Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (7/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
KEGAGALAN SKRIPTURALISME
 
Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup
untuk memecahkan persoalan  ternyata  hanya  simplikasi.  Pada
saat  yang  sama, menurut Fazlur Rahman, "since the leaders of
these movements  were  interested  in  negating  some  of  the
influences  of the medieval school of islamic thought and law,
they  inevitably  took  a   negative   attitude   toward   the
intellectual  and  spiritual developments that had taken place
in the intervening centuries" (Rahman, 1981:26).
 
Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam  aqidah.
Karena  skriptualisme  menerima teks-teks al-Qur'an dan hadits
dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan  percaya  bahwa
Ia  turun  ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk
di atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil,
mereka  telah  mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja
dijauhi,  tetapi  juga  dikafirkan.  Wacana  teologi   menjadi
gersang.
 
Kedua,  skriptualisme  menyingkirkan  pengalaman mistikal dari
kehidupan beragama. Kaum sufi, yang  mencoba  menangkap  makna
batiniyah  dari  nash-nash,  dianggap  sesat.  Praktek-praktek
keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan  dalam  nash,
dianggap  bid'ah.  Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa
saja yang tidak merujuk  pada  dalil  yang  telah  dipilihnya.
Qunut  pada  shalat  Subuh,  membaca  dzikir  bersama, membaca
shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak  ma'tsur,
--dan  di  Indonesia--  menyelenggarakan  upacara tahlilan dan
marhabanan dianggap  tidak  mengikuti  sunnah  Rasulullah  saw
(dalam  bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw).
Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak
berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya
--dan bukan tempatnya  di  sini--  untuk  merinci  dalil-dalil
orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut.
Dengan  menyingkirkan  mistisisme,  kaum  skripturalis   telah
menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang
emosional. Para pengikutnya tidak lagi "menikmati"  agama  dan
sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.
 
Ketiga,  skripturalisme,  karena  menolak  wacana intelektual,
mudah mendorong orang ke arah  fanatisme.  Madzhab  yang  lain
akan  dianggap  menyimpang  dari  al-Qur'an  dan sunnah. Dalam
skala  makroskopis,  paham  ini  melahirkan  orang-orang  yang
wawasannya    sempit,    tapi   merasa   faqih.   Pada   tahap
institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan
kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan
dengan  merujuk  pada  dalil-dalil   al-Qur'an   dan   hadits.
Muncullah  para  "mujtahid"  yang tidak berkualifikasi. Mereka
membentuk kelompok-kelompok, yang  memuncak  pada  fragmentasi
umat.
 
Keempat,   skripturalisme  terbukti  tidak  menjawab  berbagai
masalah kontemporer. Salah  satu  contoh  adalah  perbincangan
tentang  zakat  profesi  atau  pekerjaan-pekerjaan  yang tidak
diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara  mereka  akhirnya
menggunakan  qiyas  juga,  tetapi tanpa aturan yang konsisten.
Sebagian kaum  modernis  di  Indonesia,  yang  menolak  qiyas,
menggunakannya  dalam  menjelaskan  zakat  profesi.  Ada  yang
mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat  emas
dan perak; dan zakat perdagangan.
 
Terakhir,  kelima,  skripturalisme  tidak  dapat menyelesaikan
kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal
(memberikan   dalil-dalil  hukum)  dari  nash-nash.  Al-masail
al-lafzhiyah --seperti makna lughawi, makna 'urfi (kebiasaan),
makna  haqiqi  dan majazi, makna 'am dan khash dan sebagainya;
mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul
al-fiqh   dan   masalah-masalah  lain  yang  berkaitan  dengan
penafsiran nash tidak mendapat perhatian.
 
Akibat  kegagalan   skripturalisme   tersebut,   orang   tidak
memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini
hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis
terhadap  pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme.  Pada
gilirannya,  liberalisme  juga sangat rentan terhadap berbagai
problem. Melalui studi kritis terhadap  keduanya,  kita  dapat
merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih
relevan dan signifikan.
 
6. FIQH KAUM PEMBARU: MADZHAB LIBERALISME
 
Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba  mendobrak
stagnasi  dengan  melakukan  salah satu di antara dua pilihan.
Mereka kembali  secara  ketat  pada  teks-teks  al-Qur'an  dan
al-hadits  atau  mereka  berusaha  menemukan ruh atau semangat
dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama  kita  sebut
skripturalisme  (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha
secara  bebas  untuk   menggunakan   penalaran,   kita   sebut
liberalisme.  Walaupun  saya  tidak  akan membahas pokok-pokok
pikiran kaum liberal Islam  seperti  yang  dipaparkan  Leonard
Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis
Islam.
 
For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate
with  the  essence  of  revelation,  but  the  content and the
meaning of revelation is not  essentially  verbal.  Since  the
words  of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort at understanding which is  based
on  the  words, but which goes beyond them, seeking that which
is represented or revealed by language.
 
Jadi ciri khas kaum  liberalis  ialah  upaya  untuk  menangkap
esensi   wahyu;   makna  wahyu  di  luar  arti  lahiriah  dari
kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari  teks
untuk  menemakan  makna  dalam dari konteks. Di bawah ini saya
akan mengulangi lagi  akar  pemikiran  kaum  liberalis  dengan
mengutip  apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam
dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan
mengambil  contoh  pemikiran  Ibrahim  Hosen dan Fazlur Rahman
untuk  menggambarkan  pokok-pokok  pemikiran  kaum  liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.
 
SEJARAH MADZHAB LIBERALISME
 
Fiqh  kaum  liberal  dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra'y di
kalangan para sahabat Nabi. Fiqh  al-ra'y  sebenarnya  sejajar
dengan  tafsir  al-Qur'an  bi  al-dirayat, tapi kaum liberalis
modern justru mengambil inspirasi dari tafsir  bi  al-ma'tsur.
Karena  itu,  sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra'y saya
akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma'tsur.
 
TRADISI IJTIHAD BI 'L-RA'Y
 
Ketika  [brahim  Hosen   berbicara   tentang   ta'aqquli   dan
ta'abbudi,  dan  ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan
fundamentalis,   keduanya   menggaungkan   kembali   perbedaan
pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi
Muhammad  saw  berijtihad?   Banyak   para   sahabat   membagi
perintah-perintah   Nabi  ke  dalam  dua  bagian.  Yaitu  yang
berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut  huquq  Allah)
dan  yang  berhubungan  dengan  masalah-masalah  sosial (kelak
disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang  pertama  secara
ta'abbudi, dan yang kedua secara ta'aqquli. Pada bagian kedua,
Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi  benar
atau  salah.  Karena  itu,  di  sini para sahabat tidak merasa
terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan,  "Kamu  lebih
tahu urusan duniamu?"
 
Bukhari  meriwayatkan  peristiwa  yang oleh Ibn 'Abbas disebut
sebagai  "tragedi  hari  Kamis".  Dalam  keadaan  sakit,  Nabi
menyuruh  sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan
wasiatnya. "Dengan ini kalian  tidak  akan  sesat  selamanya"'
kata  Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah.
Di tangan kalian ada kitab Allah.  Cukuplah  buat  kita  kitab
Allah  itu."  Tampaknya  Umar  berpendapat bahwa kondisi sakit
Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.
 
Para  ahli  hadits  meriwayatkan  berbagai  peristiwa   ketika
ijtihad   Nabi   berbeda   dengan  ijtihad  'Umar;  dan  Allah
membenarkan ijtihad 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan
Badar  dibebaskan  dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan
untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah  ibn
Ubayy,  tapi  Umar  melarangnya.  Dalam kasus-kasus ini, wahyu
selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan  bahwa  Nabi  saw,
disertai  Abu  Bakar  pernah  menangis  terisak-isak menyesali
kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa  yang  menyebabkan
Anda  dan  sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut
aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan,  aku
akan  berupaya  menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian
menceritakan  tentang  wahyu   yang   membenarkan   Umar   dan
menyalahkan  Nabi.  "Seandainya azab turun," kata Nabi, "tidak
akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab."
 
Hadits-hadits  di  atas  --walaupun  keabsahannya  harus  kita
teliti  secara kritis-- merupakan justifikasi terhadap peluang
menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang  berasal  dari
Ijtihad  Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan
Usamah, padahal Nabi  memerintahkan  mereka  untuk  berada  di
dalamnya,  Ibn  Abi  al-Hadid  membenarkan  kedua sahabat itu.
"Sesungguhnya Nabi saw  mengirimkan  pasukan  itu  berdasarkan
Ijtihad   dan   bukan   berdasarkan   wahyu   yang  diharamkan
membantahnya."
 
Karena  Umar  adalah  primadona  dari  kelompok  pertama  para
sahabat  ini,  kemudian  kita  pun  menyebut madzhab pemikiran
mereka sebagai madzhab Umari.  Sebagai  lawan  mereka  --dalam
pemikiran--   adalah   madzhab   Alawi,   yang   terdiri  atas
sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi  Thalib.
Mereka  tidak  membedakan huquq al-'ibad dan huquq Allah dalam
instruksi-instruksi Nabi  yang  bernilai  tasyri'.  Tidak  ada
ijtihad  Nabi.  "Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya,
tetapi ia hanya berbicara berdasarkan  wahyu  yang  diturunkan
kepadanya." (QS 53:3).
 
Ketika  Umar dan Utsman --pada zamannya masing-masing melarang
haji  tamattu"  Ali  menentangnya.  Ibn  Katsir,  dalam  kitab
tarikhnya,  menulis:  "Para  sahabat  r.a. sangat takut kepada
Umar dan tidak menemukan  orang  yang  melawan  pendapat  Umar
kecuali  Ali  ibn  Abi  Thalib,  yang  berkata:  "Barang siapa
melakukan tamattu',  ia  sudah  menjalankan  kitab  Allah  dan
sunnah  NabiNya."  Ketika  Ali  menegur  Utsman  yang melarang
tamattu', Utsman berkata: "Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah
ra'yu   yang  aku  pegang.  Kalau  orang  mau,  silakan  ambil
ra'yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja."
 
Umar juga diriwayatkan  berkata:  "Inilah  ra'yu  Umar.  Kalau
benar,  dari  Allah  dan kalau salah, dari Umar." Abdullah ibn
Mas'ud berkata seperti itu juga: "Aku  mengatakan  ini  dengan
ra'yuku.  Bila  benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia
berasal dari setan. Allah  dan  Rasul-Nya  terlepas  darinya."
Para  tabi'in  dari  Kufah  kelak  berguru kepada Abdullah ibn
Mas'ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah  yang  menitik-beratkan
Fiqh  al-ra'y.  Sementera  itu,  Ali tetap tinggal di Madinah,
sebelum  ia  memindahkan  ibu  kota   ke   Kufah   pada   masa
kekhalifahannya.  Ketika  Utsman  melarang  menggabungkan haji
dengan 'umrah, ia menegur Ali: "Kau lakukan  itu  padahal  aku
melarangnya?"  Ali  menjawab:  "Aku  tidak  akan  meninggalkan
sunnah Rasulullah saw karena (ra'yu) salah  seorang  manusia."
Kita  pun  kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz,
berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.
 
Fiqh  al-ra'y  makin  diperteguh  dengan  kecenderungan   umum
madzhab  Umari  untuk  mengabaikan  penulisan  hadits. 'Aisyah
melaporkan: "Ayahku telah mengumpulkan 500  hadits  Nabi  saw.
Pada  suatu  pagi,  ia datang menemuiku dan berkata, "ambilkan
hadits-hadits yang ada padamu." Lalu saya  berikan  kepadanya.
Ia  membakarnya  dan  berkata:  "Saya khawatir, saya mati, dan
meninggalkan hadits-hadits itu padamu." Abu Bakar juga  pernah
mengumpulkan  orang  setelah  Nabi wafat, dan berkata: "Kalian
meriwayatkan dari Rasulullah saw.  hadits-hadits  yang  kalian
perselisihkan.  Nanti,  manusia  sesudahmu akan lebih daripada
itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari  Rasulullah  saw.
Bila  ada  yang  bertanya  kepada kalian, jawablah: "Di antara
Anda dan  kami  ada  Kitab  Allah,  halalkan  yang  halal  dan
haramkan  yang  haram.".  Walaupun  begitu, periwayatan hadits
tetap   berlangsung   sampai   zaman   Umar.   Umar   menyuruh
mengumpulkan   hadits-hadits   itu   dan  memerintahkan  untuk
membakarnya. Alasan Umar: "Aku khawatir hadits-hadits itu akan
memalingkan orang dari Kitab Allah."
 
Tradisi    pengabaian   penulisan   hadits   --dan   sekaligus
pembakarannya--  dilanjutkan  oleh  tabi'in.  Rasul  Ja'farian
menyebutkan  nama-nama  ulama  tabi'in yang melarang penulisan
hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa'id, Sa'id ibn Jubair,
Ibrahim  al-Nakha'i,  dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan
--menjelang  kematiannya--  memerintahkan  pembantunya   untuk
menyalakan  api  pembakaran.  Ke  dalamnya, ia lemparkan semua
tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan
ahl  al-Sunnah,  penulisan  hadits terlambat sekitar dua abad.
Konon, yang pertama kali melakukan tadwin  hadits  adalah  Ibn
Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.
 
Sejarah  singkat  madzhab  'Umari  ini  menunjukkan  tiga ciri
khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian  utamanya  --dan
seringkali  dengan  mengabaikan  yang lain-- kepada al-Qur'an.
"Hasbuna Kitab Allah," kata Umar; (2) madzhab ini mengutamakan
ra'yu  ketimbang  al-Sunnah;  dan  (3)  madzhab ini menekankan
aspek  maqashid  syar'iyyah  atau  kemaslahatan   umat   untuk
menetapkan  hukum,  dan  kurang  terikat  pada zhawahir (makna
tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar  sering
meninggalkan  nash-nash  al-Qur'an  secara sengaja, Abu Zahrah
menulis: "Tidak seorang sahabat  pun  meninggalkan  nash  demi
ra'yunya  atau  kemaslahatan  yang  dipandangnya. Sesungguhnya
maslahat yang difatwakan  sahabat  tidak  bertentangan  dengan
nash,  tetapi  mengaplikasikan  nash  secara baik, berdasarkan
pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara'.
 
Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah,  fiqh  al-ra'y  dan
fiqh  al-atsar  ini  tidak  terpilah  tegas,  tetapi membentuk
kontinum.  Madzhab-madzhab  itu   berbeda   dalam   intensitas
penggunaan  nash  dan  ra'yu.  Ali Yafie melukiskannya sebagai
lingkaran-lingkaran:   "Lingkaran   paling   dalam   (pertama)
merupakan  kelompok  yang paling sedikit menggunakan ra'yunya.
Prinsip mereka dalam  pengambilan  hukum,  tak  memperkenankan
penggunaan  akal. Kaidah mereka: la ra'yu fi al-din (tidak ada
tempat rasio dalam agama).  Madzhab  yang  menggunakan  kaidah
semacam  ini  disebut  madzhab  al-Zhahiri, karena diprakarsai
Dawud al-Zhahiri yang  dilanjutkan  Ibn  Hazm  dalam  kitabnya
al-Muhalla.  Disadari  atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga
menggunakan  rasio.  Hanya  intensitas  penggunaannya   sangat
sedikit.
 
-------------------------------------------- (bersambung 8/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team