Islam di Simpang Jalan

oleh Muhammad Asad

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

6. HADITS DAN SUNNAH

Banyak usul pembangunan kembali telah dimajukan ulama puluhan tahun yang lalu, dan banyak dokter-dokter kerohanian telah berusaha meramu obat paten bagi tubuh Islam yang sedang sakit, tetapi hingga sekarang segalanya sia-sia karena semua dokter-dokter pintar itu --sekurang-kurangnya mereka yang terdengar sekarang memang telah memberikan resep obat mereka bersama berbagai vitamin dan perangsang, tetapi semua lupa memberikan resep diet alami yang seharusnya menjadi dasar perkembangan pertama pasien itu. Diet ini, satu-satunya yang dapat diterima secara positif, yang dapat diasimilasi oleh si sehat maupun si sakit, adalah Sunnah Nabi kita Muhammad s.a.w.

Sunnah adalah kunci pengertian kebangkitan Islam lebih dari tiga belas abad yang silam; dan mengapa ia tidak harus menjadi kunci bagi regenerasi kita sekarang? Peninjauan daripada Sunnah adalah sama dengan peninjauan kehidupan dan kemajuan Islam. Mengabaikan Sunnah adalah sama dengan kekacauan dan kemunduran Islam. Sunnah adalah kerangka besi dari rumah Islam; dan kalau anda lepaskan kerangka itu dari suatu bangunan akan terkejutkah anda apabila gedung itu ambruk seperti rumah-rumah kartu?

Kebenaran sederhana, hampir diterima secara bulat oleh seluruh orang-orang berilmu sepanjang sejarah Islam --kita mengetahuinya dengan baik adalah paling tidak populer sekarang karena sebab-sebab berhubungan dengan pengaruh peradaban Barat yang terus berkembang. Walau demikian keadaannya, namun hal ini tetap benar dan dalam kenyataan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat menyelamatkan kita dari kekacauan dan kemunduran kita yang memalukan sekarang ini.

Perkataan Sunnah dipergunakan di sini dalam pengertiannya yang paling luas, yaitu teladan yang telah diberikan Nabi kepada kita dalam tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan beliau. Hidup beliau yang mengagumkan adalah gambaran yang hidup dan keterangan dari al-Qur'an dan tidak mungkin kita dapat membuat keadilan yang lebih besar terhadap Kitab Suci itu kecuali dengan mengikuti beliau yang menjadi alat wahyu.

Kita telah melihat bahwa salah satu dari hasil-hasil yang dicapai Islam, satu-satunya yang membedakannya dari segala sistem-sistem kerohanian, adalah pertemuan antara segi moral dan segi material dari kehidupan insani. Ini merupakan satu dari sebab-sebab mengapa Islam pada permulaannya memperoleh sukses dan demikian jaya dimana saja ia tampil. Ia membawa pada manusia pesan baru yang tidak perlu direndahkan supaya langit dapat dicapai. Pandangan Islam yang menonjol ini menerangkan mengapa Nabi kita dalam tugas suci beliau sebagai Rasul pembimbing ummat manusia demikian mendalam berurusan dengan kehidupan dalam kecenderungannya sebagai gejala spiritual dan material. Oleh karena itu maka tidaklah menunjukkan pengertian yang dalam tentang Islam apabila orang membeda-bedakan perintah-perintah dari Nabi yang berbicara tentang hal-hal peribadatan dan kerohanian dengan yang berhubungan dengan soal-soal kemasyarakatan dan kehidupan kita sehari-hari. Sanggahan bahwa wajib kita mengikuti perintah-perintah dari kelompok 'ubudiyah dan kerohanian tetapi tidak wajib mengikuti perintah-perintah kelompok kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari adalah sama dangkal dari segi jiwanya, sama anti-Islam, seperti idea bahwa ketentuan-ketentuan umum daripada al-Qur'an hanya dimaksudkan bagi orang-orang Arab awam pada masa turunnya wahyu dan bukan bagi tuan-tuan yang telah maju dalam abad ke dua puluh. Pada akarnya terletak sikap pandang enteng tentang risalah Nabi besar itu.

Karena hidup seorang Muslim harus diarahkan atas kerja sama yang penuh dan tanpa reserve antara wujud rohani dan jasadi, demikianlah pimpinan Nabi kita merangkul sebagai satu keseluruhan terpadu, satu keseluruhan total manifestasi-manifestasi moral dan praktek, individual dan sosial. Inilah arti yang paling dalam daripada Sunnah. Al-Qur'an berkata:

"Apa saja yang diberikan Nabi kepadamu, terimalah; dan barang apa saja yang dilarangnya, jauhkanlah." (Qur'an Suci, 59:7).

Dan Nabi mengatakan pula: "Orang Yahudi telah terpecah pecah menjadi tujuh puluh satu firqah, orang Kristen menjadi tujuh puluh dua firqah, dan kaum Muslimin akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah." (Sunan Abu Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibnu Hambal) Dalam hubungan ini dapat disebut bahwa bilangan "tujuh puluh" sering berarti banyak dan tidak mesti menunjukkan angka hitung yang sesungguhnya. Dengan angka itu terang Nabi bermaksud mengatakan bahwa firqah-firqah dan perpecahan-perpecahan di antara kaum Muslimin akan sangat banyak, bahkan lebih dari orang-orang Yahudi dan Kristen, dan beliau menambahkan: "Mereka semua masuk neraka, kecuali satu." Ketika para sahabat bertanya satu yang mana yang terpimpin ke jalan benar itu, Nabi menjawab: "Yaitu yang didasarkan pada Sunnahku dan sunnah para sahabatku."

Ayat-ayat tertentu membuat pokok ini menjadi terang di luar segala kemungkinan salah pengertian:

"Tidak, demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka meminta keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan dan mereka patuh dengan sesungguhnya." (Qur'an Suci, 4:65)

"Katakanlah (Muhammad): Kalau kamu betul-betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah dan diampuniNya dosamu, dan Allah pengampun dan penyayang. Katakanlah: Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kalau mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang tidak beriman." (Qur'an Suci, 3:31-32)

Oleh karena itu maka Sunnah Nabi, sesudah al-Qur'an, adalah sumber kedua dari hukum Islam tentang perilaku masyarakat dan individu. Memang kita harus memandang Sunnah sebagai satu-satunya keterangan yang kuat dari ajaran-ajaran al-Qur'an, satu-satunya alat untuk menjauhkan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai tafsirannya dan peneterapannya untuk penggunaan praktis. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai arti kiasan dan dapat diartikan dalam cara berbeda-beda kecuali ada sistem penafsiran yang definitif. Dan oleh karena itu pula maka banyak hal-hal yang penting secara praktis tidak dibicarakan secara terurai dalam al-Qur'an. Jiwa yang meliputi al-Qur'an itu sebenarnyalah seragam seluruhnya; tetapi untuk menarik deduksi sikap praktis yang harus kita ambil dari padanya tidaklah selalu mudah. Selama kita percaya bahwa Kitab ini adalah Firman Allah, sempurna dalam bentuk dan tujuannya, maka satu-satunya kesimpulan logis adalah bahwa ia tidaklah dimaksudkan untuk dipergunakan terlepas dari pimpinan pribadi Nabi yang tercakup dalam sistem Sunnah. Dalam pasal berikut akan diusahakan untuk menerangkan sebab-sebab terkahir untuk menghubungkan al-Qur'an, untuk selama-lamanya, dengan pribadi Nabi yang membimbing dan memberi inspirasi. Untuk tujuan-tujuan pasal ini jalan pemikiran yang berikut ini seharusnya sudah cukup. Jalan pemikiran kita mengatakan bahwa tidak mungkin ada juru tafsir yang lebih baik dari ajaran-ajaran al-Quran daripada melalui orang pada siapa firman itu diwahyukan untuk umat manusia

Slogan yang paling sering kita dengar pada zaman kita, "Mari kembali kepada al-Quran, tetapi jangan kita menjadi pengikut membudak pada Sunnah", hanya menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam. Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu.

Sampailah kita sekarang pada soal yang sangat penting tentang keaslian dari sumber-sumber yang membentangkan kehidupan dan ucapan-ucapan Nabi Besar kepada kita. Sumber-sumber ini ialah Hadits, catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam. Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadits di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah.

Adakah satu jaminan ilmiah bagi sikap ini? Adakah satu pembenaran ilmiah untuk menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam yang patut dijadikan panutan?

Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadits-hadits yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran. Tetapi tidaklah demikian halnya. Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadits sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah. Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadits dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadits pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.

Akan jauh keluar batas-batas buku ini untuk membicarakan berpanjang-panjang di sini tentang metoda penelitian yang keras yang dipergunakan untuk menyelidiki kebenaran Hadits oleh para muhadditsuun, yaitu orang-orang berilmu yang mengabdi pada studi tentang Hadits. Untuk maksud kita sekarang akan cukuplah apabila dikatakan bahwa satu cabang ilmu pengetahuan yang sempurna telah dikembangkan, obyeknya semata-mata adalah penyelidikan tentang arti, bentuk dan cara penyaluran Hadits Nabi. Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadits. Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan. Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadits tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri. Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela. Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadits itu.

Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!" Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India. Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadits?

Dasar pertama akan palsunya Hadits berarti telah terjadi kebohongan yang disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu yang bersangkutan dengan para sahabat, atau penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat, kemungkinan semacam itu dapat dikecualikan secara a priori. Hanya diperlukan tinjauan psikologik kedalam masalah ini untuk menyingkirkan anggapan-anggapan semacam itu kedalam wilayah khayal melulu. Kesan cemerlang yang telah dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan perempuan di sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari sejarah ummat manusia; lagi pula hal itu terdokumentasi dengan baik sekali oleh sejarah.

Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia mengorbankan diri mereka dan segala yang mereka miliki apabila dikehendaki Rasulullah akan memainkan tipu daya dengan kata-kata beliau?

Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong tentang saya akan tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal).

Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka percaya akan kata-kata Nabi yang mereka pandang sebagai juru bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah dari segi pandangan psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang sangat tegas ini?

Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang menantang hakim adalah cui bono --demi keuntungan siapa-- kejahatan itu mungkin dilakukan? Prinsip hukum ini dapat dipergunakan juga bagi masalah Hadits. Kecuali hadits-hadits yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik dari berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya Nabi, tidak akan ada alasan untuk "mengambil keuntungan" bagi seseorang individu untuk mengatakan bahwa kata-kata Nabi itu palsu. Justru karena pertimbangan kemungkinan kalau-kalau Hadits diada-adakan untuk sesuatu tujuan individual maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang Hadits, Bukhari dan Muslim, dengan sangat keras telah mengesampingkan segala hadits-hadits yang berhubungan dengan politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadits mereka. Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan keuntungan peribadi pada siapapun.

Ada satu argumen dimana keaslian Hadits dapat ditantang. Dapat dimengerti bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari Nabi sendiri atau seseorang dari perawi-perawi kemudian --sementara ia benar secara subyektif-- telah melakukan sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata Nabi itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab psikologik lain. Tetapi bukti internal, yaitu bukti-bukti psikologik, berbicara menentang setiap kemungkinan besar dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada pihak para sahabat. Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi, setiap ucapan dan tindakan beliau sangat berarti sekali, bukan saja karena mereka sangat tertarik pada kepribadian beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga pada kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka harus mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya yang kecil, sesuai dengan petunjuk dan teladan Nabi. Oleh karena itu tidak dapat mereka menangkap ucapan beliau secara sepintas ,lalu, tetapi berusaha memeliharanya dalam ingatan mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadi sendiri. Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara langsung berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok diantara sesama mereka, masing-masing terdiri dari dua orang, satu daripadanya harus selalu dalam lingkungan Nabi sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau yang mereka lihat dari guru mereka itu mereka sampaikan pada sesamanya: demikian cemas mereka kalau-kalau sesuatu ucapan atau perbuatan Nabi akan luput dari perhatian mereka. Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadits. Dan kalau mungkin bagi ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi al-Qur'an hingga pada detail-detail kecil ejaan dalam ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan ucapan Nabi dalam ingatan mereka tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu.

Lagi pula ahli-ahli Hadits hanya mengakui keaslian sempurna pada hadits-hadits yang dilaporkan dalam bentuk yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang berbeda-beda dan tidak saling bergantung. Ini belum pula semua. Untuk dinyatakan shahih (sehat), suatu hadits harus disepakati pada setiap tingkat penyaluran oleh bukti yang tidak bergantung paling kurang dari dua penyalur, dan mungkin lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan bersandar pada asal dari satu orang saja. Tuntutan tentang pengesahan ini demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu hadits yang dilaporkan melalui tiga "generasi" penyalur-penyalur hadits antara sahabat yang bersangkutan dan penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang penyalur atau lebih, terbagi-bagi sekitar tiga "generasi" yang tercakup di dalamnya.

Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah percaya bahwa hadits-hadits Nabi dapat beroleh status seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh status keaslian yang tak tergugat. Tidak pernah terhenti penelitian kritis tentang Hadits. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadits palsu tidak lepas dari perhatian muhadditsuun, seperti yang dikira dengan dhaifnya oleh kritikus-kritikus Barat. Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadits dimulai oleh kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak asli. Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, belum lagi ahli-ahli hadits yang lebih kecil, adalah hasil langsung dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya hadits-hadits palsu sekali-kali tidak membuktikan apa-apa dalam menolak sistem hadits pada keseluruhannya --tidak lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat dipandang sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada zaman itu.

Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup membuktikan secara sistematik bahwa tubuh Hadits yang dipandang asli menurut ukuran pengujian dari ahli-ahli hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat. Penolakan terhadap hadits-hadits otentik, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian-sebagian sejauh itu hanyalah masalah temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan diri sebagai hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif dari sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum Muslimin di zaman kita dapat dilihat jejaknya dengan mudah. Motifnya terletak pada ketidakmampuan mereka membawa cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti terpantul dari Sunnah Rasul. Untuk membenarkan kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan kekurangan alam sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadits itu berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila ini dilakukan, mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran al-Quran sesuka hati mereka, atas garis "rasionalisme" yang dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan kecenderungan dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktek, sebagai aturan individual dan aturan sosial, akan hancur berantakan.

Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat makin lama makin terasa di negeri-negeri Islam, satu motif lagi bertambah pada sikap aneh dari yang disebut kaum "intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada saat yang sama sekaligus. Tetapi generasi kaum Muslimin sekarang telah siap sedia memuja apa saja yang dari Barat, memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat dan cemerlang secara material. Westernisasi ini adalah sebab yang paling kuat maka hadits-hadits Nabi kita, dan bersamaan dengan itu struktur Sunnah, telah menjadi demikian tidak populer sekarang. Begitu terang Sunnah bertentangan dengan ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu sehingga mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat itu tidak melihat jalan keluar dari jerat itu kecuali menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam yang tidak mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah "berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari." Sesudah itu menjadi lebih mudah untuk mengesampingkan ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara demikian rupa sehingga ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat peradaban Barat.

(sebelum, sesudah)


Islam di Simpang Jalan
Judul asli: Islam at the Crossroads
Cetakan pertama: Delhi (India), 1935
Edisi Indonesia: Islam di Simpang Jalan
Penterjemah: M. Hashem
Cetakan pertama: YAPI, Surabaya, 1967
Cetakan kedua: PUSTAKA, Bandung, 1981
Hak cipta: Muhammad Asad
All rights reserved.

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team