Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PENJARA
 
Ketika Uni Soviet masih sebuah negara yang  dikuasai  partai
tunggal  Golkom  (golongan  komunis),  para pembangkang yang
paling gigih dan  berani  pun  mengkeret  menghadapi  sistem
penjara  yang  terkenal  kejam.  Di  sana,  dulu,  ada  kamp
konsentrasi di Siberia, yang bisa  membekukan  tulang-tulang
kering para pembangkang.
 
Berkat  sistem  penjara yang ganas, kaku dan dingin terhadap
rasa  kemanusiaan  itu,  pengarang   besar   Aleksander   I.
Solzhenitsyn  menulis  novel The Gulag Archipelago yang juga
sudah  difilmkan  dengan  bagus   itu.   Didukung   jaringan
mata-mata  Soviet yang efektif dan terkejam di dunia, partai
komunis pernah  menjadikan  seluruh  negeri  Soviet  sebagai
sebuah penjara raksasa.
 
Di  negeri  kita sini penjara atau bui --yang kemudian diubah
menjadi "Lembaga Pemasyarakatan"-- tak sekejam itu.  Meskipun
begitu,  tak  seorang  pun  yang punya cita-cita luhur untuk
sesekali mendekam di penjara. Kata penjara itu saja  biarpun
sudah  ganti  "kulit" menjadi "Lembaga Pemasyarakatan" sudah
menakutkan.
 
Beberapa waktu lalu, mantan juara dunia  tinju  terkenal  di
bumi,  si  Mike Tyson itu, dijatuhi hukuman dan segera harus
mendekam   di   penjara.   Pembelanya,    Alan    Deshowitz,
mengkhawatirkan  kalau  si  Tyson justru menjadi lebih jahat
selama di penjara. Di dalam "masyarakat khusus"  itu,  bukan
tak  mungkin  Tyson  malah  "belajar"  bertingkah laku lebih
jahat lagi.
 
"Filsafat" yang melatarbelakangi sistem  penjara  kita,  dan
mungkin  juga  di mana-mana, jelas tidak dibumbui kedengkian
dan hasrat balas dendam.  Napi  dipenjara  supaya  merenung,
menyesali  perbuatan  dan  memperoleh  pelajaran  untuk bisa
hidup kembali di masyarakat secara baik. Tapi di  mana-mana,
dan   juga  di  tempat  kita,  kenyataan  sebaliknya  sering
terjadi. Maksudnya,  seseorang  dipenjara  kemudian  menjadi
lebih jahat, lebih ganas.
 
Penjara  memang  mengurung,  membatasi gerak, dan pada batas
tertentu, juga melumpuhkan. Bayangkan, orang dikurung  terus
dan  tak  pernah  menghirup  kebebasan.  Si  terpenjara bisa
dilumpuhkan secara fisik. Bisa juga secara psikologis.
 
Mantan napi yang kemudian menjadi jahat,  sebenarnya  adalah
orang  yang  telah  dilumpuhkan  fungsi-fungsi psikologisnya
hingga benih-benih yang memiliki kecenderungan baik itu pada
mati,  dan  bibit  kasih  sayangnya pun tak lagi berkembang.
Pokoknya, dia berhasil dilumpuhkan. Ini hasil  dari  penjara
yang meringkus dan membatasi gerak fisik orang.
 
Ada  jenis  penjara  lain.  Orang  tidak  terkurung di dalam
penjara tapi ia terpenjara. Dan  celaka,  banyak  orang  tak
menyadari  bahwa  sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam
seluruh kebebasannya. Dalam konsep  Inggris,  penjara  jenis
ini  disebut  captive  mind: jiwa yang terpenjara (sekalipun
fisiknya bebas melayang ke mana  saja).  Ini  mungkin  lebih
membahayakan  dan  lebih  kejam  dibanding terpenjara secara
fisik.
 
Kebodohan, yang membuat kita menjadi  picik,  keras  kepala,
merasa  benar  sendiri,  dan segenap ketidakmampuan bersikap
kritis, pada dasarnya adalah  potret  sebuah  keterpenjaraan
jiwa.  Pikir  punya  pikir,  di  masyarakat kita banyak ulah
manusia  yang  mungkin   bisa   disebut   sebagai   gambaran
keterpenjaraan  jiwa itu. Nafsu "berkuasa" secara berlebihan
(hasrat  menjadi  sesuatu  dan  tak   memberi   orang   lain
kesempatan   menggantinya)  adalah  juga  bentuk  jiwa  yang
terpenjara. Untuk  mudahnya,  ini  bisa  dinamakan  "penjara
nafsu".
 
Rangkaian  dari  keterpenjaraan ini banyak sekali. Biasanya,
lanjutan nafsu berkuasa,  adalah  nafsu  "ingin  punya".  Di
dunia wayang kita kenal dengan Dasamuka. Ia bernafsu menjadi
jagoan paling sakti di bumi (bahkan juga  di  langit,  ingin
melebihi  para  dewa),  dan  ingin  memiliki  apa  saja yang
dimiliki orang lain.
 
Di sekeliling kita, nafsu ingin punya ini  diwujudkan  dalam
bentuk  ingin  beli  pulau,  ingin  beli  gunung, ingin beli
lembah, laut, danau, pabrik-pabrik, toko-toko,  kantor.  Apa
saja yang ada.
 
Buat anak yang sudah bisa kerja dibelikan pabrik atau kantor
yang disenangi. Untuk istri  dibelikan  kebun  binatang  dan
kebun  raya,  mana tahu sang istri ingin menyegarkan jiwanya
yang juga terpenjara itu.
 
Apakah anak-anak yang masih sekolah tak  dibelikan  sesuatu?
Jangan  khawatir.  Anak  yang  masih  sekolah juga dibelikan
sekolahan. Caranya, supaya tak mencolok dan tak  jadi  gosip
di  luaran, cukup menyogok gurunya. Kalau anaknya yang dungu
itu tidak naik, gurunya  dijejali  dompet  penuh  duit.  Dan
rapor  yang  terbakar pun dipadamkan. Kemudian si anak dungu
diberi kesempatan naik.
 
Kalau anak atau cucu ingin juara dalam  suatu  lomba,  untuk
mereka  kejuaraan juga bisa dibeli. Dengan kata lain, mereka
bukan juara, melainkan "dijuarakan".
 
Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik,  segala  dampak
negatif  dan aneka corak penderitaannya cukup dirasakan oleh
yang  bersangkutan.  Tapi  keterpenjaraan  jiwa,   diam-diam
rupanya  merembet,  merayap, dan menggerayangi segenap pihak
dalam keluarga.  Bahkan  mungkin  segenap  kerabat,  famili,
sanak, dan konco-konco seperjuangan dulu.
 
Keterpenjaraan    jiwa,   pendeknya,   serupa   wabah   yang
berjangkit. Wabah itu masa inkubasinya pendek, jangkauan dan
daya  ledaknya  luas.  Ancamannya:  gawat,  tapi  tak selalu
darurat. Soalnya, yang bersangkutan sering  tak  sadar.  Dan
karena  itu  juga  tak  harus  merasa  malu.  Yang ada malah
sejenis rasa bangga.
 
Dokter medis, dokter jiwa, psikolog,  pekerja  sosial,  kiai
dan segenap ahli rohani, harus dikerahkan untuk menyembuhkan
keterpenjaraan jiwa seperti itu.
 
Jika semua ahli itu masih belum menyembuhkan  juga,  mungkin
tinggal  satu  yang bisa dijadikan tumpuan harapan: sejarah.
Artinya, biarkanlah sejarah yang sabar dan kalem itu  dengan
teliti  mencatat,  merekam,  dan  mengumpulkan segenap fakta
yang diperlukan.
 
Kelak,  akhirnya  sejarah  pun  akan  bisa  berkata  seperti
Chairil Anwar: Bila telah sampai waktuku, ku mau tak seorang
pun kan merayu. Tidak juga (orang-orang jiwanya terpenjara).
Tak  perlu  sedu  sedan  itu.  Karena  kau  terlambat.  Saat
kejatuhanmu telah. tiba Selamat jalan.
 
Betapa mengerikan akibat dari sebuah keterpenjaraan jiwa.
 
Tapi mengapa harus ngeri? Tiap diri di antara kita,  mungkin
sudah  dilengkapi  alam  dengan  alat-alat  sensor yang bisa
mencegah  kemungkinan  kita  terjerumus  ke  dalam   penjara
seperti itu.
 
Soalnya: tinggal bagaimana kita sendiri.
 
Terpenjara   atau   tidak,   sebenarnya  kita  sendiri  yang
menentukan. Bukankah kita diberi  hak  untuk  jadi  arsitek,
buat melukis nasib kita sendiri?
 
---------------
Mohammad Sobary, Hai, 17/XVI 28 April 1992

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team