Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VIRUS N-ACH
 
Tak semua virus membahayakan. Maka  tak  semua  virus  harus
dibasmi.   Virus   mental,  yang  diberi  nama  aneh  n-ach,
singkatan  need  for  achievement   (hasrat   untuk   meraih
setinggi-tingginya   prestasi   dalam   hidup)   sebagaimana
disebutkan David Mc. Clelland itu,  justru  merupakan  suatu
jenis virus yang harus dikembangbiakkan.
 
Menurut  psikolog  terkenal ini, virus dapat ditularkan dari
satu orang  ke  orang  lain.  Dari  penelitiannya  di  Indra
Pradesh,  India,  David  Mc.  Clelland  berkesimpulan  bahwa
orang-orang  yang  telah  diberi  latihan   di   pusat-pusat
latihan,  kemudian  menunjukkan  gejala bahwa mereka semakin
bergairah  bekerja,  lebih  tekun,  lebih  keras  dari  saat
sebelum menerima latihan motivasi itu.
 
Latihan,  pendeknya,  telah berhasil memotivasi dan mengubah
mereka menjadi sejenis manusia  "baru",  manusia  yang  lain
dari  hari-hari  lalunya.  Jika orang-orang yang bersemangat
kerja itu ditanya, mengapa mereka tiba-tiba begitu bergairah
bekerja,  jawabnya  selalu  mengagetkan, "Saya bekerja keras
tidak  semata  karena  mengharap  meningkatnya  penghasilan,
melainkan  karena  saya  menemukan  sejenis kenikmatan dalam
kerja itu sendiri."
 
Pendeknya, mereka (para wiraswastawan yang dilatih itu) lalu
semakin  bergairah bekerja semata karena mereka merasa bahwa
pada  akhirnya  bekerja  lebih  lama  dan  lebih  baik  demi
peningkatan   mutu   produksinya  itulah  yang  harus  lebih
merupakan daya dorong  buat  meraih  prestasi  dalam  hidup.
Orang-orang  ini pada prinsipnya telah dirasuki secara ganas
virus mental yang disebut n-ach tadi.
 
Dalam kubu teori modernisasi, teori yang dikembangkan  David
Mc.  Clelland  ini  dikategorikan  sebagai teori mentalisme.
Maju tidaknya  seseorang,  suatu  kelompok  atau  masyarakat
dalam  sebuah negara, dengan demikian sangat bergantung pada
sikap mental mereka sendiri. Jika memiliki sikap mental yang
"baik"  (penuh  gairah, penuh ide, dan gagasan), mereka akan
bisa menjadi maju. Jika tidak,  keadaan  sebaliknyalah  yang
akan terjadi.
 
Maka  tak  mengherankan bila para penganut aliran mentalisme
ini (termasuk orang  awam)  kemudian  dengan  mudah  memberi
fatwa  bahwa  masyarakat kita tidak maju karena sikap mental
kita  pada  prinsipnya  tidak  atau   belum   cocok   dengan
syarat-syarat yang diperlukan oleh pembangunan. Sikap mental
dianggap sebagai kunci tiap persoalan.
 
Jika puasa selama sebulan yang baru lalu itu, dan Idul Fitri
beserta   kewajiban  membayar  zakat  bisa  disebut  sebagai
latihan motivasi yang berhasil, dapatkah kemudian lahir pada
umat   Islam   sikap   mental   yang   mencerminkan  segenap
kecenderungan yang baik  semata?  Dapatkah  misalnya,  kita,
umat  Islam  lalu menjadi manusia yang lebih jujur dari saat
sebelumnya? Dapat jugakah kita, setelah  puasa  itu  menjadi
hamba yang lebih sosial, lebih memiliki solidaritas terhadap
sesama,  terutama  pada  mereka  yang  lebih  miskin?   Dan,
dapatkah  kita,  setelah  digembleng  di  kawah candradimuka
(metafora yang selalu digunakan para ustad dan dai kita) itu
tampil  sebagai manusia "baru" yang lain dari sebelumnya dan
yang menghayati fungsi kekhalifahannya  dengan  baik  hingga
tak  mungkin  bagi kita untuk bersikap tamak dan serba ingin
mengangkangi seluruh isi dunia?
 
Secara teoretis, sebagaimana dikatakan berulang-ulang setiap
tahun  oleh  para  ustad  dan  para  dai  di  masjid-masjid,
mestinya bisa.  Artinya, setelah digembleng  itu  kita  lalu
bisa  tampil  secara  lain.  Kita  bisa menjadi lebih jujur,
lebih adil, lebih demokratis, lebih menghargai sesama, lebih
tidak tamak, lebih murah, dan lebih pelindung.
 
Namun,  dalam  kenyataan empiris, mengapa segala yang secara
teoretis dikatakan  mungkin  itu,  nyatanya  tidak  mungkin?
Maksudnya,   mengapa   kondisi  kita  dari  dulu  juga  cuma
begitu-begitu saja, padahal puasa  demi  puasa  dan  lebaran
demi  lebaran telah berlalu? Apa yang salah dalam diri kita?
Apa yang tak berhasil  kita  tangkap  dalam  perburuan  kita
mengejar   kasampurnaning  laku  pada  tiap-tiap  puasa  dan
lebaran kita?
 
Goenawan Mohamad pernah  bilang  dalam  salah  satu  catatan
pinggirnya  di  Tempo  itu,  bahwa "proyek" untuk menjadikan
manusia  sempurna itu  sering  --dalam  kenyataan-- berakhir
mengecewakan.  Pendeknya, manusia bukan malaekat. Dan, dunia
kumuh ini memang tak bisa dibikin menjadi surga.
 
Perlu diberi catatan tambahan, bahwa kata-kata  mas  GM  ini
dikemukakan  dalam  kaitan dengan kritiknya terhadap komunis
yang memimpikan lahirnya  manusia-manusia  (dan  masyarakat)
yang  sosialistis,  yang  tidak  mengandung  kelas-kelas  di
dalamnya.
 
Agama pun sebenarnya memiliki ajaran ideal, yang seolah-olah
kelihatan   utopis   karena   kenyataan  menunjukkan  betapa
sulitnya manusia mencapai takaran ideal seperti  itu.  Maka,
sekali  lagi  kita  bertanya,  mengapa  puasa demi puasa dan
lebaran demi lebaran kita lalui, namun kenyataan sosial kita
tetap kumuh, tetap tak seindah kenyataan ideologis kita?
 
Barangkali  selama  ini  kita  kelewatan menekankan dan juga
bergantung  kelewat  kuat  pada  unsur-unsur  normatif  dari
ajaran.  Barangkali  selama  ini  kita  kelewat mengagungkan
gagasan ideal bahwa berkat  gemblengan  bulan  suci  Ramadan
kita akan jadi begini dan begitu, dan ternyata tidak.
 
Sikap  begitu  bisa  mengakibatkan  kita lupa pada keharusan
membenahi  tantangan-tantangan   kongkret   dalam   struktur
masyarakat kita. Orang per orang memang bisa menjadi manusia
suci, tetapi satu dua orang  suci,  apa  artinya  berhadapan
dengan  berjuta  manusia serakah yang dominan dalam struktur
masyarakat kita?
 
Dalam hal ini tampaknya kaum  strukturalis  (termasuk  Arief
Budiman  itu)  benar, bahwa yang penting bukan sikap mental,
melainkan struktur sosial. Dengan  begitu  penjelasan  David
Mc.  Clelland  mungkin  lalu  dianggap tidak tepat dan tidak
memuaskan karena kelewat  menekankan  unsur  psikologis  dan
abai terhadap struktur sosial.
 
Oleh  karena  itu,  yang  kita perlukan sekarang bukan virus
mental  yang  cuma  bergerak  di  sekitar   pribadi-pribadi,
melainkan  virus sosial yang mampu menjangkau seluas mungkin
sasaran kemasyarakatan. Jika perlu,  harus  mampu  mendasari
tumbuhnya  nilai-nilai  sosial  yang akan bisa mengakibatkan
terjadinya  transformasi   sosial   secara   berarti   dalam
masyarakat kita.
 
Virus sosial seperti itu mungkin bisa dikembangbiakkan lewat
ajaran moral. Tapi, saya  kira,  yang  penting  ialah  lewat
moralitas  yang mendunia, kongkret, dan mudah dijangkau agar
kita tidak cuma mengunyah moralitas yang kosong.
 
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 12 April 1992

 

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team