|
44. Lembah Ketujuh atau Lembah Keterampasan dan
Kematian
Hudhud melanjutkan, "Terakhir dari semua itu
menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak
mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan,
kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang
yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya
samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada
permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain
dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa
dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang
menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di
sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini,
kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan
keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini,
kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak
kerahasiaan akan tersingkap bagi kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan
karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua --mereka hanya
sebanding dengan barang-barang tambang. Bila kayu cendana
dan duri-duri menjadi abu, keduanya tampak sama --tetapi
mutu keduanya berbeda. Barang najis yang dimasukkan ke dalam
air-mawar akan tetap tinggal najis karena sifat-sifat
dasarnya semula; tetapi barang suci yang dijatuhkan ke
lautan akan kehilangan wujudnya yang tersendiri dan akan
menyatukan diri dengan lautan itu dengan segala geraknya.
Dengan berhenti ada secara terpisah ia akan mendapatkan
keindahannya. Ia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini
mungkin terjadi, pikiran tak dapat
membayangkannya."
Fatwa Nassir Uddin
Yang terkasih dari Tus, lautan rahasia-rahasia ruhani
itu, berkata pada salah seorang muridnya, "Leburkan
dirimu dalam api cinta hingga kau menjadi sekecil rambut,
maka kau pun akan layak menduduki tempatmu di antara ikal
rambut kekasihmu. Bila matamu kau arahkan ke Jalan itu dan
bila kau awas, maka renungkanlah dan pikirkanlah, rambut
demi rambut.
Ia yang membelakangi dunia ini untuk menempuh Jalan itu,
akan mendapatkan kematian; ia yang mendapatkan kematian,
akan mendapatkan kebakaan. O hatiku, bila kau telah herubah
sepenuhnya, seberangilah jembatan
Sirat1 dan api
yang menyala; karena bila minyak dalam lampu itu terbakar,
ia akan merupakan asap sehitam gagak tua, tetapi bila minyak
itu diserap api, ia akan tak memiliki wujudnya yang kasar
lagi.
Bila kau ingin sampai ke tempat yang luhur itu, lebih
dulu bebaskan dirimu sendiri; kemudian keluarlah dari
ketiadaan bagai Buraq2
kedua. Kenakan khirka kenihilan dan minumlah dari piala
kemusnahan, kemudian kebatlah dadamu dengan ikat pinggang
penafsiran dan kenakan di kepalamu kecemerlangan
keadaan-tiada. Tempatkan kakimu pada sanggurdi
ketakterikatan, dan pacu kudamu yang tak berguna itu ke
tempat di mana tak ada apa pun lagi. Tetapi jika dalam
dirimu masih tinggal nafsu kepentingan diri biar sedikit,
maka ketujuh laut akan penuh kesengsaraan bagimu."
Cerita tentang Kupu-kupu
Suatu malam, kawanan kupu-kupu berkumpul, disiksa hasrat
hendak menyatukan diri dengan lilin. Kata mereka, "Kita
harus mengutus salah satu dari kita yang akan membawa
keterangan pada kita tentang sasaran cinta yang hendak kita
cari itu." Maka salah seekor di antaranya berangkat dan
tiba di sebuah puri, dan di dalam puri itu ia melihat cahaya
sebatang lilin. Ia pun kembali, dan sesuai dengan pengertian
yang diperolehnya, ia menceritakan apa yang telah
dilihatnya. Tetapi kupu-kupu arif yang mengetuai pertemuan
itu menyatakan pendapatnya bahwa utusan itu tak mengerti
apa-apa tentang lilin. Maka kupu-kupu lain pun pergi ke sana
pula. Ia menyentuh nyala lilin itu dengan ujung sayapnya,
tetapi panas pun menghalaukannya. Oleh karena laporannya tak
lebih memuaskan dari laporan yang pertama, maka kupu-kupu
yang ketiga pun pergi pula. Yang seekor ini, karena dimabuk
cinta, melontarkan diri ke dalam nyala lilin itu; dengan
kaki depannya ia berpaut pada nyala lilin itu dan menyatukan
dirinya dengan senang pada lilin itu. Dipeluknya lilin itu
sepenuhnya, dan badannya pun menjadi semerah api. Kupu-kupu
arif, yang mengawasi dari jauh, melihat bahwa nyala lilin
dan kupu-kupu utusan itu tampak satu, dan katanya, "Ia
telah dapat mengetahui apa yang ingin diketahuinya; tetapi
hanya dia yang tahu, dan tak ada yang dapat
menuturkannya."
Seorang Sufi yang Mendapat Perlakuan
Buruk
Seorang Sufi tengah berjalan-jalan dengan malas ketika ia
dipukul dari belakang. Ia pun menoleh dan mengatakan pada
bedebah yang telah memukulnya itu, "Orang yang kau
pukul ini sudah mati lebih dari tiga puluh tahun." Si
bedebah menjawab, "Bagaimana dapat orang yang sudah
mati bicara.? Hendaklah malu, kau tak menunggal dengan
Tuhan. Bila kau terpisah biar serambut saja pun dari dia,
maka adalah itu seakan kau terpisah sejauh seratus
dunia."
Bila kau menjadi abu, termasuk juga barang-barangmu, maka
sedikit pun kau tak akan merasa ada; tetapi bila, seperti
pada Isa, masih tinggal padamu biar hanya sebatang jarum
yang sederhana saja, maka seratus pencuri akan menghadangmu
di jalan. Walau Isa telah membuang barang-barang bawaannya,
namun jarum itu masih dapat menggores-gores
wajahnya.3
Bila ada itu lenyap, tiada kekayaan maupun kerajaan,
kehormatan maupun keagungan, akan berarti.
Pangeran dan Pengemis
Adalah suatu ketika seorang raja mempunyai putera yang
begitu menawan seperti Yusuf, penuh daya pesona dan
keindahan. Putera raja itu dicintai setiap orang, dan semua
yang melihatnya maulah rasanya dengan senang menjadi debu di
bawah kakinya. Bila ia berjalan malam-malam, adalah seakan
matahari baru telah terbit di atas gurun. Matanya bunga
narsis hitam, dan bila mata itu memandang, dunia pun menyala
karenanya. Senyumnya menebarkan gula, dan di mana saja ia
berjalan seribu mawar akan berbunga, tak menunggu musim
semi.
Maka adalah seorang darwis biasa yang terpikat hatinya
pada pangeran muda ini. Siang dan malam ia duduk dekat
istana sang pangeran, tidak makan tidak tidur. Mestinya ia
sudah mati, bila tidak sekali-sekali dapat melihat sepintas
pangeran muda itu ketika muncul di pasar. Tetapi bagaimana
mungkin seorang pangeran yang semulia itu melipur seorang
darwis miskin dalam keadaan demikian? Namun orang biasa ini,
yang merupakan bayang-bayang, bagian dari sebutir zarrah,
ingin mendekap matahari cemerlang itu di dadanya.
Suatu hari ketika pangeran itu sedang dijulang di kepala
para abdinya, darwis itu bangkit berdiri dan berseru-seru,
mengatakan, "Sudah gila hamba ini, hati hamba teramat
sedih, hamba tak sabar dan tak kuat lagi menderita,"
lalu ia pun memukul-mukulkan kepalanya ke tanah di hadapan
sang pangeran. Salah seorang pengawal istana hendak menyuruh
bunuh darwis itu, lalu menghadap raja. "Tuanku,"
katanya, "seorang yang tak waras telah jatuh cinta
kepada putera Tuanku."
Raja pun amat murka, "'Hukum si jahanam yang
berani mati itu dengan hukum tusuk," katanya.
"Ikat tangan dan kakinya, dan pancangkan kepalanya di
atas tiang." Orang istana itu pun segera pergi
menjalankan perintah raja. Orang-orang pun memasang tali
jerat di leher pengemis itu lalu menyeretnya ke tiang. Tak
seorang tahu apa yang akan terjadi dan tak seorang pun
membela si pengemis. Setelah wazir menyuruh bawa dia ke
bawah tiang perantaian, darwis itu pun menjerit sedih dan
katanya, "Demi kasih Tuhan, beri hamba pertangguhan,
agar setidak-tidaknya hamba dapat mengucapkan doa di bawah
tiang perantaian." Ini dikabulkan, dan darwis itu pun
bersujud dan berdoa, "O Tuhan, karena raja telah
memerintahkan untuk membunuh hamba --hamba yang tak berdosa
ini-- maka karuniai hamba, abdi yang bodoh ini, sebelum
hamba mati, dengan kemujuran untuk melihat -- biar
sekali saja pun --wajah pangeran muda itu, sehingga
hamba dapat menyerahkan diri hamba sebagai korban. O, Tuhan,
Raja hamba, yang mendengarkan seribu doa, kabulkan
permohonan hamba yang terakhir ini."
Begitu darwis itu selesai mengucapkan doa itu maka panah
hasratnya pun segera mencapai sasarannya. Wazir pun
mengetahui keinginannya yang tersembunyi itu dan menaruh
kasihan padanya. Ia pun menghadap raja dan menjelaskan ihwal
yang sebenarnya. Mendengar itu raja pun termenung; kemudian
perasaan belas kasihan pun memenuhi hatinya, dan ia
mengampuni darwis itu, lalu berkata pada sang pangeran,
"Pergilah mendapatkan si miskin itu di bawah tiang
perantaian. Berlakulah lemah lembut padanya, dan ajak dia
minum bersama, karena dia telah mengenyam racunmu. Bawa dia
ke tamanmu dan kemudian bawa dia ke mari."
Pangeran muda, Yusuf kedua itu, segera pergi
--matahari yang berwajah api itu datang bertemu muka
dengan sebuah zarrah. Lautan mutiara-mutiara indah itu pergi
mencari setitik air. Pukul-pukullah kepalamu karena gembira,
tapakkan kakimu menari, dan bertepuk tanganlah! Tetapi
darwis itu ada dalam putus asa; airmatanya membuat debu
menjadi lumpur, dan dunia pun menjadi berat karena
keluhan-keluhannya. Bahkan pangeran itu sendiri tak dapat
menahan tangisnya, Ketika darwis itu melihat airmata sang
pangeran, ia berkata, "O Pangeran, kini Tuan boleh
mengambil nyawa hamba." Dan setelah berkata demikian,
ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, mati. Ketika
mengetahui bahwa ia telah menjadi satu dengan yang
dikasihinya, maka tak ada lagi keinginan-keinginan lain yang
tinggal padanya.
O kau, yang ada namun sekaligus juga sesuatu yang tak
berarti, dengan kebahagiaanmu yang bercampur dengan
kesengsaraanmu, bila kau belum pernah mengalami kegelisahan,
bagaimana kau akan menghargai ketenangan? Kau rentangkan
tanganmu hendak mencapai kilat tetapi terhalang oleh
timbunan salju yang tersapu. Berusahalah dengan berani,
bakar-musnahkan pikiran, dan serahkan dirimu pada kedunguan.
Bila kau ingin menggunakan ilmu
alkimia4 ini,
renungkanlah sedikit, dan ikuti contohku, tinggalkan dirimu
sendiri; dari pikiranmu yang mengelana hendaklah kau menarik
diri ke dalam jiwamu agar kau dapat sampai pada kepapaan
ruhani. Akan halnya diriku, yang bukan aku dan bukan pula
yang-lain-dari-aku, telah tersesat dari diriku sendiri, dan
tak mendapatkan penawar lain kecuali putus asa.
Pertanyaan Seorang Murid pada
Syaikhnya
Seseorang yang berusaha mengatasi kelemahannya pada suatu
ketika bertanya pada Nuri, "Bagaimana aku akan dapat
mencapai persatuan dengan Tuhan?" Nuri menjawab,
"Untuk itu, kau harus menyeberangi tujuh lautan cahaya
dan tujuh lautan api, dan menempuh jalan yang amat panjang.
Bila kau telah menyeberangi dua kali tujuh lautan ini,
seekor ikan akan menghela kau kepadanya, ialah macam ikan
yang bila bernafas menyedot ke dadanya yang awal dan yang
akhir. Ikan yang mengagumkan ini tak berkepala maupun
berekor. Ia menahan diri di tengah lautan, diam dan
terpisah; ia menyapu-hilangkan kedua dunia dan ia menyerap
segala makhluk tanpa kecuali."
Catatan kaki:
1 Sirat (lengkapnya:
Sirat al-Mustakim): Jalan Lurus, Jalan Benar. Juga: Jembatan
yang melintang di atas jurang neraka; lebih halus daripada
sehelai rambut, lebih tajam daripada pedang, penuh dengan
duri dan semak-duri. Mereka yang baik akan lalu dengan
selamat, tetapi mereka yang jahat akan jatuh ke dalam jurang
itu.
2 Yang Terang Bersinar.
Kendaraan Nabi Muhammad waktu melakukan Mikraj malam
hari.
3 Waktu penyaliban, Tuhan
menaikkan Isa ke langit ketujuh, dan kebetulan sebatang
jarum dan kendi yang pccah terbawa olehnya. Karena
barang-barang duniawi itu menjadi larangan Tuhan maka Isa
diturunkan ke langit keempat. Di sana ia akan tetap tinggal
dalam kemuliaan dan ia akan datang kembali pada Hari
Kemudian.
4 Ilmu kimia kuno;
tujuannya yang terutama ialah mengubah logam-logam biasa
menjadi emas dan menemukan minuman yang dapat membuat orang
tetap muda. Di sini tentu saja dipakai dalam arti metaforis.
- H.A.
(sebelum,
sesudah)
|