Alasan PTN Harus Berbadan Hukum
oleh Chan Basaruddin
Guru Besar Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer,
Universitas Indonesia
Tulisan Dian Simatupang (Kompas 22/6/2013) yang berjudul
"Paradoks
Rasionalitas PTN-BH" sangat penting untuk direspons
karena penulis telah menyempitkan tujuan ditetapkannya
perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum hanya ditinjau
dari sudut keuangan.
Penulis melupakan bahwa aspek pengelolaan keuangan dan
pendanaan bukanlah persoalan pokok yang mendasari perlunya
PTN ditetapkan sebagai badan hukum. Ia berpendapat bahwa
dengan status badan hukum, PTN berisiko pailit dan tidak
berhak mendapat anggaran yang bersumber dari APBN.
Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan memaknai
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) sebagai badan
hukum privat yang memiliki misi memperoleh keuntungan
seperti perseroan terbatas (PT). Tentu saja ini keliru
karena kegiatan dan misi utama perguruan tinggi adalah
menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat yang tak satu pun dari ketiganya memiliki
risiko kerugian. Perguruan tinggi ditutup atau dibubarkan
apabila atas kehendak sendiri atau tidak mampu menjalankan
misinya sehingga tak ada mahasiswa yang mau belajar di
sana.
Sebagai badan hukum, PTN tetap menjalankan tugas negara,
yaitu menjalankan fungsi pendidikan tinggi, fungsi publik,
nirlaba dan didanai negara. Hal ini dinyatakan secara
eksplisit dalam UU
Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 65 Ayat (3). Jika digunakan
analogi BUMN, atas penugasan tersebut, PTN yang berstatus
badan hukum berhak atas pendanaan yang bersumber dari APBN.
Kita mengenal adanya subsidi energi yang diberikan kepada PT
PLN, subsidi transportasi yang diberikan kepada PT PELNI dan
PT Kereta Api, dan tentu saja subsidi BBM yang diberikan
kepada PT Pertamina.
Kecenderungan global
Perkembangan pendidikan tinggi di era kini ditandai oleh
dua kecenderungan utama, yaitu masifikasi dan
globalisasi/internasionalisasi. Peningkatan kesejahteraan
dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi
serta perbaikan tingkat ekonomi masyarakat telah menyebabkan
peningkatan kebu tuhan akan layanan pendidikan tinggi secara
signifikan. Hal ini didorong juga oleh kebutuhan pembangunan
bangsa di era ekonomi berbasis pengetahuan, di mana daya
saing sebuah bangsa tidak lagi ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya alam, tetapi pada kemampuan dalam mengembangkan
dan memanfaatkan pengetahuan secara inovatif dan
kreatif.
Globalisasi ditandai oleh persaingan terbuka yang
melampaui batas-batas negara. Dalam konteks ini, kualitas
adalah kunci utama untuk memenangkan persaingan. Hanya
perguruan tinggi yang berkualitas dan berkelas dunia sajalah
yang akan mampu bertahan di kancah persaingan global.
Perguruan tinggi berkualitas dan berkelas dunia ini paling
tidak ditandai tiga karakteristik utama, yaitu: melakukan
penelitian berkelas dunia, didukung oleh dosen yang memiliki
reputasi akademik internasional, dan mampu menarik mahasiswa
dari berbagai penjuru dunia.
Setiap negara memiliki cara dan strategi yang berbeda
dalam merespons kecenderungan global. Namun, setiap bangsa
sepakat perlunya mengembangkan perguruan tinggi di negaranya
untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan bangsa dan perkembangan ilmu
pengetahuan universal.
Belajar dari tetangga
Perguruan tinggi hanya akan maju dan berkembang jika
didukung lingkungan yang kondusif. Belajar dari keberhasilan
beberapa perguruan tinggi di negara tetangga, seperti NUS
(Singapura), HKU (Hongkong), Chulalongkorn (Thailand), yang
telah mampu mencapai prestasi akademik yang sejajar dengan
perguruan tinggi kelas dunia lainnya, kita dapat mencatat
empat faktor yang mendorong keberhasilan dimaksud.
Pertama, dijaminnya kebebasan akademik yang
merupakan nilai inti (core values) sebuah perguruan
tinggi. Kebebasan akademik ini bukan hanya pada tataran
individu sivitas akademika melainkan juga pada tataran
kelembagaan. Perguruan tinggi harus memiliki kebebasan untuk
menetapkan arah dan strategi pengemban dan pengelolaan
kegiatan penelitian, membuka dan menutup program studi
mengembangkan dan mengevaluasi kurikulum, menyatakan opini
dan menyampaikan pendapat akademik secara terbuka di
masyarakat, dan sebagainya.
Kedua, adanya otonomi dalam merencanakan,
mengelola, dan mengembangkan institusi. Perguruan tinggi
bukan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Agar mampu
merekrut dosen yang terbaik di bidangnya, perguruan tinggi
harus memiliki kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan,
dan mempromosikan dosennya secara mandiri. Penelitian yang
berkelas dunia memerlukan konsentrasi dan alokasi waktu yang
mencukupi sehingga tak bisa ditetapkan secara pukul rata
sama untuk semua bidang ilmu dan dosen. Tidak kalah
pentingnya adalah perguruan tinggi juga harus memiliki
kewenangan untuk mengelola dana secara mandiri, misalnya,
dalam hal menetapkan skala gaji, mengalokasikan dana
penelitian sesuai dengan pilihan fokus dan strateginya Riset
fundamental membutuhkan sarana dan prasarana yang canggih,
dan sistem insentif yang sesuai.
Ketiga, adanya dukungan pemerintah secara
konsisten dan berkelanjutan, terlepas dari siklus politik
pemerintah. Di beberapa negara, dibentuk badan khusus yang
otonom (terpisah dari birokrasi pemerintah) untuk
menjembatani kepentingan negara yang dilaksanakan peguruan
tinggi negeri, seperti Higher Education Commission
(Thailand), atau University Grant Committee
(Hongkong, Pakistan, Filipina).
Keberadaan buffer body seperti ini yang tidak
berada di bawah salah satu kementerian juga merupakan sinyal
bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan bangsa, yang harus
didukung secara bersama. Keberadaan dosen dan mahasiswa
asing, yang merupakan ciri pokok perguruan tinggi riset,
memerlukan dukungan keimigrasian, yang tentu saja bukan
urusan kementerian yang mengelola bidang pendidikan.
Keempat, adanya akuntabilitas publik yang
mencerminkan bahwa perguruan tinggi menjamin terlindunginya
kepentingan publik Dalam bidang akademik, akuntabilitas
publik dijaga melalui sistem akreditasi dan pemenuhan atas
indikator kinerja akademik, seperti jumlah dan mutu hasil
penelitian dan lulusan. Dalam bidang non-akademik, perguruan
tinggi dinilai dari kemampuannya untuk mengelola institusi
secara efisien dan transparan, mengedepankan prinsip tata
kelola perguruan tinggi yang baik (good university
governance).
Pertanyaan yang kemudian patut untuk kita ajukan adalah
bisakah keempat hal di atas diimplementasikan jika PTN
merupakan bagian dari birokrasi pemerintah?
PTN-BH sebagai solusi
Meskipun belum merupakan kerangka hukum yang ideal,
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 telah meletakkan tatanan yang dapat
diharapkan memberikan landasan hukum yang kondusif untuk
tumbuh dan berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia. PTN
badan hukum merupakan bentuk yang dapat dipilih oleh PTN
(by choice) dan juga merupakan tahapan perkembangan
sebuah PTN (by evaluation), sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 65 Ayat (1). UU ini juga menjamin otonomi
perguruan tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 62 yang
dijelaskan lebih jauh dalam Pasal 64. Kewajiban negara dalam
membiayai pendidikan tinggi tertuang dengan jelas pada Pasal
82 yang mekanisme pengalokasiannya dijelaskan dalam Pasal
89. Akses bagi masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi
kurang mampu juga dijamin sebagaimana dicantumkan pada Pasal
74. Pembebanan biaya bagi mahasiswa juga diatur dalam Pasal
88 Ayat (4).
Tentu saja semua itu akan dapat berjalan jika pemerintah
secara konsisten dan penuh mendukung terwujudnya pendidikan
tinggi yang berkualitas. Menempatkan PTN sebagai satuan
kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menjadi
sandungan yang sangat besar bagi berkembangnya perguruan
tinggi yang berkualitas, saka guru kemajuan bangsa.
(Sumber: Kompas Cetak, Selasa, 25
Juni 2013, halaman 7)
|