PENDAHULUAN
Konflik Arab-Israel sarat dengan konsekuensi-konsekuensi
yang mendatangkan malapetaka bagi Amerika Serikat, dan
kebanyakan dari kesulitan itu adalah karena ulahnya sendiri.
Akibat buruknya jauh melampaui beban finansial dan ekonomi
yang tercipta karena pemerintah AS terus menyumbangkan
bermilyar-milyar dollar setiap tahun kepada Israel dan
menghamburkan hasil pajak serta perdagangan untuk
kepentingan negara itu. Konsekuensi terburuknya terletak
pada kolusi AS dalam pelanggaran atas hak-hak asasi manusia
yang mengerikan dan telah berlangsung lama, yang dilakukan
Israel dalam skala luas.
Amerika Serikat mempertahankan peranan kunci dalam
kontrol dan pemerasan Israel atas wilayah-wilayah yang
dikuasai Tepi Barat, Jerusalem Timur, jalur Gaza, Lebanon
Selatan, dan Dataran Tinggi Golan --yang kesemuanya adalah
tanah milik bangsa Arab. Pemerintah AS terus memberikan
dukungan finansial, diplomatik, dan militer sementara Isreal
terus melanggar hukum-hukum internasional, menjalankan
pemerintahan militer yang keras dan sering kali brutal atas
hampir dua juta bangsa Arab, dan menutupi semua ini di balik
perisai penipuan yang cermat.
Di samping bangsa Arab yang menderita, kerugian utama
dari kolusi ini adalah nama baik Amerika di Timur Tengah.
Rasa hormat kepada Amerika Serikat --yang pernah tertanam
dalam-dalam dan tersebar luas di kalangan bangsa Arab maupun
Israel-- tercampak sia-sia akibat ambisi para politisi AS
yang memalukan dan tak habis-habisnya demi memenangkan
simpati kelompok-kelompok pro Israel.
Kolusi itu tampak jelas dalam standar ganda yang
diterapkan pemerintah AS dalam pelaksanaan resolusi-resolusi
Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah Timur
Tengah.
Ketika Irak menyerang dan mencaplok Kuwait pada 1990,
Amerika Serikat mengorganisasi dan memimpin suatu serangan
militer multinasional besar-besaran untuk membalas
penaklukan itu di bawah sanksi PBB. Sebaliknya, pemerintah
AS tidak berbuat apa-apa kecuali mengemukakan sepatah dua
patah kata kecaman ketika Israel melakukan
pelanggaran-pelanggaran besar terhadap hukum
internasional.
Misalnya, Dewan Keamanan PBB telah memerintahkan Israel
untuk menarik diri dari tanah bangsa Arab yang direbutnya
bertahun-tahun lalu lewat tindak kekerasan bersenjata,
mengutuk pencaplokan Israel atas Jerusalem Timur dan Dataran
Tinggi Golan dan pembangunan perumahan bangsa Israel di
wilayah-wilayah pendudukan, dan, yang paling mutakhir, pada
18 Desember 1992, menuntut agar Israel membatalkan
pengusiran atas 413 orang Palestina (Resolusi Dewan Keamanan
PBB no. 799).
Bukannya memimpin masyarakat internasional dalam aksi
kekuatan politik, ekonomi, atau militer-untuk mengamankan
tuntutan dewan agar Israel membatalkan pengusiran itu,
Amerika Serikat justru bertindak sebaliknya. Ia meneruskan
tanpa henti aliran bantuan finansial dan militer tanpa batas
kepada negara penyerang tersebut. Pada waktu yang hampir
bersamaan, tepat sebelum pelantikan Presiden Bill Clinton
pada Januari 1993, pemerintahan Bush, sebagai tanggapan atas
tindak pelanggaran yang jauh lebih kecil, memulai suatu
kampanye militer melawan Irak karena pelanggarannya atas
zona larangan terbang pasca perang. Raja Fahd dari Saudi
Arabia menyesalkan standar ganda ini: resolusi-resolusi
Dewan Keamanan PBB, tegasnya, "harus dihormati dan
dilaksanakan, entah itu menyangkut situasi di wilayah Teluk
atau dalam kasus Palestina..."1
Nama baik AS terancam bahkan di Israel sendiri, di mana
semakin banyak warganya yang beranggapan bahwa penerapan
standar ganda AS merupakan penghalang bagi perdamaian.
Mereka percaya bahwa dengan tidak adanya aliran bantuan
finansial dan militer tanpa syarat dari Amerika Serikat,
pemerintah mereka sejak jauh-jauh hari pasti telah menarik
pasukannya dari wilayah-wilayah pendudukan dan menjalin
hubungan yang normal dan damai dengan negara-negara
Arab.
Kesulitan Amerika Serikat akan semakin menjadi beban dan
ancaman ketika konflik Arab-Israel semakin meningkat, dengan
tidak adanya perdamaian. Pusat konflik itu adalah pertemuan
antara pengaruh-pengaruh agama, ekonomi, politik, dan
militer yang sangat kompetitif, yang kesemuanya menyangkut
kepentingan-kepentingan vital AS. Kepentingan-kepentingan
itu mengangkangi dua pihak dan tidak dapat dicapai hanya
dengan berpihak pada bangsa-bangsa Arab atau Israel
saja.
Hanya Amerika Serikat yang mempunyai sumber-sumber yang
diperlukan untuk menjaga kerja sama dari semua partai utama
dalam konflik itu. Namun untuk bertindak secara efektif
Amerika Serikat pertama-tama harus mengatasi dua penghalang
besar, yang keduanya bersumber dari dalam negeri. Pertama,
pengaruh besar yang dilancarkan oleh kepentingan-kepentingan
pro Israel dalam perumusan kebijaksanaan Amerika Serikat di
Timur Tengah. Kedua, topeng buatan yang secara polos
dianggap oleh hampir semua orang Amerika sebagai Israel yang
sejati. Para pendukung Israel memanfaatkan citra yang
menyesatkan itu dengan sangat tangkas dalam program mereka
untuk mempertahankan kolusi AS-Israel.
Jalan menuju suatu perdamaian yang adil di wilayah itu
tidak mungkin dapat tampil dalam fokus yang jelas sebelum
citra rekaan mengenai Israel dibongkar dan dijernihkan.
Penilaian-penilaian yang tepat mengenai kebijaksanaan AS di
masa mendatang harus didasarkan atas realitas, bukan omong
kosong.
Mereka harus mempertimbangkan informasi yang paling
lengkap dan akurat yang ada, termasuk profil yang tak
memihak tentang Israel, dan melangkah dari penerimaan murni
atas tanggung jawab yang dipikul Amerika Serikat bagi
tindakan-tindakan Israel di masa lalu dan di masa
sekarang.
Buku ini, saya yakin, dapat memenuhi kebutuhan kritis
itu. Dengan membacanya, Anda akan ikut merasakan suatu
pengalaman yang menggelisahkan: suatu pencarian panjang akan
laporan yang meliputi perilaku ekspansionis dan struktur
sosial Israel yang diskriminatif. Perjalanan itu sangat
sulit, sebab kebenaran sering kali sukar ditangkap. Dalam
hal ini, ia harus dipilih di antara begitu banyak informasi
yang telah diterbitkan mengenai hubungan AS dengan Israel
dan bangsa Palestina, yang kebanyakan keliru dan harus
dibersihkan dari prasangka. Di samping itu, media
populer-koran, buku, artikel, drama televisi dan film
dokumenter, serta film layar lebar-sering kali hanya
membicarakan sisi heroik sejarah Israel dan perilaku
mutakhir, dengan mengabaikan atau menyembunyikan
pelanggaran-pelanggaran yang terus dilakukannya atas hak-hak
asasi manusia, kebijaksanaan ekspansionisnya, serta
pelanggaran hukum internasional. (Misalnya, novel Leon Uris
yang sangat populer pada 1950-an, Exodus, sesungguhnya
didukung perusahaan humas New York milik Edward Gottlieb
untuk "menciptakan sikap yang lebih simpatik terhadap
Israel." Sebagai seorang ahli humas, Art Stevens
menyimpulkan: "Novel itu lebih dapat mempopulerkan Israel
kepada publik Amerika dibanding semua tulisan lain melalui
media massa."2)
Saya kemukakan di sini suatu pengalaman unik dalam
politik Timur Tengah. Saya bertugas selama dua puluh dua
tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS, dua belas
tahun di antaranya di Departemen Luar Negeri Subkomisi Eropa
dan Timur Tengah. Sepanjang tahun-tahun itu saya sering
mencela pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Israel atas
hak-hak asasi manusia dan agresi militernya, namun saya
tidak pernah sekali pun memberikan suara menentang
undang-undang yang memberikan sarana pada Israel untuk
melaksanakan tindakan-tindakan salah tersebut. Dalam
beberapa kesempatan saya mendesak pemerintahan Carter untuk
menunda semua bantuan, tapi ketika keputusan dibacakan di
dalam komisi dan di majelis DPR mengenai undang-undang dasar
bagi bantuan, saya selalu setuju. Ketika kini saya menyesali
kemunafikan untuk meneruskan bantuan AS kepada Israel
sementara mengecam pelanggaran-pelanggarannya atas hak-hak
asasi manusia, saya merenungkan ulah saya itu dengan
sedih.
Tahun-tahun yang saya jalani sebagai anggota kongres
memberi saya untuk pertama kalinya suatu kesadaran akan
politik Timur Tengah. Melalui perjalanan ke luar negeri dan
berbagai acara dengar pendapat resmi serta
pertemuan-pertemuan pribadi, saya berbicara langsung dengan
semua pemimpin utama yang menyusun kebijaksanaan di wilayah
itu. Di antara tokohtokoh yang saya kenal itu adalah para
pejabat kelompok-kelompok pelobi, yang kebanyakan di
antaranya diorganisasi oleh para warga negara AS yang
mempunyai ikatan etnis dengan Timur Tengah, termasuk
American Israel Public Affairs Committee (AIPAC),
organisasi kuat yang bekerja untuk kepentingan negara Israel
di Capitol Hill. Pengalaman saya juga mencakup pencalonan
dalam dua belas putaran pemilihan federal. Dalam dua
pemilihan terahir, saya menyadari bahwa diri saya merupakan
sasaran utama dari kelompok-kelompok lobi pro Israel.
Kampanye-kampanye itu memberikan wawasan baru mengenai
faktor-faktor dalam negeri yang mempengaruhi kebijaksanaan
luar negeri. Ketika saya meninggalkan Kongres pada Januari
1983, dengan polos saya menganggap diri saya sebagai semacam
ahli mengenai Israel dan negara-negara Arab.
Pendidikan saya dimulai dengan sungguh-sungguh ketika,
setelah meninggalkan Kongres, saya memulai riset untuk buku
saya They Dare to Speak Out: People and Institutions
Confront Israel's Lobby.3
Saya segera menyadari bahwa pengalaman saya sebagai
anggota Kongres hanya memberikan pandangan sekilas mengenai
jaringan kerja yang digunakan oleh para pendukung Israel
untuk mempengaruhi penyusunan kebijaksanaan Timur Tengah
maupun persepsi publik atas Israel.
Pengaruh ini menyusup ke segenap sendi pemerintahan dan
ke dalam hampir semua aspek kehidupan, pribadi maupun umum,
di seluruh Amerika Serikat. Di Capitol Hill pengaruh itu
demikian kuatnya sehingga tidak pernah ada perdebatan
menyangkut konflik Arab-Israel. Kecuali Senator Robert C.
Byrd dari Virginia Barat dan Bob Dole dari Kansas serta para
Wakil James A. Traficant, Jr. dari Ohio dan Nick Joe Rahall
dari Virginia Barat, tidak ada satu pun dari anggota kedua
dewan itu yang secara berlarut-larut mempertanyakan perilaku
Israel. Sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri, George W.
Ball berkomentar: "Mengenai kebijaksanaan Timur Tengah,
Kongres berlaku seperti sekawanan anjing pudel yang
terlatih, melompat-lompat melalui simpai yang dipegang oleh
lobi Israel."4
Setiap tahun Kongres AS menyumbangkan pada Israel
sebanyak $1000 untuk setiap pria, wanita, dan anak Israel.
Tidak soal sekeras apa pun Kongres memotong pos-pos lain
dalam anggaran belanja federal, hadiah-hadiah untuk Israel
terus mengalir tanpa amandemen yang restriktif atau
bisik-bisik pertentangan. Tahun-tahun yang saya lalui di
Capitol Hill mendorong saya untuk berkesimpulan bahwa di
sana bantuan kepada Israel lebih keramat bahkan dibanding
Jaminan Sosial dan Perawatan Kesehatan.
Pengaruh Israel hampir sama besarnya di cabang eksekutif.
Donald McHenry, seorang diplomat karier yang dihormati dan
mantan duta besar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa,
mengemukakan penilaian yang suram ini: "Akibat pengaruh lobi
[Israel], pemerintah kita tidak dapat memenuhi
kepentingan nasionalnya sendiri di Timur
Tengah."5
They Dare to Speak Out menjelaskan bagaimana
kekuatan lobi ditanamkan dan dipertahankan --dan mengapa.
Tanggapan terhadap penerbitan buku itu-- penjualannya
melebihi 210.000 eksemplar --hampir sama mengejutkannya
dengan fakta-fakta yang diketengahkannya. Tentang tulisan
ini, lebih dari seribu orang pembaca telah mengirimkan
pesan-pesan lewat surat dan telepon. Sebagian mengadakan
perjalanan melintasi negeri ini ke rumah saya di wilayah
barat-tengah. Semuanya merasa terganggu dan ingin membantu
melonggarkan cengkeraman lobi itu dalam penyusunan
kebijaksanaan Timur Tengah. Banyak di antara para pembaca
ini yang menjadi anggota pendiri Council for the National
Interest, sebuah organisasi nirlaba dan nonpartisan yang
berpusat di Washington dan didirikan pada 1989. Tujuan
utamanya adalah mengerahkan dukungan pada tingkat masyarakat
atas kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengutamakan
kepentingan nasional Amerika di Timur Tengah (lihat
Lampiran).
Surat-surat dan telepon-telepon itu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penting. Apakah Israel itu demokratis?
Mengapa Perserikatan Bangsa-bangsa menyamakan Zionisme
dengan rasisme? Apakah Israel terbuka bagi semua pengungsi?
Apakah Israel penting bagi keamanan AS? Apakah Israel
membayar utang-utangnya pada Amerika Serikat? Apakah para
warga negara Arab diperlakukan sama dengan warga negara
Yahudi? Apakah pendudukan militer Israel atas Tepi Barat dan
jalur Gaza merupakan suatu pelanggaran atas hukum
internasional? Bagaimana Israel menjustifikasi kontrolnya
atas orang-orang Palestina yang hidup di sana? Pihak mana
yang memulai perang Arab-Israel? Apakah Amerika Serikat
mempunyai kewajiban moral untuk membantu Israel dengan
masalah-masalah yang dihadapinya, terutama pemukiman para
imigran Yahudi dari bekas republik-republik Soviet?
Kebanyakan orang Amerika, yang terpengaruh oleh citra
keliru yang telah diciptakan para pendukung Israel,
barangkali akan menjawab begini: "Israel adalah demokrasi
yang menentang rasisme, memperlakukan semua warga negaranya
dengan adil, membayar utang-utangnya pada pemerintah AS
dengan segera, telah menganut nilai-nilai yang sama dengan
Amerika, dan penting kedudukannya bagi keamanan AS. Karena
Amerika Serikat membantu kelahiran Israel dan mendorong
imigrasi, maka ia mempunyai kewajiban moral untuk membantu
Israel mengatasi masalah-masalahnya. Israel memerangi bangsa
Arab hanya jika diserang. Ia harus mempertahankan kontrol
ketat di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebab orang-orang
Palestina yang tinggal di sana ingin menghancurkan Israel."
Jawaban-jawaban saya bertentangan dengan pandangan-pandangan
ini. Tetapi sementara saya yakin bahwa pendapat-pendapat
saya mempunyai landasan kuat, saya belum siap dengan
sumber-sumber dasarnya. Saya juga tidak dapat menemukannya
dalam buku mana pun.
Sementara meneruskan riset saya setelah terbitnya edisi
revisi dari They Dare to Speak Out pada 1989, saya
mendapati sejumlah besar pernyataan yang telah diterima
secara luas mengenai hakikat Israel dan hubungannya dengan
Amerika Serikat yang terbukti keliru melalui dokumen-dokumen
yang otoritatif. Jelas bahwa diterimanya pikiran-pikiran
yang keliru mengenai Israel bukanlah suatu kebetulan. Tetapi
adalah hasil kerja dari banyak orang yang telah mengerahkan
tenaga mereka untuk melaksanakan tugas itu dengan penuh
kegigihan dan tanggung jawab.
Dorongan untuk mendukung omong kosong-omong kosong ini
muncul, setidaknya sebagian, dari rasa hormat orang-orang
Yahudi dan Kristen pada Israel. Pendirian negara Israel pada
1948 merupakan prestasi utama agama Yahudi dalam sejarah
masa kini, tahun-tahun puncak di mana "tahun depan di
Jerusalem" menjadi seruan pemersatu dan impian banyak orang
Yahudi di seluruh dunia. Seruan itu semakin bergema setelah
terjadinya penindasan kejam dan pembunuhan besar-besaran
terhadap orang-orang Yahudi oleh kaum Nazi Jerman selama
Perang Dunia II. Contoh seram dari kejahatan pemusnahan
bangsa Yahudi ini akan selalu mendapat perhatian publik
dengan dibukanya Museum Holocaust baru di dekat Monumen
Washington di Washington, D.C. Namun sungguh ironis bahwa
usaha sistematis Nazi Jerman untuk menghancurkan bangsa
Yahudi di Eropa, yang bukan merupakan tanggung jawab
langsung pemerintah AS, menjadi subjek peringatan nasional,
sementara kejadian-kejadian yang atasnya pemerintah kita
harus menerima tanggung jawab penuh --perbudakan, pembunuhan
atas orang-orang Indian Amerika, dan kini pelanggaran atas
hak-hak asasi bangsa Arab oleh Israel-- justru
diabaikan.
Meskipun pendirian Israel ditentang keras oleh banyak
tokoh terkemuka Yahudi di Amerika Serikat dan kejahatannya
tetap menjadi topik pemikiran yang meluas di kalangan
masyarakat Yahudi di sana, Israel tetap bercahaya di hati
orang-orang Yahudi lainnya. Negara Yahudi dipandang sebagai
suatu tempat berlindung di mana bangsa Yahudi dapat merasa
aman dari datangnya gelombang perasaan anti-Semit di masa
mendatang. Sebuah survei yang dibuat pada 1983 mengenai
orang-orang Yahudi Amerika mencatat: "Perhatian pada Israel
masih ditunjukkan dengan menghadiri Passover Seder
dan dengan menyalakan lilin-lilin Hanukkah sebagai
ungkapan kesetiaan Yahudi Amerika yang paling
populer."6
Rabbi Arthur Hertzberg sampai pada kesimpulan serupa:
"Rasa memiliki orang-orang Yahudi di seluruh dunia, di mana
Israel merupakan pusatnya, merupakan perasaan keagamaan,
namun tampaknya itu juga dirasakan oleh orang-orang Yahudi
yang menganggap diri mereka sekular atau
ateis."7
Cendekiawan Irving Kristol mengakui kepeduliannya pada
Israel di halaman-halaman The Wall Street Journal:
"Mengapa saya begitu terpengaruh? Saya bukan seorang Yahudi
Ortodoks, dan tidak terlalu taat. Saya bukan seorang Zionis
dan saya merasa bahwa dua kali kunjungan saya ke Israel
tidak terlalu menggembirakan." Namun dia mengaku sangat
peduli pada Israel sebab dia merasakan "jauh di lubuk hati
bahwa apa yang terjadi pada Israel akan menentukan bagi
sejarah Yahudi, dan bagi jenis kehidupan yang akan dijalani
oleh cucu-cucu dan cicit-cicit saya."8
Di tahun-tahun belakangan ini Israel dianggap lebih dari
sekadar tempat mengungsi. Ralph Numberger, sarjana lain dan
pengamat kritis agama Yahudi, mencatat adanya penurunan
tajam peran serta Yahudi dalam kebaktian agama dan
menyimpulkan: "Bagi banyak orang Yahudi Amerika, Israel
telah menggantikan Yahudi sebagai agama
mereka."9
Akibatnya Israel menjadi fokus pengabdian yang kukuh
dan tidak kritis bagi para pemimpin organisasi-organisasi
Yahudi tradisional Amerika.
Tetapi masih ada perkecualian. Di kalangan akademis,
bisnis, dan jurnalis, sejumlah profesional Yahudi terkemuka
berbicara dan menulis tentang Israel dengan terus terang,
seimbang, dan peka. Di antaranya Anthony Lewis, Mike
Wallace, Roberta Feuerlicht, Rita Hauser, Milton Viorst,
Seymour M. Hersh, Michael Lerner, Noam Chomsky, dan Philip
Klutznick. Mereka memberikan sumbangan berharga pada wacana
publik mengenai kebijaksanaan Timur Tengah. Namun terkadang
suara-suara mereka tidak dapat didengar akibat dengungan
mantra-mantra dari orang-orang Amerika yang penilaiannya
tersaput awan kegairahan emosional.
Israel juga mendapatkan dukungan politik sangat besar
dari berjuta-juta orang Kristen fundamentalis yang dibutakan
oleh keyakinan untuk menerima pikiran-pikiran keliru
mengenai Israel. Mereka percaya bahwa orang-orang Israel
masa kini mewarisi hak istimewa dari Tuhan yang dimiliki
orang-orang Israel di masa diwahyukannya Kitab Injil. Mereka
berpendapat bahwa Israel harus dijaga agar tetap kuat
sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk "akhir zaman" yang
diramalkan dalam Kitab Injil. Mereka mengabaikan
landasan-landasan sektarian anti-Semit dan anti-Katolik dari
sistem keyakinan apokaliptis ini, yang meramalkan kehancuran
semua bangsa, termasuk Yahudi, yang tidak "dilahirkan
kembali" sebagai penganut agama
Kristen.10
Orang-orang Kristen fundamentalis dan orang-orang Yahudi
yang menerima Israel sebagai agama mereka tampaknya terpaksa
membelanya dari semua kritik. Dalam semangat mereka, sering
kali mereka salah menuduh para kritikus Israel sebagai
anti-Semit atau "orang-orang Yahudi yang membenci diri
sendiri." Akibatnya timbullah intimidasi. Kebebasan
berbicara diberangus dan telah yang mendalam serta penilaian
yang bijaksana dihalangi. Sebaliknya, diskusi terbuka
mengenai kelemahan-kelemahan Israel lazim dilakukan para
warga negaranya. Pers Ibrani, forum utama bagi perdebatan
bangsa Israel, dipenuhi laporan-laporan yang terus terang
tentang kesalahan tindakan pemerintah Israel, namun semua
ini jarang dikutip di Amerika Serikat.
Yang juga dapat kita temukan di kalangan para pembela
Israel adalah orang-orang yang tidak mempunyai motivasi
agama tetapi percaya bahwa negara Israel melindungi
kepentingan-kepentingan militer, ekonomi, atau politik vital
Amerika di wilayah itu. Selama bertahun-tahun, mereka
menganggap Israel sebagai benteng pertahanan melawan
intervensi Soviet. Kini mereka melihatnya, secara keliru
menurut pendapat saya, sebagai suatu lawan efektif bagi
kejahatan radikalisme agama yang berpusat di Iran dan
ancaman militer yang telah ditunjukkan oleh Saddam Hussein
dari Irak.
Kebanyakan omong kosong Israel merupakan hasil karya para
partisan agama, baik Yahudi maupun Kristen, yang
mengulang-ulang omongan kosong ini sedemikian seringnya dari
tahun ke tahun sehingga semuanya diterima hampir secara
universal sebagai realitas. Bagi sebagian besar orang
Amerika, rangkaian mitos-mitos ini menegaskan kedudukan
Israel dan membuat bantuan ekonomi, politik, dan militer AS
tetap mengalir.
Dalam buku ini, saya mencatat setiap pernyataan seorang
tokoh terkemuka dan kemudian menelaah dan membuktikan
kebohongannya dengan mengemukakan fakta-fakta yang secara
cermat dilaporkan dan dijelaskan dalam catatan publik,
sebagian besar dari sumber-sumber Israel. Gambaran tentang
Israel yang kemudian tampil, yang didukung oleh fakta-fakta
dan bukannya mitos-mitos, akan membuka mata banyak
pembaca.
Jika sejarah konflik Arab-Israel ditulis di masa
sekarang, akan tercatat bahwa sebagian besar warga negara
AS, baik yang beragama Kristen maupun Yahudi, tidak akan
bersuara mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
manusiawi yang dilaksanakan oleh Israel atau secara langsung
terlibat dalam pelaksanaannya. Maksud buku ini adalah
memberikan informasi yang akan mengilhami para pembaca yang
bijaksana agar menuntut perubahan.[]
Catatan kaki:
1 U.S.A. Today, 19
Januari 1993, 4A.
2 Art Stevens, The
Persuasion Explosion (Washington, D.C.: Acropolis, 1985),
104-5.
3 Findley, They Dare to
Speak Out, edisi revisi (Brooklyn: Lawrence Hill, 1989).
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mereka Berani
Bicara, Mizan, 1990-peny.
4 George W. Ball,
berbicara dalam suatu konferensi Komite Anti-Diskriminasi
Amerika-Arab, Washington, D.C., 5 September 1985.
5 Donald McHenry,
wawancara dengan pengarang, 24 April 1985.
6 Steven M. Cohen,
"Attitudes of American Jews toward Israel and Israelis,"
1983 Survey of American Jews and Jewish Communal Leaders,
American Jewish Committee, 3.
7 Arthur Hertzberg,
"Israel and American Jewry," Commentary, Agustus 1967.
8 Dikutip dalam Urofsky,
We Are One!, 435.
9 Ralph Nurnberger,
wawancara dengan penulis, 2 Agustus 1991.
10 Grace Halsell,
Prophecy and Politics, 22-24.
|