Jurnal Pemikiran Islam

PARAMADINA

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Catatan kaki:

99 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.

100 Evelyn Reed, Woman's Evolution, From Matriarchal Clan to Patriarchal Family, New York, London, Montreal, Sydney: Tathefinder, 1993, h. IV.

101 Lihat misaslnya Frederick Engels, The Origin of Family Private Property and State, New York: International Publisher Company, 1976. Buku ini banyak mengilhami para feminis marxis dan sosialis di dalam memberikan solusi terhadap gender stereotyping di dalam masyarakat.

102 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983, h. 265.

103 Victoria Neufeldt (ed.), Webster's New World Dictionary, New York: Webster's New World Cleveland,1984, h.561. Bandingkan dengan kamus Oxford yang mendefinisikan gender sebagai a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and sexlessness, property of belonging to such a class. (Lihat C.T. Onionss (ed.), The Word Dictionary of English Etymology, Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1979, h.).

104 Helen Tierney (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, Vol. I, NewYork: Green Wood Press, h. 153.

105 Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 4.

106 Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990, h.2.

107 H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989, h. 2.

108 Elaine Showalter (Ed.), Speaking of Gender, New York & London: Routledge, 1989, h. 3.

109 Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h. 3.

110 Dalam literatur Arab disebut Hawwa dan literatur Inggris disebut Eva. Dalam sumber-sumber Yahudi sering dikatakan Ha-ishah secara literal berarti "wanita" tetapi sesungguhnya yang dimaksud ialah "pelayan" (ezer/belper) Adam. Seperti dalam Islam, literatur Yahudi mempunyai beberapa istilah terhadap wanita (female), yaitu almah untuk wanita usia kawin, betulah untuk gadis perawan, bachurah untuk wanita remaja, naarah wanita antara 12 sampai 12,5 tahun, dan nikevah untuk wanita usia dewasa, serta yaldah untuk wanita yang belum dewasa. (Lihat Lisa Aiken, To be Jewish Woman, Northvale, New Jersey, London: Janson Aronson INC., 1992, h.12).

111 Kata Adam bersumber dari bahasa Hebrew Adamah berarti bumi (earth). Dapat berasal dari akar kata alef (yang satu) dan dom (sunyi, diam, bisu). Lihat Ibid, h. 6-7.

112 Dikutip dari Kitab Bibel edisi Indonesia.

113 Lillith digambarkan sebagai "setan betina" (female demon) yang berwajah manusia, berambut panjang, dan mempunyai sayap, gentayangan di malam hari. Lihat Lisa Aiken, op. cit., h. 23., Monica Sjoor dan Barbara Mor, The Great Cosmic Mother, Rediscovering the Religion of the Earth, San Fransisco: Harper and Row Publishers, 1985, h. 276-277.

114 Sumber ini tidak terlalu populer di kalangan Yahudi karena dianggap kepercayaan sempalan, namun demikian cerita ini ditemukan dalam Talmud, seperti dalam Erubin 1006, Bava Batra 736, Niddah 246, Sabbat 1516. Lihat dalam Rabbi DR I. Epstein (Editorship), Hebrew-English Edition of the Babilonia Talmud, Vol. I (Erubin), London; Jerusalem: The Sonicino Press, 1976, h. 73a-73b. Juga dalam Vol. 6 (Niddah), h. 246.

115 Lisa Aiken, loc. cit. dan dalam Holy Bible, Guelp, Ontario: The Gideons International in Canada, h. 516, diistilahkan dengan The Night Monster.

116 Riffat Hasan memparmasalahkan, mengapa selalu dikatakan Adam wa zawj, sekiranya Adam laki-laki maka kata paling tepat digunakan ialah kata zawjah. (Lihat Riffat Hasan, "Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam," dalam Ulumul Qur'an, Vol.1, 1990/1410 H., h. 51). Akan tetapi alasan ini lemah, karena kata zawj tidak mesti berarti isteri, dan tidak mesti memakai huruf ta marbutah (zawjah) sebagai simbol perempuan (muannats) untuk menunjukkan makna isteri, karena yang ditekankan pada ayat ini ialah pasangan (pair), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan (Q., s. Thaha/20:53 dan s. al-Syura/42:11). Lagi pula kata ganti (dlamir) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamir mudzakkar, di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zawjuk-a 'l-jannah (Q., s. al-Baqarah/2:35 dan s. al-A'raf/7:19). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kid) dengan kata anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.

117 Muhammad al-Razi Fakhr-u 'l-Din al-'Allamah Shaba'-u 'l-Din 'Umar, Tafsir al-Razi, Juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h.179. Dengan begitu, kata min dari kata al-nafs al-wahidah bukan menunjuk kepada penciptaan awal (ibtida' al-takhliq) tetapi hanya sebagai ibtida' al-ghayah. Jadi asal-usul Hawa bukan dari Adam tetapi dari unsur "Gen Yang Tunggal" dari mana seluruh makhluk hidup berasal. Sedikit koreksi kepada Komentar Yusuf Ali dalam The Holy Quran-nya bahwa tidak benar al-Razi yang berpendapat bahwa dhamir "ha" bukan Adam tetapi dari nafs. Hanya al-Razi mengungkapkan pendapat ulama lain (al-Ishfahani), sebagaimana ciri tafsir al-Razi selalu mengungkapkan pendapat lain sebagai perbandingan.

118 Lihat S.V. Mir Ahmed Ali dengan special notes/musyarrih, Hujjatul Islam Ayatullah Haji Mirza Mahdi Pooya Yazdi, The Holy Qur'an, Karachi, Pakistan: Muhammad Khaleel Shirazi, 1964, h. 359.

119 "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dan jenis binatang ternak pasang-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

120 Menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams), bulan (al-qamar), langit (al-sama'), angin (al-rih), tanah, bumi (al-ardl), jiwa (al-nafs), dan lain sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats)? Boleh jadi ini berkaitan dengan mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnyayang menganut faham The Mother God. Bulan misalnya dianggap sebagai "Ibu Alam Semesta" (The Mother, of Universe) karena mempunyai cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan Bulan Sabit menjadi semacam lambang "Palang Merah" dunia Islam. (Lihat Barbra Walker, The Women's Encyclopaedia of Myths and Sacrets, San Fransisco, Harper & Row, 1983, h. 669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993, h. 30-31.

Proses peralihan The Mother God ke The Father God membawa implikasi sosial. Beralihnya masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki dinilai mempunyai hubungan dengan,peralihan itu. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dianggap merombak sistem dan struktur masyarakat matriarki yang pernah dibangun oleh mitologi sebelumnya ke sistem patriarki. (Lihat misalnya Merlin Stone, When God was a Woman, New York, London: A Havest/HBJ Book Harcourt Brace Jovaniche, 1976., dan J. Edgar Bruns, God as Woman, Woman as God, New York, Paramus, Toronto: Paulist Press,1973. Akan tetapi Susan Starr Scred tidak setuju membesar-besarkan agama sebagai faktor paling dominan dalam pembentukan suatu sistem masyarakat seperti masyarakat matrifocal atau patrifocal, matriarcal atau patriarcal, dan matrilineal atau patrilineal, karena faktor ekologi dan budaya juga sangat menentukan. Lihat Susan Starr Scred, Priestess, Mother, Sacred Sister Religious Dominated by Women, NewYork, Oxford. Oxford University Press, 1984, h, 284.

121 Misalnya dalam Q., s. al-A'rif/7:56 (In-na rahmat-a 'l-Lah-i qarib-un min al-muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib.

122 Lihat misalnya Susan Weidman Schneider,Jewish and Female; Choices and Changes in Our Lives Today, New York: Simon and Schuster,1984, dan Philip Culbertston, The Future of Male Spirituality, New Adam, Minneapolis: Foetress Press, 1992.

123 Di antara karya Fatima Mernissi yang paling populer ialah The Veil and the Male Elite, a Feminist Interpretation of Women's Right in Islam, yang edisi Inggrisnya diterbitkan di 21 kota Dalam buku ini Mernissi antara lain seolah menggugat kalangan Penguasa dan ulama memberikan muatan kultur Arab berlebihan terhadap beberapa Ayat dan Hadits, terutama sesudah Rasulullah wafat.

124 Holy Bible, op. cit, h. 2.

125 Lihat Judith R Baskin (Ed.), Jewish Woman Historical Prospective Detroit: Wayne State University Press, 1991, h. 79. Bandingkan dengan kedudukan perempuan dalam pandangan gereja yang diilustrasikan oleh Nelle Morton sebagai berikut:

GOD
MAN
WOMAN
CHILD
EARTH

Perempuan ditempatkan di bawah Tuhan dan laki-laki dan di atas anak-anak dan bumi. (Nelle Morton, Preaching the Word, dalam Alice L. Hageman (Ed)., Sexist Religion and Women in the Church, New York: Assosiation Press, 1974, h. 42).

126 Denise Lardner Carmody, Mythological Woman, Contemporary Reflections on Ancient Religious Stories, New York: Crossroad, 1992, h. 154-155.

127 Lihat misalnya kisah-kisah Adam dan pasangannya dalam Q., s. al-Baqarah/2:34-38, s. al-A'raf/7:11-27, s. Thaha/20:115-123.

128 Dikutip dari al-Razi, op: cit., Juz III, h. 2.

129 Muhammad Rasyid Ridla', Tafsir al-Manar, juz IV, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H., h. 330.

130 Wiebke Walther, Women in Islam, from Mediaeval to Modern Time, New York: Markus Wiener Publishing Princeton, 1993, h. 51.

131 Yang dimaksud ayat-ayat essensial di sini ialah ayat-ayat yang menjadi tema pokok dalam al-Qur'an, seperti melaksanakan amanah (Q., s. al-Nisa'/4:58), mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q., s. al-Nahl/16:90), menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (Q., s. Alu 'Imran/ 3:104), dan men-tawhid-kan Tuhan (Q., s. al-Ikhlash/112:1-40).

132 Pendapat pertama dipegang oleh jumhur Ulama dengan alasan bahwa meskipun ayat-ayat itu diturunkan dalam suatu sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum (am), jadi mereka mengutamakan bunyi teks dari pada konteks, lagi pula menurut mereka, al-Qur'an tidak hanya untuk dijadikan petunjuk oleh masyarakat tempat dan waktu di mana al-Qur'an diturunkan tetapi juga untuk masyarakat sampai akhir zaman. Fungsi sabab nuzul lebih banyak merupakan penguat penjelasan (bayan ta'kid), dan sangat terbatas yang sampai ke bayan takhshish, yang berfungsi untuk mengkhushushkan jangkauan ayat, sebagai konsekuensi pada kaidah pertama (al-'ibrah bi 'umu-m al-lafdh, la-bi khushu-sh al-sabab), bahkan ada yang mengatakan ayat-ayat tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan riwayat sabab nuzul, karena ayat-ayat itu turun kebetulan pada saat terjadinya sebab itu. Pendapat yang kedua cenderung dipegang oleh al-Syathibi yang terkenal dengan kitabnyaAl-Muwafaqat-nya. Kalau jumhur penekanannya pada analisa teks maka Syathibi lebih berorientasi kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah) dan dengan demikian selain mengandalkan teknik analogi (qiyas) dengan memperhatikan secara cermat semua unsur qiyas, juga lebih berkonsentrasi kepada kajian konteks dari pada detail teks. Orisinalitas pendapat al-Syathibi terletak di antara dua kaidah (pertama dan ketiga) di atas, dan seolah-olah ingin mengembangkan kaidah lain bahwa yang dijadikan pegangan ('ibarah) ialah yang lebih dekat mengantar kepada tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Kedudukan teks (lafzh) ditempatkan sejajar dengan sabab nuzul sambil melakukan penelitian kritis (istiqra') terhadap dalil-lalil lain, kemudian dipilih atau dibentuk suatu bentuk solusi. Sedangkan pendapat ketiga berpegang kepada kaidah al-'ibrah bi khushush al-sabab la-bi 'umum al-lafzh, pendapat ini tidak umum di kalangan ulama.

133 Lihat kembali catatan kaki nomor 131.

134 Konsep Madinah (kota) diuraikan dengan menarik oleh Nurcholish Madjid bahwa Madinah berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyah atau tamaddun yang berarti "peradaban" (civilization). Secara literal madinah adalah "tempat peradaban", atau suatu lingkungan hidup yang ber-"adab" (kesopanan, "civility"), yakni tidak "liar". Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadlarah, satu akar kata dengan hadlir (Indonesia: "hadir") yang menunjuk kepada pengertian "pola hidup menetap di suatu tempat" (sedentary). Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata konsep tersebut ialah badawah, badiyah, atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), terkesan primitif, seperti pola kehidupan padang pasir. Kata badawah seakar kata dengan ibtida', seperti dimaksud pada "madrasah ibtidaiyyah" (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah (bedouin). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadma, 1992, h. 312-313.

135 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, h. 271.

136 Ibid, h. 278.

137 Lihat Masdud Hasan, Sayyid Abul A'la Al-Mawdudi and His Thought, Vol. II, Lahore Pakistan: Islamic Publication (Pvt) Ltd., t.th, h. 493. Lihat pula Farhat Haq, Islamic Reformism and the State: The Case of the Jammiat-i-Islami at Pakistan, (Dissertation), Ithaca: Cornell University, 1988, h. 280.

138 Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manthur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, Juz XI, Beirut: Dar Shadir, h, 67.

139 Lihat Talmud op. cit, Vol. II (Erubin) h. 100b.

140 Lihat Lisa Aiken op. cit., h. 21, yang mengutipnya dari Me'am Loez on Genesis 3:17-19.

141 Bible, op. cit., h. 2.

142 Ibid.

143 Lihat Thomas Buckley and Alma Gottlies (Ed.), Blood Magic, the Antropology of Menstruation, Berkeley, Los Angeles, London: University ff California Press, 1988, h. 6-7. Lihat Pula PaulaWeidger, Menstrual and Menopause, The Physiology and Psychology, The Myth and Reality, New York: Alfred. A. Knoft., 1976, h. 85.

144 Kata kosmetic itu sendiri berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Juga berhubungan dengan kata cosmology, yang menunjuk kepada kajian astronomi tentang keserasian antara ruang dan waktu (space-time relationship) yang juga menjadi sasaran kajian metafisik. Istilah lain yang erat hubungannya kata tersebut ialah kata cosmogony yang berarti deskripsi tentang asal-usul alam semesta (description of the origin of the universe). Juga dengan kata cosmography berarti deskripsi tentang keserasian lmgkungan alam (description of the order of nature). Akan tetapi istilah "kosmetik" yang sekarang menjadi alat kecantikan wanita lebih dekat kepada kata cosmetikos tadi, berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota badan wanita guna menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam. (Lihat Judi Grahn, Blood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993, h. 72-73).

145 Lihat ibid., h. 89-95.

146 Misalnya dalam Q., s. al-Ahzab/33:59 dan s. al-Nur/24:31.

147 Ada beberapa istilah yang semakna dengan jilbab (veil) dalam Kitab Tawrat, antara lain tif'eret. (Isaiah: 3:19-20). Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru dari pada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam Agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami. ...the woman going out in public pleaces with uncovered constituted legitimate cause for divorce, as through it were synonimous with unfaitfullness. Lihat Louis M. Epstein, Sex Laws and Customs in Judaism, New York: Ktav Publishing House, INC., 1967, h. 41.

148 Istilah yang sepadan dengan cadar atau kerudung dalam Bible ialah: redid zammah, re'alah, za'if, mitpahat. Lihat ibid. h. 37.

149 Ibid, h. 36.

150 Ibid.

151 Penggunaan kata "hood" dalam bahasa Inggris yang berarti "kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher" dan kata hat berarti "topi" mempunyai kedekatan makna -dan boleh jadi berasal dari akar kata yang sama-- dengan kata hut berarti "bangunan sementara (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis makna kata hut berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata "hood" selain berarti kerudung/cadar, juga berarti "penjahat" dan "buaya darat". Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.

152 Judi Grahn, op. cit., h. 91-92.

153 Kata haydl adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur'an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Tawrat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haydl, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. Lihat Louis Ma'luf, Al-Munjid fi- al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987, h.164. Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa'd, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu "mengalir, menampal". Lihat Lisan al-Arab al-Muhith, Beirut: Dar Lisan al-'Arab, Juz 1, t.t., h.770. Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur'an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti "jalan keluar" terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.

154 Q., s. al-Thalaq/65:4 dan s. al-Baqarah/2:222.

155 Lihat Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Juz 1, h. 258.

156 Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang lain. Lihat ibid., h. 259-260.

157 Kata adzan menurut bahasa berarti sesuatu yang keji dan tidak diinginkan (ma yukrihu min kulli syay'), karena itu kata adzan dalam tafsir yang berbahasa Indonesia sering diartikan dengan penyakit dan juga sering pula dengan kotoran. Bahkan menurut Thabathaba'i darah haid itu sendiri bukan dzat ('ayn)-nya yang darurat melainkan sesuatu yang dari luar (dlarurah lighayrih) kemudian memberi nilai tersendiri, seperti firman Allah dalam s. al-Ahzab/33:57: "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Maksudnya bukan menyakiti Allah dan Rasul-Nya secara fisik melainkan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam ayat haydl tadi, bukan haydl-nya ansich yang adzan tetapi karena kedatangan darah haid itu setiap bulan dan membawa masalah bagi wanita. Lihat Thabathaba'i; Tafsir al-Mizan, Juz 2, h. 207.

158 Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz h. 64.

159 Kata thaharah termasuk kata yang sering muncul dalam kitab suci terdahulu, seperti dalam kitab Taurat sering dihubungkan dengan mikvah/family purity yaitu melakukan mandi secara ritual dengan air yang telah diberkahi, biasanya pada petang hari ketujuh masa menstruasi. Lihat Lisa Aiken, ibid, h. 164-165. Makna thaharah tersebut mempunyai kemiripan fungsi dalam Islam, yaitu melakukan pembersihan sesudah melakukan persetubuhan atau seusai menjalani menstnrasi. Hanya dalam Tafsir al-Alusi memberikan komentar bahwa yang dimaksud bersih dari ayat tersebut ialah pembersihan secara hakiki, yakni melakukan pembersihan diri secara sempurna (al-thaharah al-kamilah) dengan mandi, maksudnya berhentinya haid tidak bisa dijadikan ukuran tetapi mandi wajib sesudah haid itulah yang dijadikan 'ibarah. Al-Alusi cenderung sependapat dengan 'Ashim yang membaca yaththahharna (dengan tasdiq) yang memfaedahkan upaya intensif untuk membersihkan diri. Lihat Tafsir al-Alusi, Juz 2.: h.123. Imam Syafi'i cukup dengan mandi seperti mandi janabah, yakni menbasahi seluruh anggota badan, sebagian ulama lain seperti 'Atha' dan Thawus berpendapat bahwa wanita pasca haid mesti mandi dan berwudlu. Lihat al-Razi dalam op. cit" h. 69.

160 Angka tujuh di sini semata-mata berdasar pada kebiasaan wanita bahwa umumnya mereka menjalani masa haid selama tujuh hari, tidak ada hubungannya sama sekali dengan angka tujuh seperti yang dianut dalam agama Yahudi. Ini bisa dilihat dalam diskursus empat imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, sama sekali tidak pernah ada yang menyinggung hubungan antara angka tujuh hari dengan penciptaan dan perilaku makrokosmos.

161 Lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Juz 1, ...h.258.

162 Lihat Tafsir al-Nahr al-Mad, Juz 1, h. 216.

(sebelum)


Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team