Kompas Cetak, Jumat, 21 Juli 2006,
Teropong
Menggagas Asuransi Bencana
Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan
Dalam buku The 100 Greatest Disasters of All Time
karya Stephen J. Spignesi, dua bencana di Indonesia masuk
peringkat ke-22 dan 30. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa
tahun 1815 merenggut 150.000 jiwa dan menurunkan suhu Bumi.
Adapun letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menelan 36.000
nyawa.
Jika buku tersebut disusun setelah tsunami Aceh, bencana
yang merenggut nyawa sekitar 300.000 jiwa itu akan
bertengger di posisi 18.
Pada 27 Mei 2006 gempa meluluhlantakkan Yogyakarta dan
sekitarnya. Info yang dirilis website Satuan Koordinasi
Pelaksana (Satkorlak) per 27 Juni 2006, terdapat 5.778
korban tewas dan 37.883 luka. Sebanyak 612.000 lebih rumah
dan fasilitas umum rusak. Kerugian material diperkirakan Rp
29,2 triliun.
Sejak tsunami Aceh pada akhir 2004 hingga saat ini,
setidaknya terjadi lima bencana besar, seperti longsor di
TPA Leuwigajah, gempa Nias, gempa Yogyakarta, lumpur panas
Sidoarjo, dan banjir di Sinjai, dan sekitarnya.
Kini kita masih hangat memperbincangkan gempa dan dampak
negatifnya serta kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam
menolong rakyatnya, sehubungan gempa bumi dan tsunami di
wilayah selatan Pulau Jawa. Data korban jiwa dan harta benda
belum selesai dihimpun. Entah berapa lagi korban manusia dan
harta bendanya yang tertelan peristiwa itu.
Dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis,
Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Berada di
antara dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api
aktif, Indonesia sangat rawan tanah longsor, badai, dan
letusan gunung berapi. Belum lagi ancaman banjir dan
kekeringan.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga
lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan
Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia termasuk dalam
Pacific ring of fire yang bisa menimbulkan gempa
dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya populasi dapat
memicu bencana kerusuhan atau bencana akibat ulah manusia
(man made disaster).
Asuransi dan RUUPB
Atas dasar inilah Rancangan Undang-Undang Penanggulangan
Bencana (RUUPB) diusulkan DPR. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana direncanakan meliputi empat bidang,
yaitu pengurangan risiko bencana, penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan
bencana.
RUUPB didesain untuk menggeser cara pandang respons
darurat yang berorientasi jangka pendek ke manajemen risiko
bencana (catastrophe risk management) dan lebih
menjamin keberlangsungan (sustainability).
Namun, sayang, RUUPB sama sekali tidak menyinggung aspek
asuransi. Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak
perlu disangsikan bahwa asuransi dapat berkontribusi pada
tahap mitigasi risiko bencana, tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Pada tahapan mitigasi risiko,
perusahaan asuransi bisa berpartisipasi sebagai pihak yang
memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai cara-cara
memperkecil kerugian akibat bencana.
Dalam kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa
memberikan ganti rugi. Yang paling sering adalah asuransi
harta benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi
kecelakaan diri, asuransi jiwa, atau asuransi kesehatan.
Dengan asuransi harta benda yang diperluas dengan jaminan
risiko gempa bumi, rusaknya bangunan akibat gempa bumi atau
tsunami bisa mendapatkan penggantian dari perusahaan
asuransi. Juga tersedia asuransi bencana, seperti banjir,
tanah longsor, letusan gunung berapi, atau bahkan kerusuhan
sosial.
Yang selalu inheren dengan bencana adalah korban manusia.
Asuransi kecelakaan diri bisa memberikan penggantian biaya
pengobatan atau memberi santunan cacat.
Bagaimana jika korban tewas? Asuransi jiwa akan
memberikan santunan kepada ahli waris. Bencana juga selalu
menimbulkan pengungsi yang sering kali rentan terserang
penyakit. Nah, di sinilah pentingnya asuransi kesehatan.
Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan biaya
ditanggung perusahaan asuransi.
Setiap terjadi bencana, pemerintah selalu merogoh APBN
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk Yogyakarta dan
sekitarnya, pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6
triliun. PBB pun membantu lebih dari 80 juta dollar AS.
Di sinilah perusahaan asuransi bisa berbicara banyak.
Biaya rekonstruksi dan rehabilitasi dalam bentuk pembangunan
rumah atau fasilitas umum tidak semuanya akan menjadi
tanggungan pemerintah.
Asuransi wajib
Melalui RUUPB, pemerintah bisa menstimulus, bahkan bila
perlu mewajibkan masyarakat (secara bertahap) agar
mengasuransikan harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat
kita masih berpikir asuransi adalah nomor kesekian dalam
prioritas hidupnya. Apalagi masyarakat menengah ke bawah
yang masih lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan
dasarnya.
Saat terjadi bencana Departemen Sosial berperan pada
lapisan (layer) pertama dalam mengoordinasi evakuasi korban
dan bantuan sosial. Pada layer kedua, mulailah berfungsi
jaminan sosial yang menjamin asuransi jiwa dan asuransi
kesehatan. Adapun kerusakan aset tidak ada jaminan sosial.
Untuk itulah diperlukan asuransi wajib.
Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya
sebagian kecil dari total kerugian. Ini tidak hanya terjadi
di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang masyarakatnya
insurance minded, tidak semua mengasuransikan
rumahnya terhadap ancaman bencana. Hasil riset National
Hurrican Survival Initiative yang dirilis 16 Mei 2006
menyatakan, sepertiga rumah di wilayah rentan badai tidak
ada asuransinya.
Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang
mengguncang Kobe pada Januari 1995 menghancurkan 100.000
bangunan dan 6.500 orang tewas dengan kerugian material
lebih dari 110 miliar dollar AS. Klaim asuransi "hanya" 6
juta dollar AS karena kurang dari 5 persen bangunan yang
diasuransikan.
Subsidi pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana
hanya bersifat jangka pendek. Idealnya, pemerintah membuat
skema asuransi wajib untuk risiko bencana yang merupakan
perluasan dari asuransi kebakaran.
Beberapa negara berkembang, seperti Turki, Iran, dan
China, telah mempunyai asuransi wajib. Di Turki, misalnya,
pemerintah mewajibkan asuransi gempa bumi pada rumah, ruko,
maupun apartemen melalui The Turkish Catastrophic Pool. Pada
tahun 2000 dengan limit harga pertanggungan 50.000 dollar
AS, premi tahunan sebesar 47 dollar AS.
Dimasukkannya aspek asuransi dalam RUUPB akan memberikan
banyak manfaat bagi korban bencana, pemerintah, dan industri
asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan
meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia. Efeknya,
pertumbuhan industri asuransi di Indonesia semakin baik.
Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana
terhadap rumah tinggal. Selanjutnya bisa asuransi kecelakaan
diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi (umum
dan jiwa) hendaknya berinisiatif untuk mengajukan usulan
konkret semacam Catastrophe Risk Management kepada
pemerintah yang antara lain untuk mengetahui besar kecilnya
risiko suatu daerah terhadap bencana tertentu, serta cara
penanggulangan risiko katastropik dengan memanfaatkan
metodologi manajemen risiko.
Bank Dunia juga telah mengirim utusannya ke Indonesia
untuk membicarakan asuransi bencana ini, dan siap memberikan
asistensi. Tunggu apalagi!
Hotbonar Sinaga
Dosen Asuransi dan Manajemen Risiko FEUI, Mantan Ketua Dewan
Asuransi Indonesia 2002-2005
Munawar Kasan
Staf PT Asuransi ASEI
Sumber:
http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0607/21/teropong/2823595.htm
(situs asli sudah tidak bisa diakses, namun web
archive menyimpannya di sini)
(perbandingan
kedua artikel berdampingan)
|