Otonomi BHPT Publik
oleh Mohammad Fajrul Falaakh
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta
Gagasan pendiri Indonesia melembagakan otonomi kampus
dalam bentuk Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri publik
telah dituangkan dalam UU Pendidikan Tinggi 2012. Akan
tetapi, capaian reformasi ini dinilai tidak relevan dari
sisi rezim pengelolaan keuangan ("Paradoks
Rasionalitas PTN-BH", Kompas, 22/6).
Paham rasionalitas pengelolaan modal oleh pemegang saham
ini mereduksi raison d'etre Badan Hukum Perguruan
Tinggi Negeri (BHPT) publik sebagai subyek hukum. Di balik
reduksionisme ini ada pendapat bahwa negara dilarang
mengatur dan membentuk BHPT publik. Mahkamah Konstitusi juga
didesak membubarkannya meski bukan kewenangan konstitusional
MK.
Persona moralis
Menjelang Pemerintah RI (Yogyakarta) akan kembali beribu
kota di Jakarta, acting Presiden RI Assaat
menerbitkan PP Nomor 37/1950 (tanggal 14/8/1950) untuk
mengatur Universitas Gadjah Mada sebagai
"masyarakat-hukum-kepentingan" (Belanda:
publiekrechtelijke doel corporatie). BHPT publik
diawasi oleh dewan kurator yang diangkat oleh pemerintah,
dapat mempunyai keuangan dan milik sendiri, serta mengatur
rumah tangga dan kepentingan sendiri. Pemerintah dapat
mengizinkan badan hukum lain, misalnya Yayasan Hatta,
menyelenggarakan kegiatan di UGM. Sumber keuangannya berasal
dari anggaran negara, mahasiswa, dan dari trust fund
(dana perwalian) yang dibentuk oleh atau dengan bantuan
pemerintah.
Keberadaan BHPT publik dipengaruhi rezim politik.
UU Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) 1989 menyatakan bahwa perguruan
tinggi memiliki otonomi akademik dan otonomi pengelolaan
lembaga. Kebijakan ini baru diwujudkan setelah Orde Baru
berakhir, yaitu melalui penerbitan PP
Nomor 60/1999 dan PP Nomor
61/1999 oleh Presiden BJ Habibie. Tujuh BHPT publik
kemudian ditetapkan semasa kepresidenan Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pembentukan BHPT publik merujuk teori badan hukum pada
Pasal 1653-1665 KUH-Perdata: bahwa negara dapat mengatur,
mengakui, membolehkan, atau membentuk empat jenis badan
susila (persona moralis, zedelijke lichaamen). Para
penganut teori hukum kodrat menganggapnya fiksi karena hanya
manusia (persona naturalis) yang menjadi subyek hukum.
Namun, sudah jamak dianut bahwa negara adalah subyek hukum
dan dapat melahirkan subyek hukum seperti International
Criminal Court (Statuta Roma 1998).
Badan hukum didirikan bukan hanya berdasarkan ideologi
liberal-kapitalis, yaitu dengan memisahkan harta pendirinya
(termasuk pemisahan kekayaan negara) untuk mengejar tujuan
kapital dimaksud. Badan hukum dapat didirikan karena
kesamaan tujuan atau kepentingan. Tujuan negara atau
kepentingan publik, misalnya menyediakan layanan pendidikan
tinggi yang terjangkau masyarakat (Pasal 65 UU Pendidikan
Tinggi), jadi rasionalitas pembentukan badan hukum publik.
Ketundukan subyek hukum pada UU, misalnya tanggung jawab
sosial perusahaan, bukanlah paradoks.
UU Sisdiknas 2003
meneruskan kebijakan otonomi perguruan tinggi, tetapi
menyeragamkan bentuk BHPT melalui UU Badan Hukum Pendidikan
2009, termasuk bagi perguruan tinggi swasta yang didirikan
oleh badan hukum. MK (31/3/2010) membatalkan keseluruhan UU
Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan penjelasan Pasal 53 Ayat
(1) UU Sisdiknas
2003. Namun, MK tidak membatalkan UU
Sisdiknas 1989 dan teori badan hukum serta tak pernah
membubarkan BHPT publik maupun swasta. Kini BHPT publik
disebut PTN badan hukum (PTN-BH) dan harus menyesuaikan
dengan UU Dikti paling lambat Agustus 2014.
UU Dikti mengakui keberadaan BHPT swasta yang sudah ada
dan memungkinkan pembentukan BHPT publik. Setelah MK
membatalkan UU BHP, otonomi PTS mengikuti peraturan dari
badan hukum pembentukannya. PTN diberikan pilihan sebagai
satuan kerja Kemdikbud, PTN badan layanan umum, atau BHPT
publik. Statuta PTN ditetapkan dengan peraturan menteri,
sementara statuta BHPT publik ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Model pengelolaan otonomi sesuai statuta perguruan tinggi
itu dibangun karena UU Dikti menderivasikan kebebasan
berpikir dan berpendapat sebagai otonomi akademik dan
otonomi pengelolaan PTN, sekaligus menjamin tiga otonomi
akademik (kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan) dan dua otonomi pengelolaan PTN
(pengelolaan akademik dan pengelolaan non-akademik).
Otonomi pengelolaan akademik meliputi penetapan norma,
kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tridharma Perguruan
Tinggi. Otonomi pengelolaan non-akademik meliputi penetapan
norma, kebijakan operasional dan pelaksanaan organisasi,
keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, serta sarana dan
prasarana. Mereduksi otonomi kampus dan status BHPT publik
jadi rezim pengelolaan keuangan lembaga pendidikan tidak
menjawab otonomi akademik dan otonomi pengelolaan selain
soal keuangan.
Otonomi subyek hukum
BHPT publik bukan yayasan atau wakaf (harta bertujuan),
bukan badan usaha seperti koperasi (berkeanggotaan) atau
perseroan terbatas (didirikan atas saham, ada pemegang
saham, dan rapat pemegang saham). Namun, BHPT publik
bukanlah lembaga yang bukan-bukan. BHPT publik adalah
lembaga di bidang pendidikan tinggi yang berstatus subyek
hukum, punya hak dan kewajiban tertentu (seperti tunduk pada
rezim rahasia negara bagi penelitiannya dan fiduciary
duty), harus berprinsip nirlaba (seluruh sisa hasil
usaha dari kegiatannya harus ditanamkan kembali untuk
meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan
tinggi), serta ditugaskan memberikan layanan pendidikan yang
terjangkau masyarakat.
Otonomi perguruan tinggi sebagai otonomi subyek hukum
diakui dalam sejumlah peraturan perundang-undangan sejak
Indonesia merdeka. Derajat implementasinya beragam, termasuk
sebagai persona moralis. Bukan wewenang konstitusional
pengadilan melarang negara untuk membentuk, mengesahkan,
atau mengatur badan hukum. Tugas konstitusional pengadilan
adalah melindungi status otonom subyek hukum itu?
(Sumber: Kompas Cetak, Rabu, 26 Juni 2013, halaman 7)
|