Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.6. KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS                           (1/2)
oleh Achmad Baiquni
 
Telah  banyak  kitab  yang   ditulis   ulama   masyhur   untuk
menafsirkan   ayat-ayat   suci   al-Qur'an   --yang  merupakan
garis-garis  besar  ajaran  Islam  itu--  dengan   menggunakan
ayat-ayat   lain   di   dalam  kitab  suci  tersebut,  sebagai
bandingan, dan dengan Sunnah Rasul sebagai penjelasan.  Namun,
dalam  al-Qur'an  sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya
ini  secara  jelas  disebutkan  sebagai   "ayat-ayat   Allah",
misalnya  dalam  surah  'Ali  Imran  190 disebut, Sesungguhnya
dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih  bergantinya  malam
dan  siang,  terdapat  ayat-ayat  Allah  bagi orang-orang yang
berakal (dapat menalar). Karenanya, maka sebagai padanan untuk
mendapatkan  arti  ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-Kaun
dapat digunakan juga ayat-ayat Allah yang berada di dalam alam
semesta ini.
 
Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan
apabila ketetapan dalam penafsiran  ayat-ayat  al-Qur'an  yang
berisi  konsep-konsep  Kauniyah  sangat bervariasi, tergantung
pada pengetahuan mufassir tentang alam  semesta  itu  sendiri.
Untuk  memberikan  contoh  yang  nyata,  kita  dapat  menelaah
ayat-ayat  berikut,  Dan  tidakkah   orang-orang   kafir   itu
mengetahui  bahwa  agama  sama,  [1]  dan  ardh [2] itu dahulu
sesuatu  yang  padu,  kemudian  kami  pisahkan  keduanya  (QS.
al-Anbiya':  30. Dan sama' itu kami bangun dengan kekuatan dan
sesungguhnya kamilah yang meluaskannya (QS. al-Dzariyat: 47).
 
Seseorang yang hidup dalam abad 9 M akan mengatakan bahwa kata
sama'  artinya  langit;  pengertiannya  ialah bahwa langit itu
adalah  sebuah  bola  super  raksasa  yang  panjang  radiusnya
tertentu,   yang  berputar  mengelilingi  sumbunya.  Dan  pada
dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan  di
malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan
segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin  bahwa
persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang
dapat diamati setiap hari,  kapan  pun  juga.  Bintang-bintang
tampak  tidak  berubah posisinya yang satu terhadap yang lain,
dan seluruh langit itu berputar-putar dalam satu  hari  (siang
dan malam).
 
Apa  yang kiranya dapat kita harapkan dari orang ini andaikata
ia  diminta  memberikan  penafsiran  (bukan  sekadar   salinan
kata-kata)  ayat-ayat  tersebut? Tentu saja ia akan memberikan
interpretasi yang sesuai dengan  persepsinya  tentang  langit,
serta  ardh  yaitu  bumi  yang  datar  yang dikurung oleh bola
langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan  bahwa  ayat  30
surah   al-Anbiya'   itu  melukiskan  peristiwa  ketika  Tuhan
menyebutkan  langit  menjadi  bola,  setelah  ia  sekian  lama
terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah tenda yang
belum dipasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa  konsep
kosmologis  dalam al-Qur'an, mengenai penciptaan alam semesta,
yang  dikemukakan  orang  itu  sangatlah  sederhana.  Dan  itu
tidaklah     benar,    karena    konsepsinya    tidak    mampu
mengakomodasikan  gejala  yang   dinyatakan   ayat   4   surah
al-Dzariyat.
 
Sebuah  langit  yang  berbentuk bola dengan jari-jari tertentu
bukanlah  langit  yang  bertambah  luas.  Apalagi   kalau   ia
melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya; tidak ada lagi
sesuatu yang lebih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu
konsepsi   mengenai   alam  semesta  yang  benar  harus  dapat
dipergunakan untuk menerangkan semua peristiwa yang dilukiskan
ayat-ayat   dalam   kitab   suci;   ia   harus  sesuai  dengan
konsep-konsep kosmologis dalam  al-Qur'an.  Untuk  mendapatkan
konsepsi  yang  benar  itu  pada  hakekatnya  telah  diberikan
petunjuk sang pencipta misalnya dalam ayat  101  surah  Yunus,
Katakanlah  (wahai Muhammad), Perhatikanlah dalam intighon apa
yang ada di sama' dan di ardh (QS. Yunus: 101). Dalam  teguran
ayat 1 dan 18 dalam surah al-Ghasyiyah, Maka apakah mereka itu
tak   memperhatikan   onta-dalam   intighon,   bagaimana    ia
diciptakan.   Dan   sama',   bagaimana  ia  ditinggikan.  (QS.
al-Ghasyiyah: 1 dan 18). Serta dalam ayat 190  dan  191  surah
Ali Imran, Sesungguhnya dalam penciptaan sama' dan ardh, serta
silih bergantinya siang dan  malam,  terdapat  ayat-ayat  bagi
orang-orang yang berakal (dapat menalar). Yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan  berbaring,  dan
pikirkan  tentang penciptaan sama' dan ardh, wahai Tuhan kami,
tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia; Maha suci Engkau,
maka  peliharalah kami dari siksa azab neraka. (QS. Ali Imran:
190 dan 191).
 
Dengan diikutinya perintah dan petunjuk ini, maka muncullah di
lingkungan   umat  Islam  suatu  kegiatan  observasional  yang
disertai dengan pengukuran, sehingga ilmu tidak lagi  bersifat
kontemplatif  belaka,  seperti  yang  berkembang di lingkungan
Yunani,  tapi  mempunyai  ciri  empiris  sehingga  tersusunlah
dasar-dasar  sains.  Penerapan metode ilmiah ini, yang terdiri
atas  pengukuran  teliti   pada   observasi   dan   penggunaan
pertimbangan  yang  rasional, telah mengubah astrologi menjadi
astronomi. Karena telah menjadi kebiasaan para  pakar  menulis
hasil   penelitian   orang  lain,  maka  tersusunlah  himpunan
rasionalitas kolektif insani yang kita  kenal  sebagai  sains.
Jelaslah  di sini bahwa sains adalah hasil konsensus di antara
para pakar.
 
Kita ingat ayat 3,  4  dan  5  surah  al-'Alaq,  Bacalah,  dan
Tuhanmulah  Yang Maha Pemurah. yang mengajar dengan qalam. [3]
Dia mengajar manusia apa yang  tidak  diketahuinya.  Penalaran
tentang    "bagaimana"    dan   "mengapa",   yang   menyangkut
proses-proses alamiah di  langit  itu,  menyebabkan  timbulnya
cabang  baru  dalam  sains  yang  dinamakan  astrofisika, yang
bersama-sama  astronomi  membentuk  konsep-konsep   kosmologi.
Meskipun  ilmu pengetahuan keislaman ini tumbuh sebagai akibat
dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu kita
pertanyakan  apakah  benar  konsep  kosmologi  yang berkembang
dalam  sains  itu  sejalan  dengan  apa  yang  terdapat  dalam
al-Qur'an.  Sebab obor pengembangan ilmu telah mulai berpindah
tangan dari umat Islam kepada  para  cendekiawan  bukan  Islam
sejak  pertengahan  abad  ke  13 sampai selesai dalam abad 17,
sehingga sejak itu sains tumbuh dalam kerangka  acuan  budaya,
mental  dan  spiritual  yang  bukan  Islam,  dan yang memiliki
nilai-nilai tak Islami.
 
Mari kita kaji sambil menelusuri  perkembangan  ilmu  kealaman
sejak  akhir  abad 19 hingga akhir abad 20, ketika ia berjalan
sangat  cepat,  jauh  melampaui  kelajuannya  dalam  abad-abad
sebelumnya,  sejalan  dengan  kecanggihan  instrumentasi  yang
dipergunakan dalam observasi  dan  matematika  sebagai  sarana
komputasi. Kita akan menemukan bahwa pada tahap-tahap tertentu
ia tampak tidak sesuai dengan  ajaran  agama  kita,  sedangkan
dalam  fase-fase  lain  menghasilkan  kesimpulan yang sehaluan
dengannya.
 
Seseorang yang hidup pada akhir abad 19, yang telah mengetahui
melalui  kegiatan  sainsnya,  bahwa  bintang-bintang di langit
jaraknya dari bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak
itu  dan mengatakan berapa massanya, tak lagi akan mengatakan,
langit itu sebuah bola  super  raksasa.  Ia  akan  mengatakan,
langit  adalah  ruang  jagad-raya,  yang  di dalamnya terdapat
bintang-bintang,  sebagian   diikuti   satelitnya,   dan   ada
bintang-bintang kembar dan gerombolan-gerombolan bintang dalam
galaksi kita yang disebut Bimasakti. Karena  konsep  kosmologi
yang berlaku waktu itu berasal dari Newton, ia akan mengatakan
juga bahwa bola super besar yang mewadahi seluruh ruang kosmos
itu tidak ada sebab baginya ruang jagad-raya ini tak berhingga
besarnya dan tidak mempunyai batas.
 
Sudah tentu konsep kosmologi sains abad yang  lalu  ini  tidak
sesuai dengan konsep al-Qur'an, karena tak dapat mengakomodasi
peristiwa yang: dilukiskan ayat 30 surah al-Anbiya'  dan  ayat
47  surah  al-Dzariyat.  Lebih  dari  itu  bahkan bertentangan
dengan ajaran agama kita; sebab alam semesta yang tak terbatas
dan  tak  berhingga  besarnya,  dianggap tak berawal dan tidak
berakhir. Dan kita akan melihat  sepanjang  pertumbuhan  sains
selanjutnya   bahwa   ide-ide  semacam  ini,  yang  mengandung
konsepsi tentang alam yang langgeng, ada sejak dulu  dan  akan
ada  seterusnya,  selalu  timbul-tenggelam.  (Karena itu, maka
saya selalu menganjurkan agar umat Islam yang  ingin  mengejar
ketinggalan  mereka  dalam sains dan teknologi akhir-akhir ini
bersiap-siap  mengadakan  langkah-langkah  pengamanan   dengan
meng-Islamkan  sains,  sehingga sains kembali dapat berkembang
dalam kerangka sistem nilai yang Islami).
 
Dari uraian di atas bahwa konsep kosmologi sains pada abad  ke
19  gagal total dan sama sekali tak mampu menerangkan apa yang
terkandung dalam dua ayat tersebut  di  atas.  Padahal  mereka
baru  merupakan  sebagian  saja  dari ayat-ayat al-Qur'an yang
berisi konsep-konsep kosmologi. Kita dapat  juga  mengemukakan
beberapa ayat lainnya sebagai berikut,
 
Dalam  pada  itu  Dia  mengarah  pada penciptaan sama', dan ia
penuh dukhon [4], lalu Dia berkata kepadanya dan kepada  ardh,
Datanglah   kalian  mematuhi-Ku  dengan  suka  atau  terpaksa;
keduanya menjawab: kami datang dengan  taat  (QS.  Fushshilat:
11)
 
Maka  Dia  menjadikannya  tujuh  sama' dalam dua hari, dan Dia
mewahyukan kepada tiap sama' peraturannya  masing-masing;  dan
kami   hiasi  langit  dunia  dengan  pelita-pelita,  dan  Kami
memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang  Maha  Perkasa  lagi
Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12)
 
Allah-lah  yang telah menciptakan tujuh sama' dan ardh seperti
itu pula (QS. al-Thalaq: 12)
 
Allah-lah yang menciptakan sama' dan ardh dan apa yang ada  di
antara  keduanya  dalam  enam  hari,  dan  pada waktu itu pula
bersemayam di arsy-Nya [5] (QS. al-Sajadah:4)
 
Dan Dialah yang telah menciptakan sama' dan  ardh  dalam  enam
hari,  ada pun Arsy-Nya telah tegak pada ma' [6] untuk menguji
siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7)
 
Sesungguhnya Allah menahan sama' dan ardh agar jangan  lenyap,
dan  sungguh  jika  keduanya akan lenyap dan tak ada siapa pun
yang dapat menahan keduanya itu selain Allah; Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. Fathir: 41)
 
Pada hari Kami gulung sama' seperti menggulung lembaran tulis;
sebagaimana Kami telah mulai awal penciptaan,  begitulah  Kami
akan  mengembalikannya;  itulah  janji  yang akan kami tepati;
sesungguhnya   Kamilah   yang   akan   melaksanakannya    (QS.
al-Anbiya': 104)
 
Sekarang  mari  kira  cari pengertian yang terdapat dalam ayat
itu. Kita telah melihat  dari  contoh-contoh  yang  diberikan,
bahwa  dengan  bekal  pengetahuan  abad  19 saja seseorang tak
mungkin memahaminya; meski ia seorang pakar yang ulung  sekali
pun.  Sebab  konsepsinya  tentang  alam  semesta  memang salah
hingga tidak cocok dengan apa yang ada dalam al-Qur'an.
 
Apa yang akan dikatakan oleh  seorang  kosmolog  atau  seorang
fisikawan  abad  20,  jika ia ditanya tentang konsep kosmologi
sains yang mutakhir yang  dihasilkan  penelitian  para  pakar?
Secara   garis  besar,  jawabnya  kira-kira  sebagai  berikut:
Konsepsi mengenai alam semesta ini sebenarnya mulai  mengalami
perubahan  sejak  tahun  1929  ketika Hubble melihat dan yakin
bahwa  galaksi-galaksi  di  sekitar  Bimasakti  menjauhi  kita
dengan kelajuan  yang  sebanding dengan jarak dari bumi;  yang
lebih jauh kecepatannya  lebih  besar,  sehingga  dalam  sains
terdapat  istilah  alam  yang mengembang (expanding universe).
Hal ini mengingatkan orang pada pacuan kuda; kuda yang  paling
laju  akan  berlari  paling  depan.  Karena kelajuan dan jarak
masing-masing galaksi dari bumi diketahui, tidak  sulit  untuk
menghitung kapan mereka itu mulai berlari.
 
Pada  tahun  1952 Gamow berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi di
seluruh jagad-raya yang  cacahnya  kira-kira  100  milyar  dan
masing-masing  rata-rata  berisi  100  milyar bintang itu pada
mulanya  berada  di  satu  tempat  bersama-sama  dengan  bumi,
sekitar   15  milyar  tahun  yang  lalu.  Materi  yang  sekian
banyaknya itu terkumpul sebagai suatu  gumpalan  yang  terdiri
dari   neotron;  sebab  elektron-elektron  yang  berasal  dari
masing-masing  atom  telah  menyatu   dengan   protonnya   dan
membentuk  neotron  sehingga tak ada gaya tolak listrik antara
masing-masing  elektron  dan  antara   masing-masing   proton.
Gumpalan ini berada dalam ruang alam dan tanpa diketahui sebab
musababnya meledak dengan sangat dahsyat sehingga terhamburlah
materi  itu ke seluruh ruang jagad-raya; peristiwa inilah yang
kemudian terkenal sebagai "dentuman besar" (big bang).
 
Sudah  barang  tentu   gumpalan   sebesar   itu   tak   pernah
bergelimpangan  di ruang kosmos; sebab gaya gravitasi gumpalan
itu akan begitu besar sehingga ia akan teremas menjadi  sangat
kecil. Lebih kecil dari bintang pulsar yang jari-jarinya hanya
sebesar 2 sampai 3 kilometer dan massanya kira-kira 2 sampai 3
kali  massa  sang  surya,  dan  bahkan lebih kecil dari lobang
hitam (black hole) yang  massanya  jauh  melebihi  pulsar  dan
jari-jarinya  menyusut  mendekati ukuran titik. Gambarkan saja
dalam angan-angan, berapa besar kepadatan materi  dalam  titik
yang  volumenya nol itu jika seluruh massa 100 milyar kali 100
milyar bintang sebesar matahari dipaksakan masuk di  dalamnya!
Inilah  yang  biasa  disebut sebagai singularitas. Jadi konsep
dentuman besar terpaksa dikoreksi yaitu bahwa keberadaan  alam
semesta  ini diawali oleh ledakan maha dahsyat ketika tercipta
ruang-waktu dan energi yang keluar  dari  singularitas  dengan
suhu yang tak terkirakan tingginya.
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team