Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

CERMIN BUAT TETANGGA
 
Ketika ditanya wartawan The Age, koran terbesar di Australia
pada     tahun     1988,    tentang    bagaimana    hubungan
Indonesia-Australia, Rendra balik  bertanya:  hubungan  yang
mana?   Hubungan   pemerintah  Indonesia  dengan  pemerintah
Australia,  baik.  Hubungan  masyarakat   Indonesia   dengan
masyarakat  Australia, mulus. Hubungan pers Indonesia dengan
pers Australia,  lancar.  Yang  selalu  jadi  masalah  ialah
hubungan pers Australia dengan pemerintah Indonesia.
 
Kecuali  Australia,  Indonesia  mempunyai tetangga lain. Dan
para tetangga itu juga memiliki sendiri pers  masing-masing.
Mereka juga bisa menulis apa saja soal Indonesia. Tetapi tak
seperti pers Australia, pers para tetangga lain  tak  begitu
"mengancam" ketenangan pemerintah kita.
 
Banyak ahli Indonesia di Australia yang mengetahui persoalan
Indonesia  secara  mendalam,  jauh   lebih   mendalam   dari
kebanyakan  pemahaman  orang  Indonesia sendiri atas kondisi
masyarakatnya. Kritik orang-orang seperti itu jelas berguna,
betapapun pahitnya karena mereka mengritik dengan fakta yang
sahih.
 
Pada awal masa tugasnya  di  Australia,  Duta  Besar  Rusman
Nuryadin  mengunjungi  Universitas  Monash  untuk  melakukan
dialog dari  hati  ke  hati  dengan  para  intelektual  yang
bercokol di kampus itu. Ada yang memuji tindakan pejabat itu
sebagai terobosan baru, dan  mengandung  sejenis  keberanian
karena  konon  baru  dia pejabat Indonesia yang berani masuk
kandang "macan" itu.
 
Saya kurang tahu macan jenis apa.  Setahu  saya  biasa-biasa
saja.   Mahasiswa  Indonesia  di  sana,  yang  dikhawatirkan
menjadi "macan" radikal juga, nyatanya tidak. Sebagian  dari
mereka  bahkan tampak sangat korpri-minded: bisa tersinggung
oleh  kritik  apa  saja  yang   tertuju   pada   pemerintah.
Pendeknya,  mereka anak-anak yang "saleh". Saya ingat, Dubes
Rusman saat itu bertanya: "Siapa di  sini  yang  masih  suka
bicara  sumbang  tentang Indonesia? Tolong, perkenalkan saya
dengan mereka itu, agar saya bisa memberi mereka  penjelasan
yang benar tentang kondisi negeri kami."
 
Herbert Feith, ahli politik Indonesia yang kondang itu, saat
itu duduk di sebelah saya, dan hanya tersipu-sipu  mendengar
pertanyaan  itu. Tak seorang pun yang menjawab. Mereka bukan
tidak tahu persoalan.
 
Di mata orang Australia (para wartawan, para ahli,  termasuk
mahasiswa, dan masyarakat awam), daya tarik Indonesia memang
besar. Seminar rutin tiap Kamis  yang  diadakan  oleh  Pusat
Studi  Asia  Tenggara,  Universitas  Monash, menunjukkan hal
itu. Bila seminarnya mengenai  Indonesia,  ruangan  505  itu
sering  tak  mampu  menampung peminat. Tapi sebaliknya, bila
seminarnya menyangkut Malaysia, misalnya, ruangan itu begitu
sepi.
 
Dugaan  saya, banyak orang Australia yang membangun persepsi
tentang Indonesia semata berdasarkan informasi pers  mereka.
Selama  di  negeri  itu  saya bertemu banyak orang, kalangan
muda, yang bersikap "marah"  terhadap,  pertama,  Islam  dan
kedua,  pemerintah (Indonesia). Kritik mereka terhadap Islam
dan pemerintah begitu khas; ciri orang marah, tanpa memahami
seluk-beluk  persoalannya  secara memadai. Kesan saya, Islam
dan pemerintah Indonesia merupakan sesuatu  yang  menakutkan
bagi mereka.
 
Seminggu  sebelum  seminar tentang "Agama dan Perdamaian" di
Universitas Monash tahun lalu,  ketika  Perang  Teluk  masih
berlangsung, seorang Muslim Indonesia digebuk oleh anak-anak
muda Australia yang marah terhadap Islam. Ini menjadi  salah
satu bukti ketakutan, atau mungkin kebencian, itu.
 
Jumlah  ahli Indonesia di berbagai universitas di Australia,
makin  lama   makin   banyak,   seiring   dengan   dibukanya
Pusat-pusat  Studi  Asia  Tenggara  di universitas yang dulu
belum  memilikinya.  Pejuang-pejuang  agama,  yang  berusaha
mengadakan  dialog antar-umat beragama berdasarkan kasih dan
saling pengertian,  juga  ada.  Beberapa  di  antara  mereka
sahabat  saya. Tetapi suara mereka tampaknya tak cukup keras
untuk didengar. Pengaruh mereka tak  tampak  sebesar  akibat
tulisan seorang wartawan di sebuah media massa.
 
Saya juga mengenal orang yang dengan tulus berusaha membantu
mencari jalan pemecahan persoalan Timor Timur. Tulisannya di
media   massa   Australia  tampak  mencerminkan  sikap  yang
bijaksana.  Tidak  ada  kutukan  terhadap  pihak  mana  pun,
termasuk  terhadap  pemerintah Indonesia, di dalamnya. Tidak
ada kesan menghardik dan sikap radikal. Tidak ada kebencian.
 
Mungkin karena itu semua,  suara  bijak  itu  justru  hilang
seolah  tanpa  bekas.  Orang-orang "romantis", yang bersikap
paling suci itu, sama sekali  tak  terimbas  oleh  pemikiran
moderat mereka.
 
Pemerintah  memang  bisa  salah.  Dan ia sah untuk dikritik.
Meskipun pemerintah Indonesia marah dengan  kritikan,  namun
diam-diam  mereka  memanfaatkan  kritik  itu buat perbaikan.
Jadi kritik  terhadap  pemerintah  sehubungan  peristiwa  12
November di Dili, yang dilakukan antara lain dengan membakar
Bendera Merah Putih  kita,  buat  saya  merupakan  persoalan
tersendiri.
 
Bendera  negara bukan hanya milik pemerintah, melainkan juga
milik seluruh rakyat Indonesia. Sikap brutal mereka jadinya,
juga melukai hati masyarakat.
 
Saya  menghargai  keluhuran  perjuangan  mereka.  Tapi  cara
mereka melihat kita hanya dari sudut-sudut  paling  dramatis
itu sungguh tidak adil.
 
Melihat  orang  Aborigin  keleleran  di  taman-taman di kota
Sydney atau  Melbourne,  compang-camping,  kelaparan,  tanpa
pendidikan,   tanpa   lapangan  kerja,  mengapa  tak  pernah
menyentuh keharuan kalbu mereka?
 
Saya tidak keberatan  pemerintah  Indonesia  dikritik.  Tapi
mendengar  Bendera  kita  diinjak-injak,  saya  merasa perlu
bereaksi. Saya ingin  mengirimi  tetangga  kita  itu  sebuah
cermin.  Siapa  tahu, pada saat senggang mereka bisa melihat
wajah sendiri di cermin itu. Siapa  tahu,  noda  yang  sudah
jauh  terpendam dalam sejarah penindasan kaum Aborigin masih
bisa terlihat.
 
---------------
Mohammad Sobary, Suara Pembaruan, 6 Desember 1991

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team