27. APA KATAMU?
Seorang guru menanamkan kebijaksanaan dalam hati
muridnya, bukan di atas halaman buku. Si murid mungkin
mengendapkan kebijaksanaan itu selama tiga puluh atau empat
puluh tahun di dalam hatinya, sampai ia menemukan seseorang
yang siap sedia untuk menerimanya. Itulah tradisi Zen.
Guru Zen Mu-nan menyadari bahwa ia hanya mempunyai satu
orang penerus, yaitu muridnya Shoju. Pada suatu hari ia
mengundangnya dan berkata: 'Sekarang aku sudah tua. Shoju,
dan hanya engkaulah yang akan meneruskan ajaranku. Terimalah
kitab ini, yang telah diwariskan selama tujuh turunan dari
guru ke guru. Aku sendiri menambah beberapa catatan di
dalamnya, yang kiranya akan berguna bagimu. Simpanlah kitab
ini. sebagai tanda bahwa engkau penerusku.'
'Lebih baik kitab itu Bapak simpan sendiri saja,' kata
Shoju. 'Saya menerima ajaran Zen dari Bapak secara lisan,
maka saya lebih senang meneruskannya secara lisan pula.'
'Aku tahu, aku tahu,' kata Mu-nan dengan sabar. 'Namun
kitab ini sudah disimpan selama tujuh turunan dan mungkin
ada gunanya bagimu. Maka, terimalah dan sirnpanlah
baik-baik.'
Keduanya kebetulan berbicara di dekat perapian. Begitu
diterima Shoju, kitab itu langsung dilemparkannya ke dalam
api. Ia tidak tertarik pada kata-kata tertulis.
Mu-nan yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang tidak
pernah marah, berteriak: 'Kau melakukan perbuatan
biadab!'
Shoju juga berteriak: 'Bapak mengucapkan kata-kata
biadab!'
Sang Guru berbicara dengan penuh wibawa tentang apa yang
sudah dialaminya sendiri. Ia tidak mengutip satu buku
pun.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
|