|
3. Hudhud
Hudhud menjawab, "O Bulbul, kau yang tak mau ikut, silau
karena bentuk lahiriah dari segala ini, berhentilah
menikmati keterikatan yang begitu menyesatkan. Cinta Mawar
itu banyak durinya; ia mengusik dan menguasai dirimu.
Meskipun Mawar itu jelita, namun keindahannya akan segera
lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah
menjadi budak cinta yang begitu cepat berlalu. Jika senyum
Mawar itu menimbulkan berahimu, maka itu hanya akan mengisi
hari demi harimu dan malam demi malammu dengan
ratapan-ratapan kesedihan. Tinggalkan Mawar itu dan
hendaknya kau malu pada dirimu sendiri; sebab, bersama tiap
Musim Semi yang baru, ia menertawakanmu dan kemudian ia pun
tak tersenyum lagi."
Hudhud Menuturkan Kisah Puteri Raja
dengan Darwis
Seorang raja mempunyai seorang putri secantik bulan, yang
dicintai oleh setiap orang. Nafsu terbangkit oleh matanya
yang mengantuk sayu dan bius manis kehadirannya. Wajahnya
seputih kapur barus, rambutnya hitam-kesturi. Kecemburuan
bibirnya mengeringkan permata air terindah, sedang gula pun
cair di sana karena malu.
Karena kehendak nasib seorang darwis sempat melihat putri
itu sepintas, dan roti yang dipegangnya pun jatuh dari
tangannya. Putri itu melintasinya bagai nyala api, dan
ketika melintas, putri itu tertawa. Melihat ini, darwis itu
jatuh di atas debu, hampir mati. Ia tak dapat merasa tenang,
baik siang maupun malam, dan ia menangis berkepanjangan.
Bila teringat akan senyum putri itu, ia mengucurkan airmata
bagai awan menjatuhkan hujan. Cinta yang garang ini
berlangsung terus tujuh tahun lamanya, dan selama itu ia
hidup di jalanan bersama anjing-anjing. Akhirnya para
pengiring sang putri memutuskan untuk membunuhnya. Tetapi
putri itu bicara padanya dengan diam-diam; katanya, "Mana
mungkin akan ada hubungan yang mesra antara kau dengan aku?
Pergilah lekas, atau kau akan dibunuh nanti; jangan tinggal
lagi di pintuku, tetapi bangkitlah pergi."
Darwis malang itu menjawab, "Pada hari ketika hamba jatuh
cinta pada Tuanku Putri, hamba bercuci tangan dari kehidupan
ini. Beribu-ribu yang seperti hamba mengorbankan diri ke
haribaan keindahan Tuan. Karena para pengiring Tuan hendak
membunuh hamba secara tak adil, maka jawablah kiranya
pertanyaan yang biasa ini. Pada hari ketika Tuan menjadi
sebab bagi kematian hamba, mengapa Tuan tersenyum pada
hamba?" "O kau si dungu," kata putri itu, "ketika kuketahui
bahwa kau hendak merendahkan martabat dirimu sendiri, aku
tersenyum karena kasihan. Aku sengaja tersenyum karena
kasihan bukan karena hendak mencemooh." Berkata demikian, ia
pun lenyap bagai seberkas asap, meninggalkan darwis itu
termangu sendiri.
(sebelum, sesudah)
|