|
17. Ucapan Burung Pertama
Burung pertama berkata pada Hudhud, "O kau yang telah
diangkat sebagai pemimpin, katakan pada kami apa yang
membuat kau lebih dari kami. Karena tampaknya kau pun
seperti kami, dan kami seperti kau pula, maka dalam hal mana
letak perbedaannya? Dosa raga atau dosa jiwa manakah telah
kami lakukan, maka kami bodoh sedang kau memiliki
kearifan?"
Hudhud menjawab, "Ketahuilah, o burung, bahwa suatu kali
kebetulan Sulaiman melihat aku; dan bahwa nasib baikku
bukanlah berkat emas atau perak, tetapi karena pertemuan
yang mujur ini. Bagaimana mungkin makhluk mendapat manfaat
dari kepatuhan semata? Iblis sendiri pun patuh. Namun, siapa
pun yang menasihatkan agar meninggalkan kepatuhan, maka
kutuk akan jatuh padanya buat selamanya. Amalkan kepatuhan,
maka kau akan berhasil mendapat pandang sekilas dari
Sulaiman yang sejati."
Mahmud dan Penangkap Ikan
Sultan Mahmud suatu kali terpisah dari pasukannya, dan
benar-benar seorang diri saja menggelepar lari di atas
kudanya bagaikan angin. Tak lama kemudian dilihatnya seorang
anak laki-laki kecil duduk di tepi sungai menebarkan
jalanya. Sultan Mahmud mendekatinya; dan mendapati bahwa
anak itu sedih dan murung, maka ia pun berkata, "Anak manis,
apa yang membuat kau begitu sedih? Belum pernah kulihat
orang semurung itu." "O Pangeran yang tampan," jawab anak
itu, "kami ini tujuh bersaudara; kami tak berayah lagi, dan
ibu kami amat miskin. Setiap hari hamba datang dan berusaha
menangkap ikan buat makan. Hanya bila hamba berhasil
menangkap beberapa ekor, kami akan dapat makan malam."
"Bolehkah aku mencoba?" tanya Sultan. Setelah anak itu
memperbolehkan, Sultan pun menebarkan jala, yang karena ikut
membantu kemujuran penebarnya, dengan cepat jala itu menarik
seratus ekor ikan. Melihat itu, si anak berkata dalam hati,
"Nasibku sungguh mengagumkan. Alangkah beruntungnya karena
semua ikan ini berguling-guling masuk ke dalam jalaku."
Tetapi Sultan berkata, "Jangan bohongi dirimu sendiri
Anakku. Akulah penyebab kemujuranmu. Sultan telah menangkap
semua ikan ini untukmu." Berkata demikian, Sultan pun
meloncat ke atas kudanya. Anak itu mohon pada Sultan agar
mengambil bagiannya, tetapi Sultan menolak, dengan
mengatakan bahwa ia akan mengambil perolehan hari
berikutnya. "Esok pagi, kau harus menangkap ikan untuku,"
katanya. Kemudian ia pun kembali ke istananya. Keesokan
harinya diperintahkannya seorang perwiranya untuk mengambil
anak itu. Setelah mereka tiba, diperintahkannya anak itu
duduk di sisinya di atas singgasana. "Tuanku," kata seorang
pegawai istana, "anak ini pengemis!" "Biarlah," jawab
Sultan, "kini ia jadi kawanku. Mengingat bahwa kami telah
mengikat persahabatan, tak dapat aku menyuruhnya pergi."
Demikianlah Sultan memperlakukan anak itu sama dengan
dirinya. Akhirnya seseorang bertanya pada anak itu,
"Bagaimana halnya maka kau begitu dihormati?" Anak itu
menjawab, "Kegembiraan telah datang, dan kesedihan pun
berlalu, karena aku bertemu dengan raja yang
berbahagia."
Mahmud dan Penebang Kayu
Di saat lain ketika Sultan Mahmud sedang berkuda seorang
diri, ia berjumpa dengan pak tua penebang kayu yang sedang
menuntun keledainya mengangkut semak-semak duri. Pada saat
itu si keledai tersandung, dan ketika hewan itu jatuh,
duri-duri pun mengelupas kulit kepala pak tua. Melihat
semak-semak duri yang jatuh di tanah, keledai yang
terjungkir balik dan pak tua yang menggosok-gosok kepalanya,
Sultan pun bertanya, "O laki-laki malang, adakah kau
membutuhkan kawan?" "Aku benar-benar membutuhkan," jawab
penebang kayu itu. "Perajurit berkuda yang baik, kalau kau
mau menolongku, aku akan beruntung dan kau tak akan rugi apa
pun. Pandanganmu alamat baik bagiku. Semua tahu sudah bahwa
orang akan menemukan rasa-persahabatan dari mereka yang
berwajah ramah." Maka Sultan yang baik hati itu pun turun
dan kuda, dan setelah menegakkan kaki keledai, ia pun
mengangkat semak-semak duri dan mengikatkannya ke punggung
hewan itu. Lalu ia berkendara pergi menggabungkan diri
dengan pasukannya kembali. Katanya pada para perajuritnya,
"Pak tua penebang kayu akan datang bersama seekor keledai
yang mengangkut semak-semak duri. Tutuplah jalan agar ia
nanti terpaksa harus lalu di mukaku." Ketika penebang kayu
itu sampai ke tempat para perajurit, berkatalah ia dalam
hatinya, "Bagaimana aku akan dapat lalu dengan hewan lemah
ini?" Maka ia pun pergi lewat jalan lain, tetapi melihat
payung kebesaran raja di jauhan ia pun mulai gemetar, karena
jalan yang terpaksa harus ditempuhnya akan membawa dia
berhadapan dengan Sultan. Ketika ia semakin dekat, ia
diliputi kebingungan, karena di bawah payung itu dilihatnya
wajah yang sudah dikenalnya. "O Tuhan," katanya, "betapa
hamba dalam kesulitan! Hari ini hamba harus menghadapi
Mahmud sebagai penjaga pintu hamba."
Setelah ia sampai, Mahmud berkata padanya, "Kawanku yang
miskin, apa mata pencaharianmu?" Penebang kayu itu menjawab,
"Tuanku sudah maklum. Janganlah berpura-pura. Tuanku tak
ingat akan hamba? Hamba pak tua yang miskin, penebang kayu
pekerjaan hamba; siang-malam hamba kumpulkan semak-semak
duri di gurun, lalu hamba jual, namun keledai hamba mati
karena lapar. Jika Tuanku berkenan, beri apalah kiranya
barang sekedar roti." "Kau si miskin," kata Sultan, "Berapa
akan kau jual semak-semak durimu?" Penebang kayu itu
menjawab, "Karena Tuanku tak hendak mengambilnya dengan
cuma-cuma, dan hamba pun tak hendak menjualnya pula, maka
berilah hamba sedompet emas." Mendengar itu, para perajurit
pun berseru, "Tutup mulutmu, pandir! Semak durimu itu tak
ada segenggam enjelai pun harganya. Mestinya kauberikan saja
cuma-cuma." Pak Tua itu berkata, "Itu memang betul, tetapi
nilainya sudah berubah. Ketika seorang yang berbahagia
seperti Sultan menjamah ikatan duri-duriku, maka jadilah
semuanya itu berkas-berkas mawar. Kalau Sultan hendak
membelinya, maka harganya paling tidak satu dinar, karena
Sultan telah menaikkan nilainya seratus kali dengan
menjamahnya."
(sebelum,
sesudah)
|