Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.10. KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN        (1/4)
oleh Nurcholish Madjid
 
Masalah  kebahagiaan  (sa'adah)  dan  kesengsaraan  (syaqawah)
adalah  masalah  kemanusiaan  yang paling hakiki. Sebab tujuan
hidup  manusia  tak  lain  ialah  memperoleh  kebahagiaan  dan
menghindari  kesengsaraan.  Semua  ajaran,  baik yang bersifat
keagamaan  maupun  yang  bersifat  keduniaan  semata  (seperti
Marxisme,   misalnya)   menjanjikan   kebahagiaan   bagi  para
pengikutnya   dan   mengancam   para    penentangnya    dengan
kesengsaraan.   Gambaran   tentang   wujud   kebahagiaan  atau
kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran  dan
ideologi    selalu    menegaskan    bahwa   kebahagiaan   yang
dijanjikannya  atau  kesengsaraan  yang  diancamkannya  adalah
jenis yang paling sejati dan abadi.
 
Dalam  agama-agama,  gambaran  tentang  wujud  kebahagiaan dan
kesengsaraan  itu  dinyatakan  dalam   konsep-konsep   tentang
kehidupan  di  surga dan di neraka. Meskipun ilustrasi tentang
surga dan neraka itu berbeda-beda --dalam banyak hal perbedaan
itu  sangat radikal dan prinsipil-- namun semuanya menunjukkan
adanya keyakinan yang  pasti  tentang  pengalaman  kebahagiaan
atau kesengsaraan dalam hidup manusia.
 
Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi hanya di dunia
ini saja seperti dalam Marxisme, atau di akhirat saja  seperti
dalam  agama-agama  other-wordly,  atau  di  dunia dan akhirat
seperti dalam Islam. Kitab Suci  al-Qur'an  menyajikan  banyak
ilustrasi  dan  penegasan  yang  kuat  tentang kebahagiaan dan
kesengsaraan Dalam sebuah firman disebutkan tentang terbaginya
manusia   ke   dalam   dua  kelompok:  yang  sengsara  (syaqiy
penyandang syaqawah, yakni,  kesengsaraan)  dan  yang  bahagia
(sa'id,  penyandang  sa'adah,  yakni  kebahagiaan).  Al-Qur'an
melukiskan keadaan itu demikian,
 
Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akan
berbicara  kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi
menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia.
 
Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal  dalam  neraka
di  sana  mereka  akan  berkeluh  kesah semata. Kekal abadi di
dalamnya, selama langit  dan  bumi  masih  ada,  kecuali  jika
Tuhanmu   menghendaki   hal   berbeda.   Sebab  Tuhanmu  pasti
melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
 
Ada pun mereka yang bahagia, maka  akan  berada  dalam  surga,
kekal  abadi  di  dalamnya,  selama  langit dan bumi masih ada
kecuali jika Tuharmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah
yang tiada batasnya. (QS. Hud/11:105-108)
 
Munculnya  persoalan  pengertian  kebahagiaan dan kesengsaraan
ini dalam Islam,  patut  kita  bahas  secara  sungguh-sungguh,
disebabkan  adanya  perbedaan interpretasi atas ayat-ayat suci
yang   menggambarkan   kebahagiaan   dan   kesengsaraan   itu.
Perselisihan  tentang wujud kebahagiaan atau kesengsaraan itu,
yaitu,  apakah  berupa  pengalaman  kerohanian  semata,   atau
pengalaman  jasmani  semata,  ataukah  pengalaman  rohani  dan
jasmani sekaligus, merupakan bagian dari  dialog  Islam  sejak
masa klasik.
 
Dalam  tulisan  ini  kita akan membicarakan konsep kebahagiaan
dan kesengsaraan sebagai pengalaman keagamaan  (pribadi).  Ini
akan banyak menyangkut konsep-konsep kefilsafatan dan kesufian
yang cukup rumit, namun dirasa perlu  kita  mulai  membahasnya
mengingat  perkembangan  keagamaan  di  negeri kita yang pesat
dengan tuntutan-tuntutannya yang terus meningkat.
 
KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN: JASMANI DAN ROHANI?
 
Di atas telah disinggung, sebagian  agama  mengajarkan  adanya
kebahagiaan  dan  kesengsaraan rohani semata. Bagi agama-agama
itu, kehidupan jasmani adalah  kesengsaraan,  karena  sifatnya
yang  membelenggu  sukma  manusia. Kebahagiaan hanya diperoleh
dengan  tindakan  dan  perilaku  meninggalkan   dunia,   dalam
orientasi hidup yang mengarah ke kehidupan rohani saja.
 
Marxisme,  tentu  saja, mengajarkan tentang adanya kebahagiaan
atau kesengsaraan yang  hanya  bersifat  jasmani,  dan  dengan
sendirinya,  semua  itu berlangsung hanya dalam hidup di dunia
ini saja.  Ateisme  dengan  sendirinya  mengingkari  kehidupan
sesudah  mati  atau  akhirat. Kaum Marxis yang ateis ini mirip
dengan  gambaran  dalam  al-Qur'an  tentang  golongan  manusia
pemuja  waktu  (al-Dahr),  yang  hanya  mempercayai  kehidupan
duniawi  ini  saja,  dan  kematian  adalah  fase  final  hidup
manusia,  bukan  fase  peralihan  seperti diyakini agama-agama
(Lihat QS. al-Jatsiyah/45:24).
 
Islam mengajarkan kebahagiaan  dan  kesengsaraan  jasmani  dan
rohani  atau  duniawi  dan  ukhrawi,  namun  tetap  membedakan
keduanya.   Dalam   Islam,   seseorang   dianjurkan   mengejar
kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar jangan melupakan
nasibnya   dalam   hidup   di    dunia    ini    (Lihat    QS.
al-Qashash/28:77).  Itu berarti memperoleh kebahagiaan akhirat
belum tentu dan tidak dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan
di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi
belum tentu akan  mendapatkan  kebahagiaan  di  akhirat.  Maka
manusia  didorong mengejar kedua bentuk kebahagiaan itu, serta
berusaha menghindar dari penderitaan azab lahir dan batin (QS.
al-Baqarah/2:200).
 
Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia
sekaligus di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka  yang
beriman  dan  berbuat  baik.  Kehidupan  yang bahagia di dunia
menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan yang lebih  bahagia
di akhirat.
 
Barangsiapa  berbuat  baik,  dari kalangan pria maupun wanita,
dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan  kepadanya
kehidupan  yang  baik  (di  dunia),  dan  pastilah  akan  Kami
ganjarkan kepada mereka pahala  mereka  (di  akhirat),  sesuai
dengan   sebaik-baik  apa  yang  telah  mereka  kerjakan  (QS.
al-Nahl/16:97).
 
Demikian  itu  masalah  kebahagiaan,  demikian  pula   masalah
kesengsaraan.  Orang  yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat
jahat diancam baginya kesengsaraan dalam hidup  di  dunia  ini
sebelum kesengsaraan yang lebih besar kelak di akhirat,
 
Adapun  orang-orang  yang  jahat,  maka  tempat  mereka adalah
neraka. Setiap kali mereka hendak  keluar  dari  sana,  mereka
dikembalikan  ke  dalamnya,  sambil  dikatakan  kepada mereka:
"Sekarang  rasakanlah  azab  neraka  ini,  yang  dahulu   kamu
dustakan."  Dan  pastilah  Kami  (Tuhan) buat mereka merasakan
azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang  lebih
besar (di akhirat nanti) agar kiranya mereka mau kembali. (QS.
al-Sajdah/32:20-21)
 
Penegasan-penegasan ini  tidak  perlu  dipertentangkan  dengan
penegasan-penegasan  terdahulu  di  atas  bahwa  ada perbedaan
antara kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi, dan  bahwa
tidak  selamanya  mengejar  salah  satu akan dengan sendirinya
menghasilkan yang lain. Tapi memang ada dan  banyak,  perilaku
lahir  dan  batin  manusia  yang  membawa  akibat  pada adanya
pengalaman kebahagiaan atau kesengsaruan duniawi  dan  ukhrawi
sekaligus.  Beberapa  nilai  akhlak luhur seperti jujur, dapat
dipercaya, cinta  kerja  keras,  tulus,  berkesungguhan  dalam
mencapai  hasil  kerja  sebaik-baiknya  (itqan),  tepat janji,
tabah,  hemat,  dan  lain-lain  adalah  pekerti-pekerti   yang
dipujikan  Allah sebagai ciri-ciri kaum beriman. Ciri tersebut
akan membawa  mereka  pada  kebahagiaan  duniawi  dan  ukhrawi
sekaligus,  dengan  kebahagiaan  di  akhirat  yang  jauh lebih
besar.
 
MASALAH INTERPRETASI
 
Meskipun para ulama sepakat  tentang  adanya  kebahagiaan  dan
kesengsaraan   dunia-akhirat   itu,  mereka  tetap  berselisih
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan yang sejati dan abadi
 
Pangkal perbedaan itu ialah adanya  perbedaan  dalam  tafsiran
atas   berbagai   keterangan   suci  tentang  kebahagiaan  dan
kesengsaraan, baik dari al-Qur'an  maupun  Sunnnah,  khususnya
keterangan  atau  pelukisan  tentang  surga  dan  neraka Yaitu
perbedaan antara mereka yang memahami  teks-teks  suci  secara
harfiah  dan  mereka  yang  melakukan  interpretasi  metaforis
(ta'wil)
 
Bagi mereka yang memahami teks-teks suci itu  secara  harfiah,
pengertian tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akan cenderung
bersifat fisik. Sebab hampir seluruh keterangan dan  pelukisan
tentang  surga dan neraka dalam Kitab dan Sunnah menggambarkan
tentang pengalaman kebahagiaan atau  kesengsaraan  yang  serba
fisik.  Kemudian  ada  beberapa  keterangan,  baik dalam Kitab
maupun  Sunnah   yang   memberi   isyarat   bahwa   pengalaman
kebahagiaan dan kesengsaraan itu tidak fisik, melainkan rohani
atau sekurang-kurangnya psikologis.
 
Dalam  kemungkinan  tinjauan  yang  lebih   menyeluruh,   yang
dikaitkan  dengan  "kebijaksanaan"  Tuhan  sebagai  yang  Maha
Kasih-Sayang dan Maha Adil,  maka  pelukisan  kebahagiaan  dan
kesengsaraan  apa  pun  harus  diterima  sebagai  sesuatu yang
wujudi atau eksistensial, dan  harus  dipahami  dalam  konteks
adres pembicaraan (al-mukhathab). Ibn Rusyd mengaitkan perkara
ini dengan kenyataan terbaginya manusia dalam  susunan  tinggi
dan  rendah,  yang  melahirkan  piramida eksistensial, manusia
dengan kaum khawas (al-khawash atau  orang-orang  khusus,  the
specials)   menempati  puncak  piramida  itu,  dan  kaum  awam
(al-awam  orang-orang  umum  atau  kebanyakan,  the   commons)
menempati  bagian-bagian  bawah sampai ke dasar piramida. Kaum
awam  ini  membentuk  bagian   terbesar   struktur   piramidal
masyarakat manusia.
 
Meskipun pendekatan  ini  mengesankan  elitisme,  namun  dalam
pandangan  Ibn  Rusyd  tidaklah  terhindarkan karena kenyataan
dalam masyarakat menunjukkan adanya orang-orang tertentu  yang
jumlahnya  tidak  banyak,  yang  sanggup  memahami  kebenaran-
kebenaran  hakiki  lewat  alegori-alegori   dengan   melakukan
"penyeberangan"    (al-i'tibar)    ke    pengertian-pengertian
sebenarnya di balik alegori-alegori. Bagi mereka ini,  seluruh
keterangan  tentang  kebahagiaan  dan  kesengsaraan, berbentuk
pelukisan kehidupan di surga dan neraka dalam Kitab  Suci  dan
Sabda  Nabi,  adalah  metafor-metafor  atau makna-makna kiasan
(majaz).  Mereka  yang  mampu  memahaminya  dengan   melakukan
al-i'tibar,   jika   mendapatkan   bahwa   pengertian  harfiah
pelukisan itu adalah mustahil atau absurd, menurut  Ibn  Rusyd
wajib  melakukan  pemahaman  serupa  itu.  Pemahaman  me lalui
metode  i'tibar  adalah  interpretasi  alegoris  atau  ta'wil.
Dengan  jalan  itu kaum khawas dapat menerima agama dan rahmat
yang dikandung  agama  itu  pada  dataran  yang  lebih  tinggi
daripada kaum awam.
 
Tapi  Tuhan  Yang  Maha  Adil  dan  Maha  Kasih-Sayang  kepada
sekalian  umat  manusia tentu mustahil mengalamatkan sabda-Nya
hanya kepada orang-orang khusus yang  jumlahnya  sedikit  itu.
Sebab  dengan  demikian  berarti Tuhan menjanjikan kebahagiaan
hanya kepada kelompok kecil manusia saja, suatu hal yang jelas
mustahil yang kualifikasi kelompok kecil itu ialah kesanggupan
memahami hal-hal abstrak di  balik  ungkapan-ungkapan  kiasan.
Karena  itu  Tuhan  juga mengarahkan sabda-Nya kepada khalayak
umum,  sesuai  dan  setingkat  dengan  cara   berfikir   serta
kemampuan  mereka menangkap pesan dan memahami masalah. Karena
itu,  dalam  pandangan  Ibn  Rusyd  dan  para  filsuf  Muslim,
pelukisan  tentang  kebahagiaan  dan  kesengsaraan dalam Kitab
Suci dan Sunnah Nabi kebanyakan bersifat fisik, karena  memang
pelukisan  yang bersifat fisik itulah yang dapat ditangkap dan
dipahami umum. Karena yang pokok ialah iman kepada Allah serta
berbuat  baik, maka pengertian tentang hakikat kebahagiaan dan
kesengsaraan itu menjadi kurang relevan bagi kaum awam. Mereka
ini  wajib  menerima  pelukisan  tentang  surga dan neraka apa
adanya, sesuai  dengan  cara  yang  sekiranya  akan  mendorong
mereka  berbuat  baik  dan mencegah dari berbuat jahat. (Lihat
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqa]).
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team