54. KAMI BERTIGA, KAMU BERTIGA.
Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di
sebuah pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari
itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan
menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam
bahasa Inggeris pasaran mereka menerangkan, bahwa
berabad-abad sebelumnya mereka telah dibaptis oleh para
misionaris. 'Kami orang Kristen,' kata mereka sambil dengan
bangga menunjuk dada.
Uskup amat terkesan. Apakah mereka tahu doa Bapa Kami?
Ternyata mereka belum pernah mendengarnya. Uskup terkejut
sekali. Bagaimana orang-orang ini dapat menyebut diri mereka
Kristen, kalau mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu
dasariah seperti doa Bapa Kami?
'Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?'
'Kami memandang ke langit. Kami berdoa: 'Kami bertiga,
kamu bertiga, kasihanilah kami.' Uskup heran akan doa mereka
yang primitif dan jelas bersifat bid'ah ini. Maka sepanjang
hari ia mengajar mereka berdoa Bapa Kami. Nelayan-nelayan
itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha
sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari
berikutnya, Uskup merasa puas. Sebab, mereka dapat
mengucapkan doa Bapa Kami dengan lengkap tanpa satu
kesalahan pun.
Beberapa bulan kemudian kapal Uskup kebetulan melewati
kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil
berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di
salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga orang yang
mampu berdoa Bapa Kami dengan lengkap berkat usahanya yang
penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia,
melihat seberkas cahaya di arah Timur. Cahaya itu bergerak
mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup
melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air,
menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan
semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat
pemandangan ajaib ini.
Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga
sahabatnya, para nelayan dulu. 'Bapak Uskup', seru mereka,
'Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar
kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami
datang.'
'Apa yang kamu inginkan?' tanya Uskup
tercengang-cengang.
'Bapak Uskup,' jawab mereka, 'kami sungguh-sungguh amat
menyesal. Kami lupa akan doa yang bagus itu. Kami berkata:
Bapa kami Yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu; datanglah
kerajaanMu ... lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi
seluruh doa itu!'
Uskup merasa rendah diri: 'Sudahlah, pulang saja,
saudara-saudaraku yang baik, dan setiap kali kamu berdoa,
katakanlah saja: Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah
kami.'
Aku kadang-kadang melihat wanita-wanita tua berdoa
rosario tak habis-habisnya di gereja. Bagaimana mungkin
Tuhan dimuliakan dengan suara bergumam yang tidak keruan
itu? Tetapi setiap kali aku melihat mata mereka atau
memandang wajah mereka menengadah, di dalam hati aku tahu,
bahwa mereka lebih dekat dengan Tuhan daripada banyak orang
terpelajar.
(cerita serupa: 01
02 dari
tradisi Kaum Asaaseen)
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
|