DUA BERSAUDARA YANG SALING
MENCINTA
Dua bersaudara, yang seorang membujang, yang lain kawin,
punya ladang, dengan subur menghasilkan limpah gandum.
Separuh diberikan kepada saudara yang satu dan separuhnya
kepada yang lain.
Semua berjalan baik pada awal. Lalu, terkadang saja,
orang yang kawin mulai bangun terjaga dari tidurnya di waktu
malam dan berpikir. Ini tidak adil. Saudaraku tidak kawin
dan ia mendapatkan separoh hasil ladang. Di sini aku dengan
Istri dan lima anak, jadi aku terjamin aman di masa tua.
Tetapi siapa yang menjaga saudaraku celaka nanti, kalau ia
jadi tua? Ia harus menyimpan lebih banyak bagi masa depan
daripada sekarang, maka kebutuhannya jelas lebih besar dari
pada saya.
Dengan ini ia bangun tidur, diam-diam menyelinap ke
tempat saudaranya dan memasukkan sekarung gandum dalam
lumbung saudaranya.
Si bujang mendapatkan ilham sama di waktu malam juga.
Kadang-kadang ia bangun dari tidurnya dan berkata pada
dirinya: "Ini jelas tidak adil. Saudaraku punya istri dan
lima anak dan ia mendapat separoh hasil tanah. Dan aku tidak
punya tanggungan selain diriku sendiri. Maka tidak wajar
saudaraku miskin, karena kebutuhannya jelas lebih besar dari
saya, harus menerima tepat sama seperti saya." Lalu ia
keluar dari tempat tidurnya dan memasukkan sekarung gandum
di lumbung saudaranya.
Pada suatu hari mereka bangun tidur pada waktu sama, dan
lari bertabrakan, masing-masing menggendong sekarung
gandum!
Bertahun-tahun kemudian, sesudah mati, kisah itu
diketemukan. Maka ketika orang sekota itu mau membangun
kenisah mereka memilih tempat, di mana dua saudara bertemu,
sebab mereka tidak bisa memikirkan tempat lain di kota, yang
lebih suci daripada itu.
Perbedaan penting dalam agama itu bukan antara yang
beribadah dan mereka yang tidak beribadah tetapi antara
mereka yang mencinta dan yang tidak.
(DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ,
Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
|