|
DUA PULUH TIGA
PEMUKIMAN-PEMUKIMAN YAHUDI
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah
milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi
rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa secara spesifik menyatakan tidak
sah perebutan wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi Jenewa
Keempat tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Masa
Perang pada 1949 secara khusus melarang kekuatan pendudukan
agar tidak memindahkan bagian dari penduduknya sendiri ke
wilayah yang didudukinya. Israel terus-menerus melanggar
kedua perjanjian internasional ini. Sejak 1967 Israel
menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi
Golan, dan Jalur Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat
yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di
semua wilayah tersebut.1
Amerika Serikat juga patut dipersalahkan sebab telah
berkolusi dengan Israel dalam pendudukan militer dan
penjajahan atas tanah Palestina. Meskipun kebijaksanaan AS
secara resmi menentang pemukiman-pemukiman Yahudi, tidak ada
upaya yang pernah dilakukan untuk menahan bantuan ekonomi
dan militer AS sebesar $3 milyar kepada Israel untuk membuat
negara Yahudi itu menghentikan penjajahannya atas
wilayah-wilayah pendudukan. Tanpa bantuan AS, Israel tidak
akan mempunyai sumber-sumber untuk mendirikan dan
mempertahankan pemukiman-pemukiman itu atau meneruskan
pendudukan militernya.
OMONG KOSONG
"Hak kita atas tanah [pendudukan] itu
tidak dapat dibantah." --Yitzhak Rabin, perdana
menteri Israel, 19742
FAKTA
Sampai masa kepresidenan Reagan yang sangat pro Israel,
setiap pemerintahan AS, Demokrat maupun Republik, telah
menentang klaim Israel atas wilayah-wilayah yang diduduki
pada 1967, menyebut pendudukan itu pelanggaran atas Piagam
PBB dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan
terhadap Orang-orang Sipil di Masa Perang dan karenanya
tidak sah. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil posisi
serupa.
Kebijaksanaan AS pertama kali disuarakan oleh Duta Besar
AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden Richard Nixon,
Charles W. Yost. Dia mengatakan pada 1969, "Bagian Jerusalem
yang berada di bawah kontrol Israel dalam Perang bulan Juni,
seperti daerah-daerah lain yang diduduki Israel, merupakan
wilayah pendudukan dan karenanya tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban penguasa
pendudukan."3
Duta Besar AS untuk PBB pada masa pemerintahan Presiden
Gerald Ford, William W. Scranton, menyatakan pada Dewan
Keamanan pada 23 Maret 1976 bahwa pemukiman-pemukiman Israel
di wilayah-wilayah pendudukan adalah tidak sah dan bahwa
klaimnya atas seluruh Jerusalem tidak
berlaku.4 Kata
Scranton:" Pemerintah saya percaya bahwa hukum internasional
menetapkan standar-standar yang layak [untuk mengatur
pemukiman-pemukiman Israel]. Pihak yang menduduki harus
mempertahankan daerah yang diduduki agar tetap utuh dan tak
berubah sebisa mungkin, tanpa ikut campur dengan kehidupan
adat istiadat daerah tersebut, dan setiap perubahan hanya
boleh dilakukan karena adanya kebutuhan-kebutuhan segera
dari pendudukan itu dan harus sesuai dengan hukum
internasional. Konvensi Jenewa Keempat membicarakan secara
langsung masalah pemindahan penduduk dalam Artikel 49:
'Penguasa pendudukan tidak boleh mendeportasikan atau
memindahkan bagian-bagian dari penduduknya sendiri ke dalam
wilayah yang didudukinya.' Maka jelaslah bahwa pemukiman
kembali penduduk sipil Israel di wilayah-wilayah pendudukan,
termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah menurut konvensi
itu dan tidak dapat dianggap telah memberikan penilaian dini
atas hasil perundingan-perundingan yang akan datang antara
pihak-pihak terkait atau lokasi perbatasan negara-negara
Timur Tengah. Sesungguhnyalah, adanya pemukiman-pemukiman
ini dipandang pemerintah saya sebagai perintang bagi
keberhasilan perundingan-perundingan untuk mencapai
perdamaian yang adil dan tuntas antara Israel dan
tetangga-tetangganya."5
Pidato itu mengundang protes resmi dari Israel.
Kementerian Luar Negeri menanggapinya dengan mengemukakan
bahwa Scranton semata-mata menyatakan kembali ke
kebijaksanaan AS yang telah lama
diambil.6
Pemerintahan Carterlah yang paling sering mengeluarkan
pernyataan-pernyataan mengenai tentangan AS terhadap
pemukiman. Baik Presiden Carter maupun menteri luar
negerinya, Cyrus Vance, berbicara secara terbuka dan
menyatakan pemukiman-pemukiman Israel tidak
sah.7 Pada 21
April 1978, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Herbert
Hansell secara resmi mengemukakan posisi hukum Washington,
dengan mengatakan bahwa pemukiman-pemukiman itu "tidak
sesuai dengan hukum internasional." Opini itu juga
menegaskan bahwa Konvensi Jenewa Keempat berlaku untuk Tepi
Barat dan Gaza, meskipun Israel menyatakan sebaliknya sebab
kekuasaan atas daerah-daerah itu masih
diperselisihkan.8
Baru pada masa kepresidenan Ronald Reagan yang dimulai
1981 itulah kebijaksanaan AS tiba-tiba dibungkam oleh
deklarasi mengejutkan pada 2 Februari yang menyatakan bahwa
"saya tidak setuju ketika pemerintahan sebelumnya menyatakan
[pemukiman-pemukiman Israel] tidak sah-mereka bukan
tidak sah."9
Sedangkan mengenai status hukum dari pemukiman-pemukiman itu
dalam kebijaksanaan Reagan tidak pernah jelas. Namun sejalan
dengan berlalunya waktu menjadi jelaslah padanya bahwa
mereka merupakan "rintangan bagi perdamaian," sebagaimana
yang berulangkah dia katakan, dan bahwa "ketergesa-gesaan"
Israel untuk mendirikan pemukiman-pemukiman itu "terlalu
provokatif."10
Sementara itu, seluruh dunia tetap beranggapan
pemukiman-pemukiman itu tidak sah dan menyatakannya
demikian. Masyarakat Eropa telah secara konsisten
mempertahankan bahwa "pemukiman-pemukiman Yahudi di
wilayah-wilayah yang diduduki oleh Israel sejak 1967,
termasuk Jerusalem Timur, adalah tidak sah di bawah hukum
internasional" dan bahwa kebijaksanaan pemukiman Israel
menjadi "rintangan yang sernakin mengganggu untuk mencapai
perdamaian di wilayah itu."11
Setelah Reagan mengeluarkan deklarasi "bukan tidak
sah"-nya, George Bush memilih untuk tidak memutar balik
deklarasi tersebut di masa pemerintahannya sendiri. Tetapi
para pejabat pemerintah Bush mengisyaratkan bahwa pemerintah
menganggap pemukiman-pemukiman itu bukan hanya merupakan
rintangan bagi perdamaian melainkan juga tidak sah.
Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri James Baker
pada 1991, "kami dulu menganggap [pemukiman-pemukiman
Israel] tidak sah [tetapi] kini kami secara
moderat menganggap [mereka] sebagai rintangan bagi
perdamaian."12
Perdana Menteri Yitzhak Rabin mendapat tuntunan dari
filosofi lain. Tak lama setelah kekalahannya untuk dipilih
kembali pada 1992, Shamir berkata: "Likud tidak pernah
menyembunyikan niatnya untuk menuntut kedaulatan atas Judea
dan Samaria sewaktu mengadakan perundingan-perundingan untuk
mendapatkan status final mereka. Ia menerapkan prinsip bahwa
hak orang-orang Yahudi untuk bermukim di seluruh bagian
Eretz Yisrael akan didukung sepanjang waktu berlangsungnya
perundingan-perundingan. Satu-satunya jaminan untuk melawan
kedaulatan Arab di sebelah barat sungai Yordan adalah
pemukiman kota dan desa Yahudi di seluruh wilayah Judea dan
Samaria."13
OMONG KOSONG
"Rakyat Yahudi [mempunyai] hak untuk
bermukim di wilayah-wilayah pendudukan." --Menachem
Begin, perdana menteri Israel,
198014
FAKTA
Orang-orang Yahudi tidak mempunyai "hak" untuk mendirikan
pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan,
sebagaimana yang berulang kali diperingatkan oleh Amerika
Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Israel tetap
menentang opini dunia dengan menjajah wilayah-wilayah
pendudukan hampir sejak saat berakhirnya perang 1967.
Kurang dari tiga minggu kemudian, pada 27 Juni, Israel telah
secara efektif mencaplok Jerusalem Timur Arab, dan pada 15
Juli mendirikan pemukiman Israel yang pertama di
wilayah-wilayah itu --Kibbutz Merom Hagolan dekat Quneitra
di Dataran Tinggi Golan. 15
Perdana Menteri Levi Eshkol menunggu sampai 24 September
sebelum dia membuat pengumuman publik pertama mengenai
rencana-rencana pemukiman Israel, yang dikatakannya akan
dibatasi.16
Bahkan pernyataan yang sejuk ini mengundang kecaman dari
Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pengumuman Eshkol
sama artinya dengan perubahan dari posisi Israel sebelumnya
yang menentang pemukiman. Pernyataan AS itu juga
mengemukakan bahwa Israel tidak memberitahu Washington
sebelumnya mengenai adanya perubahan tersebut. Untuk
menguatkan pernyataan itu, seorang juru bicara Kementerian
Luar Negeri mengatakan bahwa kebijaksanaan Israel yang baru
itu bertentangan dengan deklarasi Presiden Johnson pada 19
Juni mengenai dukungan AS untuk integritas teritorial
seluruh wilayah itu.
Kecaman itu merupakan kecaman terbuka kedua terhadap
Israel oleh Washington dalam waktu empat hari. Duta Besar AS
untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Arthur Goldberg telah
memperingatkan bahwa perdamaian tidak akan tercapai "jika
keberhasilan militer membutakan sebuah negara anggota
terhadap fakta bahwa tetangga-tetangganya mempunyai hak-hak
dan kepentingan-kepentingan
sendiri."17
Sekalipun demikian, menjelang akhir 1967 Israel telah
mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua tanah
pendudukan Mesir, Yordania, dan
Syria.18
Pembangunan pemukiman-pemukiman Israel itu dilangsungkan
dengan langkah cepat sejak 1967.19
Sebelum 1948 hanya ada tujuh komunitas Yahudi di
tanah-tanah yang diduduki pada 1967, dan pemilikan tanah
Yahudi paling-paling hanya 1 persen di daerah-daerah
itu.20
Seperempat abad kemudian, pada Mei 1992, Kementerian Luar
Negeri melaporkan ada 129.000 orang Yahudi di Jerusalem
Timur Arab (dibandingkan dengan 155.000 orang Palestina);
97.000 orang Yahudi di 180 pemukiman di Tepi Barat dengan
separuh tanah berada di bawah kontrol Yahudi sepenuhnya;
3.600 di 20 pemukiman di Jalur Gaza; dan 14.000 di 30
pemukiman di Dataran Tinggi Golan.21
Menurut laporan lain, Israel dalam waktu seperempat abad itu
telah menyita atau menjauhkan 55 persen dari tanah di Tepi
Barat, 42 persen di Jalur Gaza, dan seluruh Dataran Tinggi
Golan, yang telah dicaploknya bersama Jerusalem Timur Arab
dari pemilikan bangsa Palestina. Seluruh sumber air berada
di bawah kontrol Israel dan 30 persen air di Tepi Barat
dialihkan ke Israel atau para
pemukimnya.22
Selain itu, kaum ultranasionalis Yahudi seperti para
anggota Ateret Kohanim, yang berusaha mengambil alih Temple
Mount/ Haram Al-Syarif di Kota Tua Jerusalem, secara agresif
bermukim di tempat itu. Pada 1992, atas dorongan
pemerintahan Shamir, sekitar 600 pemukim Yahudi, terutama
para siswa seminari, tinggal di sekitar 55 lokasi di luar
batas-batas tradisional wilayah Yahudi di Kota Tua --yaitu
di wilayah-wilayah Kristen, Armenia, dan
Muslim.23
Menteri Perumahan dalam pemerintahan Shamir, Ariel
Sharon, seorang pemimpin sayap kanan, mendapatkan sebuah
apartemen di wilayah Muslim pada
1987.24 Sharon
pernah berkata: "Kami mencanangkan suatu cita-cita dalam
diri kami sendiri untuk tidak meninggalkan satu lingkungan
pun di Jerusalem Timur tanpa adanya orang-orang Yahudi.
Inilah satu-satunya yang dapat memastikan adanya sebuah kota
yang menyatu di bawah kekuasaan
Israel."25
Catatan kaki:
1 Ball, The Passionate
Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The
Palestine Problem in International Law and World Order,
240-75; Quigley, Palestine and Israel, 216-17.
2 Medzini, Israel's
Foreign Relations, 3: 58
3 Bemard Gwertzman,
New York Times, 13 Maret 1980; Yodfat dan
Arnon-Ohanna,PLO, 136-37.
4 Lihat Bernard
Gwertzman, New York Times, 13 Maret 1980, untuk
daftar pernyataan-pernyataan AS mengenai posisinya terhadap
Jerusalem. Juga lihat Khouri, The Arab-Israeli
Dilemma, 384; Lilienthal, The Zionist Connection,
646-49; Yayasan untuk Timur Tengah, Report on Israeli
Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus,
Jul! 1991.
5 Teks itu terdapat dalam
Lukacs, The Israeli-Palestinian Conflict, 67-69;
kutipan kutipannya terdapat di New York Times, 25
Maret 1976.
6 New York Times,
25 Maret 1976.
7 Lihat, misalnya, New
York Times, 29 Juli 1977; Kementerian Luar Negeri AS,
American Foreign Policy 1977- 80, 618, 650.
8 Kantor Penasihat Hukum,
Kementerian Luar Negeri AS, Digest of States Practices in
International Law 1978, 1575-83. Teks itu terdapat dalam
Komite Dewan mengenai Hubungan Internasional, Israeli
Settlements in the Occupied Territories: Hearings before the
Subcommittee on International Organizations and on Europe
and the Middle East of the Committee on International
Relations, Kongr. ke-95, sesi pertama, 1978, 167-72, dan
dalam Thorpe, Prescription for Conflict, 153- 58.
Kutipan-kutipan utama terdapat dalam Yayasan untuk Timur
Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied
Territories, Laporan Khusus, Juli 1991. Untuk pembahasan
rinci, lihat Mallison, The Palestine Problem in
International Law and World Order, bab 9.
9 New York Times,
3 Februari 1981; Tillman, United States in the Middle
East, 170. Desas-desus yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya mengatakan bahwa Reagan membuat pernyataan itu
untuk memenuhi janji yang diberikannya kepada para pendukung
Israel semasa kampanye kepresidenannya pada 1980. Pernyataan
itu menimbulkan kekhawatiran dan kekacauan di lingkungan
Kementerian Luar Negeri sebab hal itu sangat bertentangan
dengan kebijaksanaan yang telah dipegang teguh selama tiga
belas tahun yang menyatakan pemukiman-pemukiman itu tidak
sah.
10 Lihat, misalnya,
New York Times, 28 Agustus 1983, dan David A. Korn,
surat, New York Times, 10 Oktober 1991.
Kutipan-kutipan perkataan Reagan mengenai
pemukiman-pemukiman itu sebagai rintangan bagi perdamaian
terdapat dalam Lukacs, The Israeli-Palestinian
Conflict, 80-81.
11 Teks pernyataan
Masyarakat Eropa itu terdapat dalam "Documents and Source
Material;" Journal of Palestine Studies, Musim Gugur
1990,147-88.
12 David Hoffman dan
Jackson Diehl, Washington Post, 18 September
1991.
13 Asher Wallfish dan
Dan Izenberg, Jerusalem Post International Edition,
25 Juli 1992.
14 Quigley,
Palestine and Israel, 175.
15 Aronson, Creating
Facts, 16. Juga lihat Israel Shahak, "Memory of 1967
'Ethnic Cleansing' Fuels Ideology of Golan Settlers;'
Washington Report on Middle East Affairs, November
1992.
16 Terence Smith,
New York Times, 25 September 1967.
17 Hedrick Smith,
New York Times, 27 September 1967.
18 18 Anne Lesch,
"Israeli Settlements in the Occupied Territories,"
Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1978.
Menteri Perumahan Israel Zeev Sharef mengungkapkan rincian
dari pemukiman-pemukiman Jerusalem pada 18 Februari 1971.
Lihat Facts on File 1971,123.
19 Ada sejumlah telaah
bagus mengenai pemukiman-pemukiman Israel, yang pada
tahun-tahun awal setelah 1967 sering didirikan secara
sembunyi- sembunyi sebagai suatu cara untuk menghindari
kecaman dunia. Ini berubah dengan berawalnya kekuasaan
Menachem Begin. Lihat, misalnya, Aronson, Creating
Facts, yang mengemukakan kronologi yang sangat bagus
sejak 1967 serta peta-peta dan daftar pemukiman-pemukiman
Yahudi di Tepi Barat pada 1982; pada waktu itu jumlahnya ada
110. Juga lihat yang berikut ini dalam Journal of
Palestine Studies: Micahel Adams, "Israel's Treatment of
the Arabs in the Occupied Territories," Musim Dingin 1972,
19-40; Anne Mosley Lesch, "Israeli Settlements in the
occupied Territories, 1967-1977;" Musim Gugur 1977, 26-47;
Ibrahim Matar, "Israeli Settlements in the West bank and
Gaza Strip," Musim Gugur 1981, 93-110; Abu-Lughod, "Israeli
Settlements in the Occupied Arab Lands: Conquest to Colony,"
Musim Dingin 1982, 16-54.
20 Walid Khalidi, "The
Palestine Problem: An Overview," Journal of Palestine
Studies, Musim Gugur 1991,9-10.
21 Kementerian Luar
Negeri AS, Israeli Settlements in the Occupied Territories,
Mei 1991, dikutip dalam Yayasan untuk Perdamaian Timur
Tengah, Report on Israeli Settlement in the Occupied
Territories, Juli 1992.
22 Khalidi, "The
Palestine Problem:"
23 Yayasan untuk
Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in
the Occupied Territories, Juli 1992.
24 Robert L. Friedman,
Washington Post, 10 Januari 1988. Juga lihat Michael
C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 AD,"
dalam Asali, Jerusalem in History, 257; Stephen J.
Sosebee, "Seeds of a Masacre: Israeli Violations at Haram
al-Syarif;" American-Arab Affairs, Musim Semi
1991,109.
25 Yayasan untuk
Perdamaian Timur Tengah, Report on Israeli Settlement in
the Occupied Territories, Juli 1992.
|