|
|
|
|
|
VI.50. HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA (3/4)
Oleh Mochtar Pabottinggi
Segenap hak-hak individu dan sosial yang luhur dari bangsa
kita tersangkut di dalam falsafah negara kita. Untuk itulah
kita semua perlu waspada. Tidak dengan menarik kembali garis
hitam putih atau kawan-lawan model zaman Demokrasi Terpimpin.
Alternatif demikian harus diletakkan paling akhir. Kewaspadaan
bisa berlaku melalui usaha-usaha bersama dari kalangan
intelektual, negarawan, dan pemuka masyarakat untuk kembali
mengasah ke saran politik kita disertai sikap dewasa dan visi
antisipatif. Dalam hal ini kita perlu kembali menyadari dari
mana kita berasal dan arah mana yang mesti kita tuju.
Kewaspdaan bisa diperoleh dengan terus menggalakkan kegairahan
berdialog secara arif dan matang selidik (well-informed) di
antara seluruh potensi akal budi bangsa kita. Ia juga
diperoleh dengan kesediaan untuk terus-menerus bertanding
melawan kekuatan-kekuatan materil yang senantiasa cenderung
membuat kita terjebak dalam berhala-berhala baru.
Juga diperlukan sikap sabar dalam artinya yang tepat. Tanpa
sikap ini kita tak ubahnya dengan golongan-golongan politik
yang merasa, berpikir, dan bertindak seolah-oIah merekalah
wakil-wakil resmi "Tuhan" -dari kalangan komunis, dari
kalangan agama, maupun dari kalangan mereka yang visinya
tertutup oleh obsesi tentang pembangunan. Sikap ini amat
penting terutama jika kita menyadari bahwa prinsip Hegel yang
digalakkan oleh Marx tentang tesa, antitesa, dan sintesa
sesungguhnya bukanlah tiga arus yang susul-menyusul. Bisa saja
sejarah bolak-balik antara tesa dan antitesa, dengan sintesa
yang terus tertunda. Atau bisa juga ketiganya tak hentinya
bertumpang tindih. Dengan perspektif itulah kita harus melihat
perkembangan dahsyat di Eropa Timur sekarang.
Di atas semuanya, kedewasaan kita peroleh dengan menekankan
bahwa sikap partikularitas dan universitas Pancasila yang ada
bukan hanya hak-hak melainkan juga kewajiban-kewajiban
individual/sosial. Bisa dikatakan bahwa partikularitas sejarah
bangsa Indonesia lahir karena para pejuang kemerdekaan kita
telah menunaikan kewajibannya menerjemahkan prinsip
universitas itu dalam kondisi masyarakat bangsanya. Bisa juga
dikatakan bahwa mereka telah mengangkat partikularitas
pengalaman kolektif bangsa Indonesia yang tertindas kepada
suatu tatanan yang lebih tinggi -suatu transendensi yang
mencapai universalitas. Sudah kita ketahui bahwa hak dan
kewajiban adalah dua hal yang saling membangkitkan. Tapi
sesungguhnya alangkah rumitnya persoalan ini begitu kita
berhadapan dengan masalah-masalah aktual yang telah, sedang,
dan akan dihadapi oleh bangsa kita dan alangkah besarnya
partisipasi akal budi yang diperlukan untuk menanggulanginya
secara bertanggungjawab.
Pada tahun 1919 sejumlah petani dan seorang pemuka agama
di suatu desa di Garut menolak keharusan menyerahkan
padi dengan harga murah kepada Belanda. Sang haji
beserta pengikut-pengikutnya tewas dalam mempertahankan
apa yang mereka yakini sebagai haknya.
Pada sore hari 10 Febuari 1924, Bapak Kajah memimpin
puluhan orang berjubah putih lengkap dengan
senjata-senjata tajam tradisional dan berselempang
jimat-jimat sepanjang jalan Tangerang-Batavia. Tujuannya
ialah menyerbu penjara yang baru didirikan di Tanah
Tinggi sebagai tantangan terbuka terhadap kekuasaan
Belanda demi menegakkan suatu kerajaan baru yang penuh
keadilan. Bapak Kajah beserta segenap pasukannya tewas
seketika di ujung senapan Belanda.
Tahun 1973 terjadi huruhara anti Cina di Bandung hingga nyaris
mengulangi huruhara yang sama di banyak bagian Jawa Barat
sepuluh tahun sebelumnya. Pada 15 Januari 1974 meledak
Peristiwa Malari di Jakarta dan Peristiwa Muncar di Jawa Timur
yang melibatkan ribuan nelayan. Sebelumnya keributan yang sama
telah terjadi di Bagansiapi-api. Tahun 1980 kembali meledak
huruhara anti Cina yang meluas di beberapa kota Jawa Tengah
hingga mencapai Jawa Timur. Tahun 1984 pecah Peristiwa Priok
yang menewaskan puluhan orang. Awal tahun 1989 menghentak kita
dengan Protes Petani Kedunggombo, kekerasan di Lampung, dan
politisasi "biskuit beracun."
Pola-pola apakah yang dapat tertangkap dari semua catatan di
atas? Pelajaran-pelajaran apakah yang dapat ditarik?
Kompleksitas apakah yang tergambar sehubungan dengan
pembicaraan kita mengenai hak-hak individu dan sosial di
Indonesia? Dan jalan keluar apakah yang sebaiknya kita tempuh
agar rentetan pemberontakan kecil itu tidak lalu membola salju
dan menghantam Republik kita dalam wujud malapetaka politik
yang sama-sama tidak kita inginkan?
Dari rangkaian catatan di atas kita berhadapan dengan
pola-pola tentang rasa dan praktek keadilan yang rancu dan
kacau. Katakanlah di situ bergalau keadilan melenarian lawan
keadilan rasional, keadilan lokal lawan keadilan pusat,
keadilan primordial lawan keadilan nasional, keadilan
ideologis lawan keadilan pragmatis, dan keadilan subsistensi
lawan keadilan korporasi.
Adalah keliru jika kita langsung memandang masalah hak-hak
individual sebagai suatu masalah politik, yakni sebagaimana
yang umumnya tersirat dalam ungkapan "hak-hak azasi manusia."
Sebelum menjadi masalah politik, hak-hak individual adalah
suatu masalah kultural. Apa yang kita sebut "hak-hak
individual" tak lain dari hasil suatu kontrak sosial. Dengan
menyebutkan kontrak sosial, kita seolah-olah memang langsung
memasuki dunia politik. Kesan ini lebih diperkuat lagi oleh
kenyataan bahwa para pemikir klasik tentang kontrak sosial itu
(Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau) luput
atau sedikit sekali menangkap sentralitas faktor kebudayaan
dalam analisa mereka. Diskursus pengetahuan mereka umumnya
masih monokultural dan sangat Eurosentris. Keseluruhan tradisi
ilmu politik mereka belum sepenuhnya memperhitungkan adanya
keragaman pengalaman budaya atau keragaman harapan-harapan
sosial (Social Expectation) pada umat manusia.
Kontrak sosial mengandaikan adanya resiprokalitas atau saling
pengertian budaya. Maka sinyalemen tentang adanya pengingkaran
terhadap hak-hak individual pada masyarakat bangsa kita,
misalnya, masih harus dihadapkan pada serangkaian pertanyaan.
Apakah itu benar-benar merupakan pengingkaran (yaitu dengan
asumsi bahwa sudah terdapat resiprokalitas sistem nilai dalam
masyarakat bangsa kita)? Atau apakah itu disebabkan oleh
adanya kesenjangan budaya, sehingga menghambat terjadinya
resiprokalitas budaya? Atau apakah pengingkaran hak-hak
individual itu tidak justru lahir dari rasa keterancaman
eksistensial pada pihak-pihak yang (dipandang) mengingkarinya?
Dengan kata lain, pada kategori terakhir berlaku semacam
antagonisme parah antara kelompok-kelompok masyarakat,
sehingga tiap hak yang diperoleh suatu kelompok dipandang oleh
kelompok lain sebagai ancaman.
Bangsa Indonesia mungkin termasuk di antara bangsa-bangsa
dimana tingkat-tingkat kemajuan dan pencerahan antara kelompok
masyarakat paling beragama sekaligus paling senjang di dunia.
Dengan kebudayaan etnis yang berbeda-beda sudah dapat
dipastikan bahwa harapan-harap an sosial di dalamnya pun
berbeda-beda. Untunglah kita agak tertolong dengan kenyataan
bahwa pulau Jawa tempat hidup enampuluh persen penduduk
Indonesia juga merupakan pula yang ditandai dengan tingkat
kehidupan dan pendidikan yang relatif lebih tinggi. Tapi
memprihatinkan bahwa etnosentrisme yang masih berlaku hingga
sekarang, bahkan mungkin tanpa disadari benar juga berlaku
pada sebagian kalangan berpendidikan tinggi, membuat
resiprokalitas budaya pada bangsa Indonesia rendah sekali.
Soedjatmoko pernah mensinyalir suatu perkembangan negatif di
dunia perguruan tinggi kita merupakan ajang pertemuan
putra-putra dari berbagai daerah Indonesia dan karena itu
menjadi tempat terbinanya semangat kebangsaan yang kuat, kini
perguruan-perguruan tinggi itu cenderung berubah menjadi cagar
etnis, yakni di mana tiap perguruan tinggi berusaha sesedikit
mungkin memasukkan mahasiswa maupun tenaga-tenaga pengajar
dari kelompok-kelompok etnis luar.
Dengan penjajahan Belanda yang sangat eksploitatif,
kelompok-kelompok masyarakat pun di penggal-penggal mengikuti
suatu rekayasa politik dan kultural yang paling memudahkan dan
memaksimalkan eksploitasi. Kalangan aristokrasi pribumi,
terutama kalangan priyayi, direnggutkan integritasnya dengan
rakyat banyak sehingga tidak lagi dimungkinkan munculnya suatu
dinamik politik atau ekonomi yang autosentris seperti yang
bisa berlaku di Inggris, Jepang, dan Muangthai. Kaum imigran
sukarela atau yang didatangkan dari daratan Cina semenjak
zaman Kompeni tidak diberi peluang untuk mengikuti jejak para
pendahulunya untuk menyatu dengan masyarakat bumiputera. Skema
kolonial segera saja mengukuhkan kedudukan mereka sebagai a
nation apart. Proses kebangkitan kelas menengah yang kuat juga
dibabat oleh Belanda dengan menutup segenap jalur lalulintas
perdagangan internasional dan interinsular bumiputera yang
semula begitu ramai dan istimewa. Politik bahasa pemerintah
dan kaum kolonialis Belanda membuat bangsa Indonesia begitu
lama menjadi katak dalam tempurung. Semua proses yang
mematahkan gerak ke arah integrasi serta semua proses yang
memenjarakan dinamik menuju emansipasi, politik dan ekonomi
harus dibalikkan terlebih dahulu jika kita hendak bicara
secara produktif tentang hak-hak individu dan sosial.
Keadaan yang juga seolah-olah menimpakan kutukan kepada usaha
untuk mengembangkan dan menyantun hak-hak individual dan
sosial ialah kenyataan bahwa tingkat permusuhan antara sesama
kekuatan egaliter dalam arena politik di tanah air jauh
melebihi tingkat permusuhan antara sesama kekuatan bukan
egaliter. Bahkan kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan bukan
egaliter itu sanggup menjalin suatu kerjasama simbiosis yang
panjang dan saling menguntungkan semakin memperbesar daya
kutukan itu. Belanda, priyayi, dan imigran Cina (sesudah tahun
1619) yang kesemuanya merendahkan rakyat bumiputera
bekerjasama demikian lancarnya katakanlah hingga awal abad
duapuluh, yakni hingga Belanda tiba pada posisi yang membuat
mereka merasa tidak lagi membutuhkan mediasi kedua kelompok
ini di bidang politik dan ekonomi. Kecuali dengan "bulan madu"
beberapa tahun antara faksi Islam dan faksi komunis di dalam
Sarekat Islam atau "keakraban" kaum sosialis dan modernis
Islam di masa Demokrasi Parlementer, boleh dikata
kekuatan-kekuatan politik egaliter kita justru senantiasa
bertanding atau memangsa satu sama lain.
Islam dan Kristen yang sesungguhnya sama-sama melancarkan
proses emansipasi rakyat dari alam feodal dan takhyul
animistis dan sama-sama melakukan pencerahan
kultural-intelektual juga terus saling menatap sebagai lawan
satu sama lain. Mereka nyaris tak saling menyapa. Jabang kelas
menengah bumiputera senantiasa menempatkan kelas menengah Cina
sebagai lawan di atas segala-galanya. Begitu juga sebaliknya.
Alangkah besarnya kekuatan egaliter yang mendukung perjuangan
menuju pelaksanaan hak-hak individual jika semua
kekuatan-kekuatan ini dapat bersatu.
-------------------------------------------- (bersambung 4/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |