92. KURA-KURA
Ia memimpin sebuah kelompok beriman. Semacam guru.
Disegani, dihormati, bahkan disayangi. Tetapi ia mengeluh
kepadaku, bahwa ia tidak mendapatkan kehangatan dalam
persahabatan dengan sesamanya. Orang mencarinya untuk mohon
bantuan dan minta nasehat. Mereka tidak mendekatinya sebagai
seorang manusia biasa. Mereka tidak dapat bersantai
bersamanya.
Bagaimana mungkin? Aku memandangnya: selalu seimbang,
menguasai diri, anggun, sempurna. Maka aku berkata
kepadanya: 'Engkau harus membuat pilihan berat: hidup lumrah
penuh gairah dan menjadi menarik atau hidup seimbang dan
terus dihormati. Engkau tidak dapat menempuh
kedua-keduanya.' Ia pergi dengan sedih. Kedudukannya,
katanya, tidak mengijinkannya untuk hidup lumrah penuh
gairah, untuk menjadi dirinya sendiri. Ia harus memainkan
sebuah peranan dan dihormati.
Jesus rupanya telah hidup lumrah, penuh gairah dan bebas.
Tidak seimbang dan tidak dihormati. Pastilah perkataan dan
perbuatanNya mengejutkan banyak orang terhormat.
--o000o--
Seorang kaisar dari Tiongkok mendengar tentang
kebijaksanaan seorang pertapa yang hidup di pegunungan
utara. Dikirimnya utusan-utusan ke sana untuk menawarkan
jabatan Perdana Menteri Kerajaan kepadanya.
Sesudah berjalan berhari-hari, sampailah para utusan itu
di pertapaan. Mereka menemukan sang pertapa sedang duduk di
atas batu karang, setengah telanjang, sambil mengail ikan.
Mula-mula mereka sangsi. Inikah orang yang oleh Kaisar
dihargai begitu tinggi? Tetapi setelah ditanyakan di desa
sekitar, ternyata memang dialah orangnya. Maka mereka
berdiri di pinggir sungai dan dengan hormat
memanggilnya.
Sang pertapa menyeberang sampai ke pinggir sungai,
menerima hadiah-hadiah dari para utusan dan mendengar
permintaan mereka yang aneh. Ketika ia mulai mengerti bahwa
Kaisar menginginkan dia, sang pertapa itu, untuk menjadi
Perdana Menteri Kerajaan, maka ia mengangguk-anggukkan
kepalanya dan tertawa terkekeh-kekeh. Ketika ketawanya telah
berhenti, ia berkata kepada para utusan yang
keheran-heranan: 'Kamu lihat kura-kura yang sedang
mengibas-ngibaskan ekornya di dalam lumpur itu?'
'Ya, Tuanku,' kata para utusan.
'Nah, jawablah: Apakah benar bahwa setiap hari seluruh
hamba istana berkumpul di kuil istana dan menyembah seekor
kura-kura mati yang badannya disumpal kapuk dan ditempatkan
di mesbah utama; seekor kura-kura dewata yang kulitnya
dihiasi intan permata, mirah serta ratna mutu manikam?'
'Memang benar, Tuanku,' jawab para utusan.
'Nah, apakah kiranya binatang kecil, yang
mengibas-ngibaskan ekornya di lumpur itu mau berganti tempat
dengan kura-kura dewata?'
'Tidak, Tuanku,' kata para utusan.
'Nah, pulanglah dan katakan kepada Kaisar, bahwa aku juga
tidak mau. Aku lebih senang hidup di pegunungan ini daripada
mati di dalam istana. Sebab, tak seorang pun dapat hidup
dalam istana dan tetap sungguh-sungguh hidup lumrah penuh
gairah.'
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
|