C.M. Pleyte dan Wacana Sunda oleh Atep
Kurnia
N.J. Krom menyediakan saya data biografis Cornelis
Marinus Pleyte. Krom menuliskannya dalam suatu tulisan yang
dimuat dalam Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse
Letterkunde (1919). Tulisannya berjudul, "Levensbericht van
C.M. Pleyte Wzn".
C.M. Pleyte termasuk ilmuwan Belanda yang banyak mengkaji
perihal kesundaan. Dia menulis perihal bahasa, folklor,
prasasti, piagam, dan naskah Sunda. Padahal, semua itu dia
lakukan dalam waktu yang relatif tidak lama. Ia melakukan
semua kajian itu dalam rentang waktu antara 1905-1917. Dalam
hal ini, tulisan N.J. Krom bisa jadi dapat menerangi peri
kehidupan berikut latar belakang dan motivasi Pleyte
berkutat dengan wacana kesundaan.
Menurut Krom, Pleyte dilahirkan di Leiden, 24 Juni 1863.
Ia adalah ahli etnografi dan kurator museum. Ayahnya Willem
Pleyte, arkeolog yang menjabat sebagai kepala direktur
Museum Kerajaan Belanda. Ibunya, Catharina Margaretha
Templeman.
Mula-mula ia bersekolah di Leidsche gymnasium 1879-1881.
Selulus dari sana, mencoba masuk Universitas Leiden, tetapi
gagal. Akan tetapi untunglah, pada 1882, Museum Etnografi
Belanda membuka koleksi-koleksinya yang baru, yakni
Australia, Cina, Jepang, dan Hindia Belanda. Untuk keperluan
itu, pihak museum memerlukan kurator. Pleyte pun masuk ke
sana sebagai kurator.
Selama bekerja di sana ia banyak menulis artikel di
jurnal-jurnal ilmiah. Di sana ia bekerja sampai 1896. Pada
1897, ia diminta bekerja pada pavilion Belanda saat di Paris
diadakan Pameran Dunia pada 1900. Untuk persiapan itu,
Belanda mengirim Pleyte ke Hindia Belanda berkeliling ke
Sumatra dan Bali untuk mengumpulkan benda-benda seni.
Dari perjalanan tersebut Plyte sangat terkesan dengan
benda-benda seni antik dari Hindia. Dari sana pula mula-mula
munculnya minat Pleyte mempelajari budaya Bali, Jawa Kuna
(termasuk mengenai Candi Borobudur dan Budha Mahayana di
Jawa), kemudian budaya Batak.
Beralih ke Sunda
Namun pada 1905, minatnya beralih ke kajian budaya Sunda.
Peralihan minat ini berawal ketika Fakultas Sastra Leiden
merekomendasikan untuk menjadi pengajar etnografi dan
geografi di Gymnasium Willem III di Batavia, Hindia Belanda.
Pada 1902, berangkatlah Pleyte ke Batavia, tanpa disertai
keluarganya. Di sana ia mengajar hingga 1913.
Karena posisi kerja Pleyte di Batavia yang notabene
berada di wilayah Tatar Sunda, ketertarikan akan budaya
Sunda kian meningkat intensitasnya di dalam diri Pleyte.
Karena wilayah Tatar Sunda lainnya dapat dilakukan seharian
pulang pergi.
Ada tiga hal yang sebenarnya dipelajari Pleyte dari
kebudayaan Sunda, yakni dari sisi bahasa Sunda, sejarah
Tatar Sunda, dan industri di Tatar Sunda. Oleh karena itu,
fokus kajiannya agak melebar ke mana-mana: naskah Sunda
kuno, dongeng, bahasa Sunda, industri enau, dan lain-lain
yang semuanya dia tulis antara 1905 hingga 1915.
Sebagai akibat dari minat dan pekerjaannya, ia banyak
berpergian dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengumpulkan barang-barang antik dan informasi etnik lainnya
serta berinteraksi dengan budaya dan orang Sunda. Itu
dilakukannya sejak 1905. Tidak mengherankan bila Pleyte
dikenal dekat dengan Bupati Serang, para pengelola majalah
Papaes Nonoman. Bahkan rumahnya di Gang Chaulan, Batavia,
menjadi tempat persinggahan para intelektual muda Sunda kala
itu.
Setelah itu, dia bekerja di Dewan Sekolah di Batavia dari
1915 hingga dia meninggal di Batavia pada 22 Juli 1917 dalam
usia 54 tahun karena asma yang parah.
Kehendak
Dari perjalanannya mengkaji Sunda sebenarnya kita dapat
memahami dua hal. Pertama, ia berangkat bersama minat dan
pengetahuannya dari sisi etnografi yang dipelajarinya di
Belanda, ketika dia hadir ke Tatar Sunda.
Minatnya kemudian bertaut dengan kegiatan yang dia ikuti
selanjutnya, yakni pameran dari bumi terkoloni (colonized
land). Dalam hal ini, dia menyalurkan minatnya yang
hendak mengetahui etnografi dunia lain (the other) seraya
memanfaatkan momen tersebut sebagai jalan untuk mendapatkan
informasi atas hal yang dihasratinya. Oleh karena itu,
tawaran untuk pergi ke bumi Hindia Belanda ia sambut dengan
gembira.
Sesampai di dunia Hindia Belanda ia menemukan eksotika
yang biasa diidap oleh para filantrofi dan etnografer Barat
ketika untuk pertama kalinya datang ke dunia yang mereka
kenal melalui berbagai bacaan dan artefak budaya yang
sengaja dibawa kaum penjajah ke negerinya.
Pleyte dengan demikian, seperti para etnografer pada
umumnya di masa itu, tidak terlepas dari subyektivitas Barat
yang hendak mengobyektivikasi si lain dari dirinya. Dengan
kata lain, ia bisa dikatakan menjadi agen kaum penjajah
untuk menarik sejumlah informasi dari bumi yang
terjajah.
Hal kedua yang dapat kita pahami dari perjalanan Pleyte
adalah informasi yang dia kumpulkan dari Tatar Sunda.
Informasi pada gilirannya dapat kita "ringkas" menjadi dua
kategori, berdasarkan acuan teknologi informasi yang berada
dan digunakan di Tatar Sunda.
Dengan kata lain, yang dikumpulkan Pleyte adalah tradisi
lisan yang merupakan teknologi informasi tingkat pertama,
tetapi sekaligus juga ia mengumpulkan tradisi tertulis yang
ada di Tatar Sunda sebagai representasi dari teknologi
informasi tingkat kedua.
Hal menarik yang dapat kita tarik dari sana adalah Pleyte
menganggap tuturan lisan di Tatar Sunda sebagai bagian dari
dunia primordial yang dulu menjadi khazanah pikiran dan
kenangan kolektif orang Sunda.
Di sisi lain, dengan mengkaji tradisi tulis yang hadir di
Tatar Sunda, sebenarnya Pleyte tengah mengumpulkan
remah-remah pengaruh dari luar Tatar Sunda yang turut
membentuk identitas Sunda. Karena kita tahu, tradisi tulis
di Tatar Sunda hadir karena kehadiran terutama bangsa India
yang membawa aksara Pallawa, Pra-Nagari, dan lain-lain yang
mewadahi bahasa Sanskerta, Tamil, dan lain-lain.
Kegiatan mengumpulkan kedua khazanah tradisi teknologi
informasi ini pada gilirannya dapat kita baca sebagai
langkah Pleyte untuk memenangkan salah satu di antaranya.
Dengan kata lain, Pleyte yang hidup dalam tradisi tulisan
dan dihidupi konsep oposisi biner "mencoba" mengalahkan
tradisi lisan dengan cara mengalihkan tradisi lisan ke arah
tradisi tulisan melalui pemuatan di media-media tertulis,
baik berbentuk buku maupun artikel.
Pengalihan ke dunia tertulis itu, pada akhirnya, paralel
dengan kehendak Pleyte, sebagai agen penjajah, untuk membawa
dan membuka sejumlah khazanah "rahasia" yang disimpan dalam
"benak" orang terjajah. Khazanah ini dengan cara demikian
dibagikan ke dunia yang diacu dalam bahasa tulis yang
digunakan Pleyte. Pada gilirannya, khazanah yang berubah
bentuk itu bisa menjadi sejumlah kebijakan dan peraturan
pemerintah kolonial yang dapat dikembalikan dan diterapkan
di dunia koloni.***
Atep Kurnia, peneliti literasi pada Pusat Studi Sunda
(PSS).
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Januari
2010
Acuan Tambahan
|