Kebumen, banjir Manado dan Jakarta, serta di
         banyak daerah akhir-akhir ini membuat kebutuhan anggaran
         penanganan bencana mengalami kesulitan. 
         
          Dalam APBN 2014
         teralokasi Rp 3 triliun pagu Badan Nasional Penanggulangan
         Bencana (BNPB). Dana yang hampir separuhnya menjadi dana
         cadangan merupakan dana yang siaga dipakai untuk penanganan
         bencana. Meski demikian, kerugian akibat bencana pada awal
         2014 saja diperkirakan puluhan triliun, tak memadai di
         topang dana dari APBN saja. 
         
         Menurut Chatib, skema asuransi bencana sudah lama
         dipikirkan Kemenkeu. Skemanya, negara menanggung premi
         asuransi lewat APBN kemudian perusahaan asuransi asing besar
         yang akan membayar kebutuhan penanggulangan jika bencana
         terjadi. Masalahnya, skema itu belum dilakukan karena belum
         ada payung hukum. 
         
         "Persoalan yang kita hadapi belum ada basis hukum untuk
         menempatkan asuransi dalam APBN kita. Kalau tidak ada
         bencana, kan, premi tetap harus dibayar, itu hukumnya
         bagaimana? Bisa pengeluarannya ada, tetapi output-nya tidak
         ada," kata Chatib. Jika itu terjadi dan tak ada payung hukum
         yang menaungi, Chatib khawatir asuransi akan dihitung
         sebagai kerugian negara. 
         
         Bencana dan regulasi bencana
         
         Dalam The 100 Greatest Disasters of All Time karya
         Stephen J. Spignesi, dua bencana di Indonesia berada di
         peringkat ke-22 dan ke-30. Pertama, letusan Gunung Tambora
         di Sumbawa (1815) yang merenggut 150.000 jiwa dan menurunkan
         suhu bumi. Kedua, letusan Gunung Krakatau (1883) yang
         menelan 36.000 nyawa. Jika buku itu disusun setelah tsunami
         Aceh, bencana yang merenggut nyawa sekitar 300.000 jiwa itu
         akan bertengger di posisi ke-18. 
         
         Sejak tsunami Aceh di akhir 2004 hingga saat ini,
         setidaknya terjadi enam bencana besar, seperti longsor di
         TPA Leuwigajah, gempa Nias, gempa Yogyakarta, lumpur panas
         Sidoarjo, banjir di Sinjai dan sekitarnya, dan erupsi
         Merapi. Perlu diperhitungkan bencana akhir-akhir ini di
         Sinabung dan banjir di mana-mana. 
         
         Kini kita masih hangat membincangkan gempa dan dampak
         negatifnya serta kesulitan yang dihadapi pemerintah untuk
         menolong rakyatnya sehubungan dengan gempa bumi dan tsunami
         di wilayah selatan Pulau Jawa. Data korban jiwa dan harta
         benda belum selesai dihimpun. Entah berapa lagi korban
         manusia dan harta benda yang tertelan peristiwa itu. 
         
         Indonesia memiliki UU Nomor 24 Tahun 2007 mengenai
         Penanggulangan Bencana (UUPB) dan Peraturan Pemerintah Nomor
         21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
         Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana direncanakan
         meliputi empat bidang: pengurangan risiko bencana,
         penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi,
         dan penatakelolaan bencana. UUPB didesain untuk menggeser
         cara pandang respons darurat yang berorientasi jangka pendek
         ke manajemen risiko bencana dan lebih menjamin
         keberlangsungan. 
         
         Namun, sayang, UU dan PP Penanggulangan Bencana sama
         sekali tak menyinggung secara spesifik aspek asuransi.
         Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak perlu
         disangsikan bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap
         mitigasi risiko bencana, tahap rehabilitasi, dan
         rekonstruksi pascabencana. Pada tahap mitigasi risiko,
         perusahaan asuransi bisa berpartisipasi sebagai pihak
         pemberi edukasi kepada masyarakat mengenai cara memperkecil
         kerugian akibat bencana. 
         
         Dalam kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa
         memberi ganti rugi. Yang paling sering adalah asuransi harta
         benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan
         diri, asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan. Dengan asuransi
         harta benda yang diperluas dengan jaminan risiko gempa bumi,
         rusaknya bangunan akibat gempa bumi atau tsunami bisa
         mendapat penggantian dari perusahaan asuransi. Tersedia juga
         asuransi bencana, seperti banjir, tanah longsor, letusan
         gunung berapi, bahkan kerusuhan sosial. 
         
         Yang selalu inheren dengan bencana adalah korban manusia.
         Asuransi kecelakaan diri bisa memberi penggantian biaya
         pengobatan atau santunan cacat. Bagaimana jika korban tewas?
         Asuransi jiwa akan memberi santunan kepada ahli waris.
         Bencana juga selalu menimbulkan pengungsi yang sering rentan
         terserang penyakit. Nah, di sinilah pentingnya asuransi
         kesehatan. Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan
         biaya ditanggung perusahaan asuransi. 
         
         Setiap terjadi bencana, pemerintah selalu merogoh APBN
         untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk Yogyakarta dan
         sekitarnya, pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6
         triliun. PBB pun membantu lebih dari 80 juta dollar AS. Di
         sinilah perusahaan asuransi bisa berbicara banyak. Biaya
         rekonstruksi dan rehabilitasi dalam bentuk pembangunan rumah
         atau fasilitas umum tidak semuanya akan menjadi tanggungan
         pemerintah. 
         
         Melalui UUPB, pemerintah bisa menstimulus bahkan jika
         perlu mewajibkan masyarakat (secara bertahap) agar
         mengasuransikan harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat
         kita masih berpikir asuransi adalah nomor sekian dalam
         prioritas hidupnya. Apalagi masyarakat menengah ke bawah
         yang masih lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan
         dasarnya. 
         
         Saat terjadi bencana, Kementerian Sosial berperan pada
         lapisan pertama dalam mengoordinasi evakuasi korban dan
         bantuan sosial. Pada lapis kedua, mulailah berfungsi jaminan
         sosial yang menjamin asuransi jiwa dan asuransi kesehatan.
         Kerusakan aset tak ada jaminan sosialnya. Untuk itulah
         diperlukan asuransi wajib. 
         
         Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya
         sebagian kecil dari total kerugian. Ini tak hanya terjadi di
         Indonesia. Di AS, yang masyarakatnya insurance minded, tak
         semua mengasuransikan rumahnya terhadap ancaman bencana.
         Hasil riset National Hurrican Survival Initiative
         yang dirilis 16 Mei 2006 menyatakan, sepertiga rumah di
         wilayah rentan badai tidak ada asuransinya. 
         
         Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang
         mengguncang Kobe pada Januari 1995 menghancurkan 100.000
         bangunan dan 6.500 orang tewas dengan kerugian material
         lebih dari 110 miliar dollar AS. Klaim asuransi "hanya" 6
         juta dollar AS karena kurang dari 5 persen bangunan yang
         diasuransikan. 
         
         Subsidi pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana
         hanya bersifat jangka pendek. Idealnya, pemerintah membuat
         skema asuransi wajib untuk risiko bencana yang merupakan
         perluasan dari asuransi kebakaran. Beberapa negara
         berkembang, seperti Turki, Iran, dan China, telah mempunyai
         asuransi wajib. Di Turki, misalnya, pemerintah mewajibkan
         asuransi gempa bumi pada rumah, ruko, dan apartemen melalui
         The Turkish Catastrophic Pool. Pada 2000, dengan limit harga
         pertanggungan 50.000 dollar AS, premi tahunan sebesar 47
         dollar AS. 
         
         Dimasukkannya aspek asuransi dalam UUPB akan memberi
         banyak manfaat bagi korban bencana, pemerintah, dan industri
         asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan
         meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia. Efeknya,
         pertumbuhan industri asuransi di Indonesia semakin baik. 
         
         Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana
         terhadap rumah tinggal. Selanjutnya bisa asuransi kecelakaan
         diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi (umum
         dan jiwa) hendaknya berinisiatif mengajukan usulan konkret
         semacam manajemen risiko katastrofik kepada pemerintah yang
         antara lain untuk mengetahui besar kecilnya risiko suatu
         daerah terhadap bencana tertentu dan cara penanggulangan
         risiko katastrofik dengan memanfaatkan metodologi manajemen
         risiko. 
         
         Obligasi katastrofik
         
         Pada Januari 2011, Fakultas Ekonomika dan Bisnis
         Universitas Gadjah Mada telah mendesain asuransi bencana
         melalui pasar modal yang dikenal dengan obligasi
         katastrofik. Bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia dan
         Bank Dunia, waktu itu dirumuskan regulasi, skema, dan
         struktur pembiayaan penanggulangan bencana melalui
         penerbitan catastrophic bond, Catbond.
         Obligasi bencana jangka panjang itu diterbitkan pemerintah
         dan ditawarkan kepada perusahaan swasta, investor, dan
         lembaga internasional di pasar perdana. 
         
         Para investor atau lembaga multilateral yang memberikan
         pinjaman proyek di Indonesia tentu sangat berkepentingan
         mengasuransikan investasi dan proyeknya puluhan triliun dari
         bencana yang tidak terlindungi. Untuk menambah pembiayaan,
         Catbond dapat diperdagangkan di pasar sekunder
         sekaligus menambah likuiditas di perekonomian melalui pasar
         modal. APBN bisa juga dimanfaatkan membayar premi asuransi
         layaknya belanja risiko fiskal yang telah dikenal di APBN
         dan telah dinyatakan wajar oleh BPK. Kemudian mendorong
         pendanaan transfer risiko ke sektor swasta melalui asuransi
         dan pasar modal. Tujuan besarnya adalah mengamankan
         likuiditas dan menyediakan dukungan anggaran. 
         
         Kajian mengenai asuransi bencana sudah tersedia,
         pembahasan sudah dilakukan, momentumnya ada, dan regulasi
         dapat segera didesain secara bertahap. Bola ada di
         pemerintah, khususnya Kemenkeu. Jangan sampai gagasan ini
         mentah lagi seiring dengan meredanya kejadian bencana.
         Bencana akan terus menjadi tantangan di Indonesia. Tugas
         pemerintah melindunginya. 
         
         Catatan: versi pdf dari Kompas
         Cetak 10 Februari 2014. 
         
         (perbandingan
         kedua artikel berdampingan) 
       |